PALPOLMA. Belakangan muncul wacana ini kepermukaan di beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Salah satunya adalah universitas ternama di perbatasan Kota Depok dan Jakarta, yang memiliki sejarah panjang dan banyak berkiprah di dunia perpolitikan Indonesia. Banyak lulusan dari universitas ini yang menjadi birokrat di republik ini. Mulai dari anggota dewan, menteri kabinet, pejabat partai, sampai koruptor (?).

Dunia kampus yang sering disebut-sebut sebagai dunia riil yang sebenarnya nisbi belaka sering kali di agung-agungkan untuk menghasilkan generasi penerus yang berkualitas dan kompeten dalam berbagai bidang (khususnya politik). Karenanya, wajar jika banyak orang yang berkepentingan terhadap dunia kampus. Dan salah satu grand design yang marak akhir-akhir ini adalah ingin menjadikan kampus benar-benar riil atau paling tidak diusahakan mirip dengan keadaan masyarakat yang sesungguhnya.

Kampus sebagai miniatur negara. Inilah momok yang besar itu. Sepertinya demokratisasi yang digembar-gemborkan Amerika itu mulai merasuk ke jantung pendidikan kita. Bagaimana tidak, jika para mahasiswa mulai asyik dan sibuk dengan perpolitikan kampus. Ada yang begitu ambil peran dalam perebutan kursi eksekutif, ada yang berkonsentrasi untuk menjadi juru kampanye, bahkan ada yang pada akhirnya menjadi ahli untuk melakukan serangan dhuha (serangan setelah fajar, red)

Apa yang sesungguhnya terjadi pada anak muda ini? Oh, tidak! Bukan hanya kehendak mahasiswa, karena ini merupakan isu nasional. Banyak tangan yang bermain. Usaha mewujudkan “miniatur negara” melalui Partai Politik Mahasiswa bukan hanya lahir dari keinginan mahasiswa. Buktinya gejala ini sudah terlebih dahulu ramai di beberapa universitas. Menurut hemat penulis, ada beberapa kemungkinan yang mendorong gejala ini. Pertama, gairah muda mahasiswa yang ingin ikut berpartisipasi dan berkontribusi untuk negara. Sehingga alam bawah sadarnya seolah berkata “kamilah politikus muda yang berwibawa”. Sebagian mahasiswa bisa aktif di pengurusan OPP (Organisasi Peserta PEMILU), untuk merealisasikan idealisme-nya. Tapi bagaimana yang tidak bisa? Ya, jika tidak bisa di masyarakat di kampus pun bisa. Toh kampus pun bisa dianggap bentuk masyarakat tersendiri.

Kedua, keinginan sebagian kalangan pendidik yang merasa perlunya pendidikan politik bagi mahasiswa. Bagaimana tidak penting, sedangkan setelah lulus para mahasiswa harus terjun di kancah perpolitikan nasional. Entah ini kesalahan paradigma atau bukan. Tapi, penulis hanya bisa berbaik sangka. Bahwa mereka para pakar pasti menginginkan kebaikan bagi generasi muda. “Toh kesalahan ijtihad tetap berpahala”.

Ketiga, keinginan beberapa pihak kapitalis yang berusaha memanjangkan tangannya ke “masyarakat kampus”. Bisa jadi ini dikarenakan kekalahan mereka pada kompetisi nasional. Sehingga harus masuk ke dunia kampus, entah dengan motiv ideologis atau pragmatis semata.

Analisis penulis mungkin tidak tepat, tetapi bisa kita lihat bersama beberapa indikasi di bawah ini : Pertama, Industri pendidikan, yakni dengan menjadikan pendidikan sebagai ladang bisnis. Sebagaian orang merasakan efektifitas perspektif ini. Dimana akan semakin banyak akselerasi, jika kekuatan modal bermain di sektor ini. Pengadaan alat peraga, pembangunan laboratorium, penyediaan sarana dan prasarana yang sangat menunjang tujuan pendidikan akan tersedia dengan mudah. Akibatnya, biaya pendidikan menjadi mahal. Dan semakin mahal biaya pendidikan berarti semakin sedikit kesempatan mengenyam bangku sekolah. Kedua, fenomena para 'jebolan' aktifis eksekutif yang berkolaborasi dengan oposisinya sewaktu masih aktif. Kultur penghianatan seperti ini menunjang ideologi pragmatis yang semakin hari semakin di gemari para penuntut ilmu. Alasannya sederhana, jika mencari lapangan kerja sulit kenapa tidak bermain di lapangan politik. Ketiga, degradasi sistemik dari sistem kurikulum pendidikan. Kita bisa melihat bagaimana hampir setiap tahun ada kenaikan standar nilai. Passing grade program studi dan batas bawah nilai ujian nasional yang semakin tinggi, justru memperburuk keadaan. Karena mau tak mau, pilihan buruk lagi yang harus di ambil. Yakni, dengan menurunkan kualitas (standar ajar). Alasannya, jika tidak di turunkan maka akan semakin banyak siswa yang tidak layak lulus.

Kenapa jadi semakin buruk saja keadaan pendidikan kita. Tetapi bagi kita yang di besarkan di suasana seperti ini, semuanya menjadi biasa dan wajar. Pemerintah yang kurang peduli, korporasi yang agresif, pendidik yang tak layak, lengkap sudah penderitaan.

Lantas bagaimana seharusnya mahasiswa? Penulis berpendapat, bahwa akar dari permasalahan ini adalah ilmu dan framework berfikir. Mahasiswa akan kehilangan semangat belajar jika salah menggunakan framework. Konsep ilmu yang mapan diajarkan di dunia pendidikan begitu problematis, sehingga seorang siswa harus berusaha keras melindungi framework-nya agar tetap jernih dan lurus. Karena seorang siswa adalah murid, yang menentukan sendiri apa-apa yang akan ia pelajari. Termasuk dalam politik. Pilihan untuk berpolitik, dalam konteks ini adalah tawaran yang cukup menggiurkan (dengan segala keuntungannya). Tetapi seorang siswa sejati tak akan mudah tergoda. Ia akan tetap berusaha menggali intelektualitas dan konsisten di atas keilmuannya. Ia akan membangun negerinya dari dalam kampus. Tanpa harus bermain dengan politik yang kotor, dan kesenangan yang mengelilinginya. Entahlah! [empiris-depok]

M. RIDO (Mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia)
Axact

Empiris

Episentrum Pengkajian Islam dan Riset Sosial mengorientasikan diri untuk menjadi katalisator terwujudnya Mulkiyah Allah di muka bumi, dan bersama-sama menggalang kekuatan kolektif dari potensi-potensi yang telah sejak lama berada dipangkuan Ummat Islam... Billahi Hayaatuna Wallahu Fii Hayatil Mustadz'afin... Hidup Kita Bersama Allah, dan Allah Berada Dalam Kehidupan Kaum Tertindas... Inna fatahna laka fathan mubina...

Post A Comment:

0 comments:

Bro, ekspresikan ruhul jihad mu !!!