Pendahuluan
Sebuah faridhah syar’I yang merupakan salah satu mata rantai jihad adalah I’dad. Kepentingan I’dad bagi keberlangsungan jihad seperti kewajiban wudhu sebelum menjalankan ibadah shalat. Tidak sah shalat tanpa didahului wudhu, sebagaimana tidak tegak jihad tanpa adanya i’dad. I’dad juga menjadi tanda kesungguhan, tanda benarnya sebuah azam dalam meniti jalan jihad.
Bisa jadi I’dad membutuhkan waktu yang sangat panjang sepanjang kehidupan manusia itu sendiri, terlebih jika kaum muslimin dalam kondisi lemah seperti saat ini. Tak ada kekuatan yang menyatukan kaum muslimin dalam satu barisan, sedikitnya ilmu serta kaburnya istilah-istilah syar’I yang berkenaan dengan jihad dari pemahaman kaum muslimin benar-benar telah menjadikan kaum muslimin melalaikan faridhah ini. Kelalaian ini adalah musibah terbesar bagi kaum muslimin, sebaliknya merupakan natijah yang sangat menggembirakan bagi orang-orang kafir, dan mereka akan terus-menerus berupaya supaya jihad benar-benar hilang dari benak kaum muslimin

Syari’at Islam juga tak mengecualikan kaum wanita dalam proses I’dad. Sesuai dengan perannya dalam jihad, sesuai dengan tuntutan fitrahnya, sesuai dengan kondisinya, sesuai dengan kemampuannya. Sungguh, Islam membutuhkan wanita-wanita yang kuat baik fisik maupun mentalnya, yang tegar, satu syarat untuk dapat melahirkan anak-anak yang juga kuat dan tegar. Seperti singa, ia mengaum menggentarkan musuh-musuhnya.

I’dad, syari’at yang terabaikan
Inilah musibah terbesar bagi umat Islam, atas apa yang menimpa dien (agama) mereka, bukan atas apa yang menimpa dunia mereka dari harta, keluarga, orang-orang yang dicintai dan sebagainya. Tak ada bencana dan musibah yang lebih besar dan dahsyat yang menimpa umat Islam selain apa yang menimpa dien (agama ) mereka, yaitu tatkala umat Islam tidak paham dan merasa asing dengan sebagian ajarannya. Dalam kondisi seperti ini, umat akan dengan mudah terkena fitnatusy syubuhat (keragu-raguan, kekaburan-kekaburan) yang menyesatkan, baik yang dilontarkan oleh orang-orang kafir maupun dari ulama’-ulama’ Islam sendiri yang jahil dan hanya mengikuti nafsu dan kepentingan golongan tertentu.

Hal ini seperti apa yang menjadi pemahaman umat terhadap ibadah jihad, termasuk apa yang menjadi tahapan-tahapan pendahulunya dari hijrah, I’dad, ribath dan qital. Istilah-istilah syar’I ini begitu asing terdengar di telinga kaum muslimin. Terlebih jika diamalkan secara nyata, begitu banyak kontroversi yang muncul. Amaliyah jihad banyak menuai kecaman dan hujatan bahkan dari orang-orang yang masyarakat awam menyebut mereka cendekiawan muslim, kyai maupun alim ulama. Mereka memahami jihad dalam arti yang begitu sempit, tidak sedikitpun mengandung unsur kekerasan –sekalipun untuk membela diri ketika umat Islam didzalimi?!-, padahal keempat ulama dari empat madzhab telah ijma’ bahwa definisi jihad secara syar’I adalah qital (berperang) melawan orang-orang kafir.

Banyak ayat dan hadits menyebutkan peran dan keutamaan jihad dalam iqamatuddien, bahkan Rasululloh SAW mensifati ibadah jihad sebagai dzarwatu sanaamil islam (puncak ibadah tertinggi dalam Islam). Ibadah jihad juga merupakan parameter kemuliaan dan ketinggian umat Islam di hadapan Alloh dan seluruh makhlukNya dari kalangan jin dan manusia. Seberapa besar kesungguhan mereka dalam melaksanakan ibadah jihad ini sangat menentukan kemuliaan dan ketinggian Islam.

Sejarah telah menorehkan bukti dengan tinta emasnya, kaum muslimin di masa lalu meraih kejayaannya melalui jalan jihad, dengan tetesan peluh dan darah mereka persembahkan demi memupuksuburkan kemuliaan Islam semakin tinggi dan menjulang. Tak ada jalan lain meraih kejayaan Islam di masa sekarang maupun masa yang akan datang kecuali melalui jalan jihad.

Kenyataannya, jihad dalan arti qital hanya ditemukan dalam buku-buku karangan ulama salaf, karena kebenarannya diputarbalikkan, dan ia diopinikan bukan termasuk ajaran Islam, ia mengajarkan kejahatan dan kekerasan (tindak criminal) yang melanggar HAM dan kebebasan. Akibatnya, kaum muslimin yang berupaya mengamalkan ibadah jihad dianggap sebagai orang-orang ekstrim, kolot dan eksklusif bahkan TERORIS.

Di sisi lain, sedikit sekali umat Islam yang ihtimam (perhatian dan peduli) dengan keadaan kaum muslimin di berbagai belahan dunia yang terdzalimi oleh musuh-musuh Islam, sedikit pula umat Islam yang mau merenungkan sebab keterpurukan, kehinaan dan terpecah-belahnya umat Islam hampir di seluruh negeri. Padahal Rasululloh dengan gamblang telah menjelaskan,

“Apabila kalian berjual beli dengan cara ‘inah (mengandung unsur riba) dan memegang erat ekor-ekor sapi (beternak) dan puas dengan bercocok tanam dan meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian dan tidak akan dicabut hingga kalian kembali pada dien kalian”. (HR.Abu Dawud dari Ibnu Umar dengan sanad hasan, dishahihkan oleh AlBani).

“Hampir-hampir umat-umat lain mengerumuni kalian dari segenap penjuru sebagaimana (mereka mengerumuni) hidangan di atas sebuah piring besar”. Kami bertanya, ”Wahai Rasulullah ! Apakah karena jumlah kita sedikit pada saat itu ?”. Nabi menjawab,”Bahkan pada saat itu jumlah kalian sangat banyak, tetapi kalian seperti buih air bah. Akan dicabut rasa segan dan hormat dari hati-hati musuh kalian, dan akan dijadikan pada hati kalian AlWahn. Mereka bertanya,”Apakah AlWahn itu ?”. Nabi Menjawab,”Cinta hidup dan takut mati”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Tsauban, dan telah dishahihkan oleh AlBani).

Kedua hadits tersebut mensifati keadaan umat Islam saat ini, tidakkah gambarannya begitu jelas dan gamblang? Semua mengarah hanya pada satu sebab, yaitu cinta dunia dan takut mati. Walhasil, ibadah jihad yang menurut persangkaan mereka sangat dekat pada almaut (kematian), dengan serta merta mereka jauhi. Padahal jelas, ajal setiap orang telah ditentukan, kedatangannya tidak dapat disegerakan maupun ditangguhkan jika telah tiba masanya. Setiap peluru sudah ada namanya, takkan mungkin nyasar kepada selain tujuannya. Bahkan Khalid bin Walid, yang dijuluki Saifullah alMaslul (pedang Allah yang terhunus) karena kepiawaiannya dalam setiap pertempuran tidak menemui ajalnya dalam peperangan, tapi di atas tempat tidurnya.

Allah berfirman, “Dimanapun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kokoh…”. (QS. An Nisa :78).

Semua alasan diatas tidak bisa menjadi udzur syar’I yang menggugurkan kewajiban jihad dari pundak kaum muslimin. Dan ketika keadaan lemah (kaum muslimin tidak mampu berjihad), maka sebagaimana perkataan Ibnu Taimiyah bahwa kaum muslimin diwajibkan mengadakan I’dad dalam rangka berjihad, dengan menyiapkan kekuatan dan kuda yang ditambat. Karena sesungguhnya suatu kewajiban yang tidak bisa sempurna kecuali dengan suatu perkara, maka perkara itu menjadi wajib hukumnya.

Dalam I’dadul quwwah (mempersiapkan kekuatan), bisa jadi muncul rintangan karena sempitnya pemahaman terhadap I’dad, bisa juga muncul dari penguasa-penguasa jahiliyah di negeri dimana kita tinggal yang khawatir terhadap kemungkinan munculnya ancaman dari rakyatnya dengan dibebaskannya kepemilikan senjata. Sehingga pembatasanpun diberlakukan, kepemilikan dan kemampuan menggunakan senjata hanya diberikan kepada para tentara yang jelas loyalitasnya kepada mereka. Sedangkan rakyat dilarang, dan dibuat satu opini bahwa kepemilikan senjata oleh individu yang hanya berstatus rakyat biasa adalah salah satu tindakan melawan hokum. Rakyat disibukkan dengan hal-hal yang melalaikan, seperti urusan sesuap nasi, konflik politik, partai, pemilu, parlemen serta berbagai hiburan yang sarat kemaksiatan, melalui nyanyian, film, sinetron, perlombaan-perlombaan, undian dan sebagainya sehingga melupakan mereka dari kewajiban berlatih senjata dalam rangka I’dad.

Kaum muslimah juga tak luput dari sasaran pengalihan dan pengelabuan, supaya mereka melalaikan jihad dan I’dad. Wanita memiliki peran yang besar oleh sebab kedudukan mereka sebagai ibu. Wanita bisa menjadi pendukung bagi jihad atau sebaliknya, menjadi penghalang terbesar bagi keberlangsungannya, karena tuntutan mereka pada laki-laki di sekeliling mereka agar tetap berada di rumah apakah itu suaminya, anaknya, ayahnya, pamannya maupun saudaranya. Sesungguhnya Allah telah mengingatkan ;
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka, dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. AtTaghabun ; 14).

Muslimah juga Harus Beri’dad
Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz menyebutkan dalam kitabnya ‘Ma’alim Asasiyah fi alJihaad’ bahwa I’dad dalam rangka jihad ada 2 macam yaitu :

I’dad Imany, yakni dengan mempelajari ilmu-ilmu syar’I dan tazkiyah (mensucikan jiwa). Allah Ta’ala berfirman :
“Dia menbacakan atas mereka ayat-ayat Allah dan mensucikan jiwa mereka dan mengajari mereka kitab dan hikmah”. (QS. Al Jumu’ah : 2).
I’dad Maady (materi), yakni dengan menyiapkan kekuatan, selalu berlatih dan berinfaq di jalan Allah. Allah Ta’ala berfirman :
“Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang yang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infaqkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan didzalimi (dirugikan). (QS.AlAnfal ; 60).

Dalam menafsirkan ayat tersebut, Nabi SAW bersabda –ketika itu beliau berada di atas mimbar-:”Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi, ingatlah kekuatan itu melempar, ingatlah kekuatan itu melempar, ingatlah kekuatan itu melempar”. (HR. Muslim).

Perkataan Rasululloh ini menjadi dalil bagi perselisihan antara mereka yang berpendapat bahwa I’dad dalam rangka jihad itu berupa berlatih dengan senjata dan mereka yang berpendapat bahwa I’dad untuk jihad berupa tarbiyah dan tazkiyah. Maka hadits itu menjelaskan bahwa alquwwah (kekuatan) yang diperintahkan Alloh untuk dipersiapan adalah kekuatan materi dari segala macam persenjataan lempar dan berlatih dengannya. Ini adalah perkara yang sama sekali tidak boleh ditinggalkan oleh seorang muslim. Hatta seorang wanita, meskipun tidak ada nash khusus yang mengharuskan atau menganjurkan mereka untuk berlatih senjata, namun berdasarkan apa yang diperbuat Ummu Sulaim yang menggunakan pisau untuk memerangi musuh dan taqrir (ketetapan) Nabi atas tindakannya maka wanita juga perlu untuk berlatih menggunakan senjata yang bisa dipakai untuk melindungi diri, dengan cara dilatih suaminya, mahram-mahramnya atau wanita lain yang terlatih.

Sebagaimana qaidah ushul yang mengatakan bahwa jika suatu kewajiban tidak dapat terlaksana dengan sempurna kecuali dengan suatu perkara, maka perkara itu juga menjadi wajib. Maka hendaklah para wanita muslimah mempelajari siroh untuk mengambil teladan dari sepak terjang shahabiyah di medan jihad, sehingga setiap wanita mengerti apa yang mesti dikerjakannya ketika sudah berazam untuk meniti jalan jihad.

“Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Alloh, sesungguhnya Alloh mencinta orang-orang yang bertawakkal”. (QS. Ali Imron :159).

Memang benar jika I’dad membutuhkan waktu yang sangat panjang bahkan sepanjang usia kehidupan seseorang, karena I’dad hanya dapat terbentuk dengan membiasakan diri. Oleh karena itu, siapa saja yang tidak membaguskan lemparannya maka tidak bisa disebut sebagai orang yang menyiapkan kekuatan. Ini dalam hal tadrib (latihan) menggunakan silah (senjata). Jika tidak ada silah, maka latihan fisik dengan olahraga keras adalah batas minimal tadrib.

Tak terkecuali muslimah, latihan fisik dengan olahraga yang bisa menguatkan fisik/tubuhnya hendaknya dijadikan kebiasaan semenjak muda, sehingga tiba saatnya menjadi seorang istri dan ibu, ia menjadi seorang mujahidah yang kuat, tidak mudah loyo dan lemah. Walhasil, anak-anak yang lahir dari rahimnyapun anak-anak yang kuat yang sanggup memikul beban jihad di masa yang akan datang.

Banyak muslimah yang meremehkan masalah kekuatan fisik ini dengan alasan kodrat mereka sebagai wanita yang lemah. Tetapi sungguh, jihad ini membutuhkan wanita-wanita yang kuat dan hebat. Dan, kebiasaan hiduplah yang membentuknya. Membiasakan hidup seadanya, makan seadanya, minum seadanya, berpakaian seadanya, mengambil dunia ini sekedar keperluannya. Karena sesungguhnya kemewahan adalah musuh utama jihad, demikian pengalaman Dr. Abdullah Azzam dalam perjalanan jihadnya. Bagaimana tidak? Kemewahan, kesenangan hidup menjadikan jiwa lemah dan tunduk kepadanya, jiwa yang demikian pastilah tidak akan sanggup memikul beratnya beban jihad dalam kehidupannya.

Ketika kita membaca biografi para salaf, maka kita akan mendapati bahwa tak seorangpun di antara mereka yang makan seperti yang kita makan pada saat ini, hanya beberapa biji kurma atau kadang hanya sepotong roti kering. Meskipun demikian, mereka –Sayyidina Ali dan para shahabat yang lain- ketika menaklukkan Khaibar, yang diawali dengan mendobrak pintu benteng yang sangat besar, masing-masing dari mereka memegang perisai yang beratnya sekitar 10 kg di tangan kiri dan pedang untuk memenggal di tangan kanan sepanjang hari.

Kekuatan fisik ini tak lahir semata-mata dari latihan fisik, bahkan latihan-latihan fisik ini menjadi sia-sia tanpa dibarengi dengan latihan-latihan yang dapat menguatkan hati dan jiwa. Maka disinilah pentingnya I’dad imany dalan rangka jihad fi sabilillah.

Sesuatu yang dapat menguatkan jiwa dan jasmani itu ada pada dzikrullah, istighfar, qiyamul lail dan puasa. Sesuatu yang menjadikan jiwa itu lembut, jujur, bersih dan sehat itu ada pada ketundukan, ketaatan dan ibadah kepada Allah. Hanya jiwa-jiwa seperti inilah yang sanggup mencintai jihad dan memikulnya.

“Wahai kaumku, mintalah ampun kepada Tuhanmu kemudian bertaubatlah kepadanya, niscaya Dia turunkan hujan yang lebat kepadamu dan menambah kekuatan demi kekuatan kepadamu”. (QS. Hud :52).

Ibnu Abbas berkata : Sesungguhnya kebaikan itu akan menjadi penerang di dalam hati dan menjadi cahaya di wajah dan menjadikan badan kuat serta melapangkan rezeki. Dan sesungguhnya maksiyat itu adalah kegelapan di dalam hati, menjadikan muka hitam dan menjadikan sempit rezeki dan melemahkan jasmani.

Oleh karena itu, ketika kita ingin menguatkan tangan kita, kita perbanyak kebaikan dengan tangan tersebut, niscaya ia akan menjadi kuat. Jika kita ingin menguatkan mata, maka kita perbanyak membaca AlQur’an, niscaya pandangannya akan menjadi terang dan jelas. Jika kita ingin menguatkan kaki, maka kita hindari berjalan kepada hal-hal yang diharamkan.

Demikianlah, I’dad itu dengan senantiasa melatih dan membiasakan sepenuh kesungguhan dan kemampuan yang kita sanggupi. Sehingga jiwa merasakan manis jalan jihad yang pahit, merasakan ringan jalan jihad yang berat dan sulit, merasakan nikmat jalan jihad yang terjal.

“Barangsiapa menghendaki akhirat dan berusaha untuknya sedangkan ia beriman, mereka akan dibalas karena usahanya”. (QS. AlIsra :19).
“Dan apa saja yang telah kuperintahkan, maka laksanakan semampu kalian” (Mutafaq alaih).

Dan kewajiban muslimah untuk beri’dad tak hanya sebatas bagi diri pribadinya saja, tetapi hendaklah ia senantiasa tahridh (mengobarkan semangat) jihad para muslimah di sekelilingnya, keluarganya serta mendidik mereka untuk senantiasa mempelajari ilmu-ilmu syar’I serta mencintai jihad dan syahid. Tahridh liljihad bisa juga diwujudkan dengan senantiasa ihtimam (perhatian) terhadap berita-berita jihad dari ma’rokah di berbagai belahan dunia sehingga kita menjadi bagian yang tak terpisahkan darinya.”Barangsiapa yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia tidak termasuk darinya” (Al Hadits).

Bisa juga dengan menggalakkan infaq fisabilillah dengan menyisihkan uang yang kita miliki juga menganjurkan muslimah yang lain berinfaq dengan menyisihkan sebagian uang belanja mereka, maka insyaAllah uang tersebut akan dilipatgandakan oleh Allah beberapa kali lipat. Juga yang tak boleh dilupakan untuk saling ta’awun (saling tolong-menolong) memudahkan urusan satu sama lain, membantu keluarga yang ditinggal berjihad/I’dad/syahid serta menyebut kaum muslimim dalam setiap do’a yang kita panjatkan.

Penutup
Demikianlah, kaum muslimah justeru memiliki peran yang sangat penting dan luas dalam faridhah I’dad. Kesungguhan dan kesabaran sangatlah dibutuhkan dalam I’dad, karena kita sedang membangun kekuatan dan mengusahakan faktor-faktor kemenangan yang disyari’atkan. Maka sedikit yang dapat kita kerjakan didalam jihad, insyaalloh besar nilainya di hadapan Alloh Ta’ala dan perjalanan jihad yang panjang ini.


Referensi
1.AlQur’an AlKariem
2.Maktabah Syamilah
3.Al Umdah.Abdul Qodir bin Abdul Aziz
4.Hijrah dan I’dad. Dr.Abdullah ‘Azzam

Oleh: Aulia Haqiqi Al-Izzam
Copas: http://www.facebook.com/note.php?note_id=411895749836
Axact

Empiris

Episentrum Pengkajian Islam dan Riset Sosial mengorientasikan diri untuk menjadi katalisator terwujudnya Mulkiyah Allah di muka bumi, dan bersama-sama menggalang kekuatan kolektif dari potensi-potensi yang telah sejak lama berada dipangkuan Ummat Islam... Billahi Hayaatuna Wallahu Fii Hayatil Mustadz'afin... Hidup Kita Bersama Allah, dan Allah Berada Dalam Kehidupan Kaum Tertindas... Inna fatahna laka fathan mubina...

Post A Comment:

1 comments:

  1. Bagiku sih i'dad yang tepat adalah menjadi istri seorang revolusioner sejati yang gak cengeng karena urusan gono-gini, alias soal dapur ngebul. Masa sih seorang istri kaum revolusioner lebay karena gak punya untuk makeup...hihihihi

    BalasHapus

Bro, ekspresikan ruhul jihad mu !!!