Atmosfer sosio-politik Indonesia pasca Orde Baru dipenuhi oleh --salah satunya eksplosifitas aksi-aksi unjuk rasa; profil pernyataan pendapat publik paling nyata, meski non-konvensional. Aksi-aksi demonstrasi dilakukan, terutama ditujukan untuk memprotes kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat. Tapi aksi demonstrasi juga menampakkan wajah Janusnya; di satu sisi kita dapat menyampaikan aspirasi dan tuntutan sesuai keinginan kita; di sisi yang lain sesungguhnya ia merupakan media yang potensial menjadi alat tunggangan pihak oportunis, kepentingan-kepentingan “manusia selfish”. Atau lain saat pernahkah para aktivis demonstran berpikir tentang sejauhmana eksesifitas (daya-rasa) dari aksi-aksi protes massal itu dapat dirasakan oleh rakyat secara kolektif. Zonder “eksesfiitas” itu, sangat mungkin aksi-aksi yang biasa kita lakukan --seperti long march dari titik kumpul menuju simbol-simbol kekuasaan, atau “karnaval” kendaraan mengelilingi kota hanya sebagai ritus sekelompok “midlle class” (baca: mahasiswa) yang menyatakan diri representasi rakyat. Demonstrasi adalah bahasa atribusi kegelisihan orang-orang, yang dipenuhi oleh brosur-brosur, orasi-orasi provokatif yang memukau dan sentimentil, ataupun dengan hapenning art; berharap di-blow up media massa [?]

Ironis [!], ketika dalam aksi dengan lantang kita meneriakan yel-yel “hidup rakyat” yang sloganistik-- tapi rakyat justru tidak mengetahui kenapa dan untuk apa kita beraksi ? Sadar atau tidak, para demostrans menciptakan dikotomi ! yang justru diarahkan untuk meminimalisir dikotomi. Padahal, keterlibatan rakyat dalam aksi dengan mahasiswa (sebagai pelopor [?]) adalah wajib a'in, karena dengan kekuatan itulah aksi akan menjadi alat perlawanan yang masif dan revolusioner.

Cobalah sesekali atau bahkan berkali-kali kita melakukan re-trospeksi [atau anggaplah “re-kreasi”] apakah [1] aksi-aksi yang kita lakukan telah memberikan konstribusi bagi perubahan nasib rakyat, atau [2] hanya merupakan canda segelintir orang [yang merasa lidah rakyat, penyampai vox dei] di teras-teras wacana, atau juga [3] sekedar memenuhi kewajiban proseduralis atau ruwat tradisi bagi orang yang kecewa pada penguasa, lalu dihadang blokade polisi plus serdadu --yang menyimpan kegerahan laten terhadap massa demonstrasi dan kemudian chaos sebagai ending ceremony. Atau bukalah kembali flash back-- catatan-catatan peristiwa demonstrasi [yang masih tersimpan di benak] ketika menyerukan untuk aksi di basis kampus; mayoritas kawan-kawan mahasiswa telah terjangkit demoralisasi, entah akibat kejenuhan pertarungan politik yang tak kian henti, atau menghindari sinar matahari [hedon kali ye ...], sehingga mahasiswa enggan ikut aksi. ALIANSI TAKTIS ?, mungkin-mungkin saja, tapi itu hanya jika kelompok aktivis bertemu 'musuh bersama' common enemy--, lalu dengan tergopoh-gopoh para “konseptor”, “setting maker” dan “play mover” merumuskan common interest dan common goal-nya (baca: bagi-bagi “kue”), dan setelah itu cair kembali. Jika benar demikian, [jangan-jangan …] itu disebabkan selama ini para aktivis lebih gandrung pada isu-isu yang elite-centris tinimbang yang people-centris [boleh juga ummat-centris, atau proletariat-centris, etc.], lalu pis holopis kuntul baris rame-rame turun ke jalan base on “tugas sosial”, “tradisi sejarah”, “solidaritas”, tas, tas, tas … [yang kegenitan !]. Adalah sangat wajar, gerakan mahasiswa kontra-pemerintah yang tidak disertai oleh summum bonum dan tidak affirmative action, hanya akan menghasilkan; “gerakan selebritis”, “demonstrans selebritis”, “aktivis selebritis”, [… lalu menjadi key note speaker dalam Lepas Malam …] Dan menjadi penghias serta pemanis setia halaman-halaman koran dan televisi. Kalau begitu, jika tidak lagi ingin gerakan-gerakan ini menjadi “sampah” dari tradisi masyarakat urban, maka kita memerlukan satu bentuk aliansi aksi [komite, majelis, atau apapun sebutannya ..] yang melibatkan seluruh komponen dan unsur-unsur massa rakyat, tapi bagaimana bentuknya ? [empiris-batavia]

Hafidz (Mahasiswa Universitas Budi Luhur)
Axact

Empiris

Episentrum Pengkajian Islam dan Riset Sosial mengorientasikan diri untuk menjadi katalisator terwujudnya Mulkiyah Allah di muka bumi, dan bersama-sama menggalang kekuatan kolektif dari potensi-potensi yang telah sejak lama berada dipangkuan Ummat Islam... Billahi Hayaatuna Wallahu Fii Hayatil Mustadz'afin... Hidup Kita Bersama Allah, dan Allah Berada Dalam Kehidupan Kaum Tertindas... Inna fatahna laka fathan mubina...

Post A Comment:

0 comments:

Bro, ekspresikan ruhul jihad mu !!!