Di dalam magnum opusnya yang berjudul “leading the revolution” yang
sempat menjadi best seller tahun 2000, Gary Hammel, pemikir bisnis
terpenting dan berpengaruh di Universitas Harvard, menandaskan akan
munculnya tiga gejala besar yang akan menjadi mainstream dalam manajemen
bisnis dan proyek rekayasa sosial di abad 21, yakni: 1) masa depan
interaksi dan kompetisi antarkomunitas akan didominasi oleh mereka yang
“mengagungkan masa lalu” dan mereka yang bersemangat “mengagas masa
depan”; 2) pertarungan antar “the leading creative minority” akan
berkutat di sekitar mereka yang “mengutamakan pengalaman” dan mereka
yang “menekankan pentingnya hirarki imajinasi”; dan 3) pergulatan ketat
akan terjadi manakala mereka yang melihat bahwa “semua realitas objektif
yang terbentuk di sekitar kita terjalin dalam suasana cool in calm” dan
mereka yang melihat bahwa “semua realitas objektif dan subjektif yang
terjadi di sekitar kita terbentuk oleh dinamika proses yang penuh
gejolak dan dalam suasana yang surut dengan perubahan yang amat cepat”
berbenturan di lapangan!
What about us, telah in touch-kah kita dengan premis major di atas? Atau, akankah kita berpendapat bahwa prognosis itu terlampau berlebihan, bahkan ‘absurd’ dan ‘naif’? Atau, (jangan-jangan) alih-alih ‘pro’ dan ‘kontra’ dengan pendapat di atas, kita bahkan belum lagi menjangkaunya? Paling ekstrem, mungkin kita akan bersikap: “apa urusannya dengan kita? (emang gue pikirin!)”
Sesungguhnya, terlepas dari varian-varian ‘gugahan’ di atas, harus diakui bahwa ‘strategic environments’ kita saat ini sangat kentara mengarah kepada apa yang telah dengan jeli ditilik oleh Gary Hammel, bahwa pada saat yang sama ---para da’i, murraby, dan muharrik serta mujahidin--- memang masih tertinggal dari ‘parameter minimal’ yang harus dimiliki oleh setiap ‘trend setter’ peradaban, kebudayaan, dan moralitas sosial dalam men-transformasi-kan kehidupan, dari kehidupan yang ‘profan’ dan ‘duniawi’ kepada kehidupan yang ‘sakral’ dan ‘ukhrowi’, itu soal lain!
Masalahnya kini, sadarkah kita bahwa zeitgeist dan “kerangka situasi” da’wah yang kita hadapi dewasa ini jauh lebih pelik dan kompleks tinimbang masa-masa “dahulu”, dimana kita kerap kali bersikap ‘mendua’, bahkan ‘inkonsisten’ menyikapinya: yang semestinya kita mengeksplorasi secara cerdas, kritis, dan mencerahkan terhadap sumber rujukan dan ‘ilham masa lalu’ agar kita dapat menginjeksi dengan serum segar elan-mujahadah kita, kita malah seringkali bersikap ‘eskapis’ [terhadap tantangan masa kini] dan ‘romantis’! Tidakkah kita sadari, betapa para stratig, ideology, intelektual-mujahid, dan para teoritisi perubahan sosial ‘kelas dunia’, apapun afiliasi nilai budaya, orientasi politik dan platform ideology mereka ---mulai dari Karl Heinricht Marx dan Vladimir Ulyanov Lenin hingga Mao Ze Dong dan DN Aidit serta Tan Malaka, mulai dari Ernst Renan, Otto Bauer dan Karl Haushofer hingga Soekarno, Castro, Kemal At Taturk, Nasser dan Nehru serta Sun Yat Sen, mulai dari Minh dan Kim Il Sung hingga Ernesto Che Guevara, mulai dari Romo Paul Guitierez dan Paolo Freire, mulai dari Syeikh Jamaludin Astarabadi, Syeikh Muhammad Abduh, Allamah Rasyid Ridha, Hasan Al Bana hingga Sayyid Quthb, mulai dari Rumi dan Iqbal hingga Ali Syariati, mulai dari Moamar Qaddafy dan Maodudy, dan mulai dari Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Daud Beureuh hingga Qahhar Muzakkar, disamping Sardar, Mohammad Arkoun, Hasan Hanafi, dan Alvin Toffler serta Maximilian Weber--- menyadari betul arti penting konsep “self consciousness”, “free will/predestination” dan “creativity”, atau “reformation/innovation” sebagai ibtidaa’ yang paripurna dalam merentang sebuah kerja besar bertajuk “transformasi tamaddun”! Laa haula wa laa quwwata illaa billaah...
#kritik_oto_kritik nextREsist, 13 Juni 2015 Masehi
What about us, telah in touch-kah kita dengan premis major di atas? Atau, akankah kita berpendapat bahwa prognosis itu terlampau berlebihan, bahkan ‘absurd’ dan ‘naif’? Atau, (jangan-jangan) alih-alih ‘pro’ dan ‘kontra’ dengan pendapat di atas, kita bahkan belum lagi menjangkaunya? Paling ekstrem, mungkin kita akan bersikap: “apa urusannya dengan kita? (emang gue pikirin!)”
Sesungguhnya, terlepas dari varian-varian ‘gugahan’ di atas, harus diakui bahwa ‘strategic environments’ kita saat ini sangat kentara mengarah kepada apa yang telah dengan jeli ditilik oleh Gary Hammel, bahwa pada saat yang sama ---para da’i, murraby, dan muharrik serta mujahidin--- memang masih tertinggal dari ‘parameter minimal’ yang harus dimiliki oleh setiap ‘trend setter’ peradaban, kebudayaan, dan moralitas sosial dalam men-transformasi-kan kehidupan, dari kehidupan yang ‘profan’ dan ‘duniawi’ kepada kehidupan yang ‘sakral’ dan ‘ukhrowi’, itu soal lain!
Masalahnya kini, sadarkah kita bahwa zeitgeist dan “kerangka situasi” da’wah yang kita hadapi dewasa ini jauh lebih pelik dan kompleks tinimbang masa-masa “dahulu”, dimana kita kerap kali bersikap ‘mendua’, bahkan ‘inkonsisten’ menyikapinya: yang semestinya kita mengeksplorasi secara cerdas, kritis, dan mencerahkan terhadap sumber rujukan dan ‘ilham masa lalu’ agar kita dapat menginjeksi dengan serum segar elan-mujahadah kita, kita malah seringkali bersikap ‘eskapis’ [terhadap tantangan masa kini] dan ‘romantis’! Tidakkah kita sadari, betapa para stratig, ideology, intelektual-mujahid, dan para teoritisi perubahan sosial ‘kelas dunia’, apapun afiliasi nilai budaya, orientasi politik dan platform ideology mereka ---mulai dari Karl Heinricht Marx dan Vladimir Ulyanov Lenin hingga Mao Ze Dong dan DN Aidit serta Tan Malaka, mulai dari Ernst Renan, Otto Bauer dan Karl Haushofer hingga Soekarno, Castro, Kemal At Taturk, Nasser dan Nehru serta Sun Yat Sen, mulai dari Minh dan Kim Il Sung hingga Ernesto Che Guevara, mulai dari Romo Paul Guitierez dan Paolo Freire, mulai dari Syeikh Jamaludin Astarabadi, Syeikh Muhammad Abduh, Allamah Rasyid Ridha, Hasan Al Bana hingga Sayyid Quthb, mulai dari Rumi dan Iqbal hingga Ali Syariati, mulai dari Moamar Qaddafy dan Maodudy, dan mulai dari Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Daud Beureuh hingga Qahhar Muzakkar, disamping Sardar, Mohammad Arkoun, Hasan Hanafi, dan Alvin Toffler serta Maximilian Weber--- menyadari betul arti penting konsep “self consciousness”, “free will/predestination” dan “creativity”, atau “reformation/innovation” sebagai ibtidaa’ yang paripurna dalam merentang sebuah kerja besar bertajuk “transformasi tamaddun”! Laa haula wa laa quwwata illaa billaah...
#kritik_oto_kritik nextREsist, 13 Juni 2015 Masehi
Post A Comment:
0 comments:
Bro, ekspresikan ruhul jihad mu !!!