Oleh: Mohandes Haraky Budi Santoso



Bismillahirrahmanirrahim,


PREMIS MAJOR
Secara sederhana, implikasi-implikasi etis yang terkandung di dalam Al-Quran dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar. Bagian pertama berhubungan dengan kehidupan etis kaum Muslim di dalam komunitas Islam. Bagian kedua berhubungan dengan sifat etikorelegius yang menukik ke dalam sifat esensial manusia sebagai homoreligius yang harus terungkapkan (Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam Al Qur’an, 1993). Capaian ideal atas pengungkapan diri (aktualisasi) kaum Muslim pada stanza ini akan melahirkan prototype kesadaran Islam sejati, dan sebaliknya, kegagalan atas capaian ideal pengungkapan diri kaum Muslim ini bisa jadi akan mendorong lahirnya berbagai bentuk deviasi dan eskapisme agama –suatu bentuk sikap keagamaan yang teramat jauh dari prinsip-prinsip moral dan cita-cita spritual Islam sendiri.

Meski tidak mungkin mengabaikan bentuk-bentuk dan karakter lingkungan interaktifnya yang dapat mendorong lahirnya pelbagai kesadaran semu tersebut, betapa pun juga pemahaman yang benar akan doktrin keagamaan akan jauh lebih kuat mendorong kaum Muslim untuk menyerap ‘al-Hikmatu ‘l-Khalidah’ (Philosophia Perennis) ketimbang terpuruk kedalam ketidak berdayaan. Dengan demikian, aktualisasi tidaklah mungkin terwujud tanpa kembali ke pusat eksistensi, karena “kembali ke Pusat Eksistensi’ berarti kembali kepada Islam sebagai “sumber keinsyafan makna hidup”.


MAKNA AGAMA
Mengabaikan pengertian dan definisi-definisi para antropolog dan sosiolog mengenai agama, pengertian dan makna agama disini akan didefinisikan dari sumber asalinya. Islam, baik sebagai agama maupun sebagai sebuah agama yang membedakannya dengan agama lain (S.H. Nashr, Islam dalam Cita dan Fakta, [Jakarta: LEPPENAS, 1981]), berasal dari akar kata ‘Diin’. Cakupan serba-makna akar kata ini meliputi mulai dari klaim Al-Khaliq sebagai Realitas Tunggal di jagad raya ini, hingga konsekuensi-konsekuensi sosio-moral-yuridisnya atas ummat manusia sebagai makhluk zoon politicon.
Klaim dan cakupan pertama makna kata ‘Diin’ adalah kewenangan dan kekuasaan Tuhan, yang kedigdayaannya meliputi penciptaan, penyempurnaan bentuk, penetapan ukuran, karakter dan kecenderungan-kecenderungan hereditas seluruh unsur dan fenomena semesta, serta pemberi petunjuk kepada semua kecenderungan alamiah dan karakter makhluk-Nya (QS. Al A’la: 2-3). Implikasi fisikal dan spritual dari klaim dan cakupan pertama adalah klaim dan cakupan kedua dari makna kata ‘Diin’, yakni ketundukan, kepatuhan dan kepasrahan, baik secara terpaksa atau sukarela dari sekalian mahluknya terhadap hukum-hukum dan ketentuan alam yang sungguh-sungguh eksis di marcapada ini, sementara kesesuaian antara kecenderungan-kecenderungan alami manusia ---psikis, biologis, emotif intuitif dan nous/intellectus--- (baca: fitrah), dengan tata aturan dan petunjuk-Nya, akan menghantarkan manusia kepada pencapaian prestasi insaniah yang sangat dahsyat. Inilah makna ketiga dari ‘Diin’.

Akhirnya sejauh mana manusia mampu dan konsisten menyelaraskan makna-makna dan implikasi-implikasi di atas dalam kapasitas individual dan level sosialnya, semuanya akan diperhitungkan dan dimintakan pertanggungjawabannya di “Hari Pembalasan” (Yawmu ‘d-Diin). Inilah makna pamungkas dari ‘Diin’. Dari sini, jelas sekali bahwa konsep ‘agama’ dalam Islam bersifat multi dimensional: Kosmologis, Sosiologis, sekaligus Eskatologis. Dan dengan tiga pilar inilah Islam membangun karakter sesensial spiritual manusia, selaras dengan ‘pandangan-dunia’-nya. Masalahnya kini, apa makna simbolik yang bergelora di balik dimensi-dimensi perennial ini, dan dalam kerangka immanensi yang bagaimanakah proses emanasi transhistoris makna simbolik itu terwujud kedalam realitas objektif kehidupan manusia?


INSAN KAMIL BUKAN PROMOTHEANIS
Karakteristik spiritual utama manusia menurut makna pertama ‘Diin’ adalah bahwa manusia di tengah alam semesta ini, bukanlah ‘penguasa tunggal’ yag dapat berbuat sekehendak nafsu dan ambisinya. Ia bukanlah ‘manusia jagoan’-nya Jean Pierre Sartre, atau ‘manusia super’-nya Nietzsche – jenis manusia yang mengidap paranoid karena selalu curiga kepada orang lain di sekelilingnya. Ia adalah manusia yang ‘ada’-nya dan ‘keberadaan’-nya tidak terlepas dari keberadaan Sang Ego Kreatif. Oleh karenanya, bukan angan-angan yang menuntunnya dan menjadi suluh bagi hidup dan kehidupannya, melainkan Cahaya dan Petunjuk Ilahi.

Manusia harus mampu menyelaraskan segenap ego, kemampuan inderawi, dan potensi adikodratinya dengan Titah Gusti. Karena dia-lah sumber dan pemilik cinta, Pengetahuan, Hikmah, serta Keadilan sejati. Apabila manusia gagal dalam usahanya ini, ia akan senantiasa berada dalam kensbian tak terperikan. Meskipun demikian, tidak berarati manusia harus pasif, stagnan, dan fatalistik. Bahkan manusia harus mampu menjadi ‘penjelmaan wujud’ Sang Ego Kreatif (the Embody of The Super Creatif Ego), yang menaburkan cinta, pengetahuan, hikmah, dan keadilan di dunia ini.

Lebih jauh lagi, tak akan pernah tenjadi pemberontakan menusia terhadap Tuhan/Dewa-Dewa yang dianggap memasung kratifitas dan kehendak bebas mereka dalam menaklukan alam. Sikap seperti ini terpatri kuat dalam hikayat promothean dalam mitologi yunani –satu sikap dan karakter yang paralel dengan ‘manusia jagoan’ –nya Sartre dan ‘manusia super’-nya Nitzsche, sekaligus identik dengan watak eksploratif manusia modern terhadap isi kandungan alam ini: watak yang melahirkan hedonisme sebagai anak kandungnya dan kerusakan ekosistem sebagai monumennya.

Dalam perspektif filosofis dan metafisika Islam, manusia adalah khalifah Allah yang bertugas memikul amanah-Nya dan bertanggungjawab atas “pemakmuran bumi” dan “penaburan rahmat bagi semesta”. Karena itulah, Tuhan menghiasi manusia dengan seperangkat titisan karakter-Nya, agar manusia mampu menjadi Insan Kamil, yakni manusia sejati yang memiliki khudi atau kesadaran Ilahi, seperti halnya para Nabi AS.


BUKAN ‘ASKETISME DUNIAWI’ TETAPI ‘MUJAHID SEJATI’
Apabila perspektif filosofis dan metefisika Islam seperti di atas dapat difahami, maka bagaimanakah praksis sosialnya? Yang pasti, manusia jenis ini bukan lah sosok manusia pedamba mistisisme atau pemuja asketisme, seperti Syah Wali Gangoh, yang membayangkan puncak kenikmatan fana,-nya seandainya ia yang dipilih Allah untuk mi’roj sebagimana Muhammad SAW., atau asketisme semu yang begitu dipuja oleh Max Weber ketika ia mengagas “The Protestant Ethics and The Spirit of Capitalism”.

“Bila aku yang naik ke langit (mi’roj) bertemu Kekasih-ku sebagaimana Muhammad”, demikian Syah Wali Gangoh berujar,”…maka aku tak ingin lagi kembali ke dunia yang penuh kesibukan dan hiruk pikuk duniawi; aku akan tetap bertahan di dalam kenikmatan fana’-ku, berada di Sisi-Nya” (cf.Sir Muahmmad Iqbal, The Recontruksion of Religius Thought in Islam,1974; ‘Allamah Muthahhary, Manusia dan Agama, 1985, mengutip Iqbal). Demikian pula dengan Weber, yang karena ‘kelengahan’ dan ketidaktahuan’-nya, tanpa disadari sesungguhnya spirit ‘asketisme duniawi’ inilah yang klimaknya melahirkan watak dan perilaku hedonistik manusia modern yang mengandung ambivalensi akut, atau lebih tepat lagi adalah ‘paradoks yang mencolok mata’: hidup hemat dan irit dalam berusaha, tetapi merengguk kenikmatan sepuas nafsu bila telah berhasil !. Apabila bukan ‘asketisme eskapis’ Syah Wali Gangoh dan dan ‘asketisme duniawi’ Max Weber, maka praksis sosial manakah yang didambakan Islam? Jawabnya tegas: ia tak lain adalah makna simbolik di balik implikasi sosiologis makna kata ‘Diin” yang kedua.

Islam penuh dengan tuntunan ke arah kearifan dan kesyahduan hubungan batin antara hamba dan khalik-Nya, tetapi Islam tidak pernah menganjurkan ummatnya untuk menjadi rahib, yang asyik masyuk dengan dzikir dan ma’rifat, namun tidak peduli kepada nasib orang lain. Islam juga sangat menganjurkan kesalehan, zuhud, wara’, namun sama sekali tidak melarang ummatnya untuk meraih kekayaan. Harmoni diantara keduanya stanza inilah yang dipandang ideal oleh Islam untuk ummatnya: hati orang beriman senantiasa terisi dengan ma’rifati ‘Ilahi, nuraninya selalu bergelora dengan cinta dan Hikmah; namun, naluri insaniah-nya senatiasa peka akan keadilan, dan kekayaan duniawi cukup dikuasakan dalam genggaman tangan-Nya.

Apabila telah demikian, demi kerinduannya kepada Ilahi, demi komitmennya kepada keadilan dan kemanusiaan, dan demi memelihara amanah atas segala kekayaan yang dikaruniakan Allah kepadanya, orang beriman tidak akan pernah merasa enggan, terlebih lagi kecut dan mementingkan diri sendiri, untuk berkorban dan memberikan cintanya kepada sesamanya dan kepada sesama mahluk-Nya. Pengertian ini menuntut keharusan untuk bersungguh-sungguh meniti jalan Ilahi, menundukan seluruh ego pribadi demi kebenaran dan kemanusiaan. “Setiap Agama memiliki system kerahiban dan pertapaannya sendiri-sendiri; dan di dalam Islam, system itu tidak lain adalah “Jihad Fii Sabiili ‘I-Lahi!” (Dr.Ali Syari’ati, Hajji, 1981). Lalu, apa makna simbolik dibalik stanza ini ?

Makna simbolik dari praksis sosial di sini tak lain adalah: Hanya dengan berkorban-lah, terutama mengorbankan sesuatu yang paling dicintainya, yakni harta kekayaan dan ego insaniah-nya, harkat dan martabat kemanusiaan manusia memperoleh maqom dan nilai tertingginya. Hal ini sesuai dengan makna dan hakikat terdalam dari kata ‘korban’, yaitu mendekatkan diri kehadirat Ilahi Robbi (qoraba ,yaqrobu,qorbanan)


Bukan Orientasi Ke-‘saat ini dan di sini’-an, melainkan Orientasi “Yaumu ‘l-Akhir”
Apakah raison de’tre dari hajat Islam akan semua symbol dan makna di atas, seperti ‘Insan Kamil’, Khudi, Jihad fii Sabiili l-Lahi dan Qurban ? Tidak lain dimaksudkan agar manusia tidak terpana oleh kemilau pesona wujud-wujud dan lingkungan fisiknya, yang kerap menipu pandangan kasat matanya. Bila manusia telah tertipu oleh kemilau pesona ornamen dan lingkungan fisik yang mengitarinya semata, manusia akan berhenti dan terpuruk di terminal superficial; dunia dan untuk dunia semata !

Selanjutnya, tanpa disadarinya, manusia telah membangun penjara bagi dirinya sendiri, Yang bahkan ia sendiri tidak mampu menembus dinding-dindingya yang kukuh. Karena dinding-dinding penjara itu dirajut oleh harapan dan angan-angan akan kediriannya semata. Pada puncaknya, tercerabut lah kesadaran manusia akan dunia ini, yakni bahwa dunia ini hanyalah terminal eksistensial pertama yang akan menghantarkannya kepada terminal berikutnya, dan digantikan oleh perangkap yang satu sisi sangat memukau dan menyilaukan mata kasatnya, namun di sisi lain membutakan mata hatinya ! Pada fenomena inilah, manusia telah mentasbihkan diri sebagai cahaya dari dan yang berorientasi kepada ke-‘saat ini dan di sini’-an, yang bahkan enggan menunda walau sesaat kenikmatan-kenikmatan duniawi yang tengah direguknya.

Tuntunan Islam kepada ummatnya jelas sangat berbeda dengan ilustrasi diatas. Islam bukan hanya menggambarkan dan mengajarkan kepastian akan adanya akhirat (Yaumu ‘l-Akhir) dan tibanya Qiyamah kelak, melainkan Islam juga mendidik ruhani ummatnya akan arti penting kehadiran Qiyamah dan Hari Akhir di hati sanubari ummatnya dalam hidup dan kehidupan kiwari. Hikmah di balik ini semua adalah Islam menghendaki agar ummat manusia dapat mengerahkan dan memanfaatkan secara optimal seluruh kemampuan inderawi dan potensi adikodratinya, melalui serangkaian pendalaman refleksi dan kontemplasi dalam rangka pengendalian diri secara prima, demi meraih kejayaan sejati di kehidupan yang abadi kelak. Diametral dengan hikmah dibalik ini semua adalah makna simboliknya: Islam menuntun ummatnya menjadi ‘manusia duniawai yang berdimensi ukhrawi’ agar maujud menjadi “manusia nisbi yang berkarakter Illahi”.


EMANASI TRANSHISTORIS MAKNA SIMBOLIK KE DALAM REALITAS OBJEKTIF
Transformasi nilai-nilai luhur dari satu generasi ke generasi berikut dalam satu komunitas tidaklah berlangsung begitu saja dan dalam waktu singkat. Upaya ini memerlukan kedalaman perenungan, kecermatan pemikiran dan kematangan perencanaan, di samping ketetapan metodologi dan kejituan strategi. Ia juga memerlukan revisi dan revaluasi continual dalam rentang waktu yang runut, dan sinambung. Dan tidak lupa pula, daya dukung yang tidak bisa diabaikan: sarana dan prasarana material. Namun yang paling penting untuk dihayati adalah proses transformasi atau emanasi dalam konteks makna simbolik. Proses ini tidak mungkin mencapai target hanya dalam satu dua malam saja. Satuan waktu untuk mega proyek kemanusiaan yang dalam terminology modern disebut engineering ini adalah generasi. Bandingkan dengan pernyataan Fazlur Rahman bahwa rekayasa pendidikan baru dilihat hasilnya dalam dua atau tiga generasi (Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Tranformasi Pendidikan, 1986). Hal ini berarti proses transformasi mesti berlangsung secara lintas generasi dan dalam situasi yang inter-relatif dan inter-influensial dengan lingkungan-lingkungan strategic sosio-kultural dan sosio-historisnya (baca: transhistoris).

Hal ini penting ditekankan, mengingat tanpa interaksi yang konkret dan masif dengan lingkungan sosio-kultural dan sosio-historisnya, proses engineering bukan saja kehilangan dasar pijak yang nyata dalam berhadapan dengan realitas objektif-nya sehingga menjadi ahistoris, melainkan juga nilai-nilai yang hendak diwariskan menjadi tidak sublim untuk menghadapi modernitas. Kondisi seperti ini tentu saja sangat tidak menguntungkan ummah.

Yang perlu digarisbawahi pertama kali dalam peningkatan kualitas SDM adalah parameter utama SDM yang dipandang berkualitas bukanlah semata-mata bersifat teknis atau teknologis. Cukup banyak, bahkan teramat banyak, contoh-contoh dalam berbagai lingkup dan skala, betapa keterampilan teknis atau penguasaan teknologi, sungguhpun demikian pentingnya, bukanlah satu-satunya “summum bonum” dalam kehidupan manusia. Ketrampilan teknis atau penguasaan teknologi yang tidak dapat dilambari oleh kendali moral dan sikap serta orientasi hidup yang positif terbukti telah mengundang petaka ketimbang karunia.

Eksploitasi sumber saya alam, kegiatan spionase militer illegal negara-negara adidaya atas negara-negara sekutu dan seterunya, hingga peperangan dengan menggunakan persenjataan ultra modern di sejumlah kawasan dalam tiga decade akhir, adalah bukti-bukti yang mencolok mata atas premis major diatas. Betapa pun juga, seperti dikatakan Roger Garaudy dalam salah satu masterpiece-nya (Le Testament Philoshophique de Roger Garaudy, 1983), bahwa “akar kriminalitas manusia modern terletak pada tidak menyatunya pikiran dan perasaan, atau antara ruhani dan intelek manusia…’ Maka demikian pula wacana kita. Orientasi ukhrawi, kesadaran diri, pengutamaan secara proposional akan hajat orang banyak ketimbang kepentingan pribadi, sifat amanah terhadap segala amar yang dititipkan, adalah sendi-sendi utama moralitas dan spiritualitas pemupuk integritas kepribadian seseorang.

Selanjutnya, sikap optimistik, yakin dan lapang dada serta pantang menyerah adalah buah surgawi langsung dari api al-Islam, yakni berserah diri secara aktif, responsif dan sadar akan eksistensi Allah sebagai “Samudera Asa”, “Telaga Energi dan Inspirasi”, dan “Tempat Bergantung Sejati”, yang dapat diraih secara pasti oleh orang-orang yang sungguh-sungguh ber-Islam.

Pada puncaknya Islam-lah yang akan menyelaraskan triumvirat emosi, intelijensi, dan motivasi seseorang dalam menggapai prestasi dan meraih posisi dengan sendirinya, bila meritocracy system telah sungguh-sungguh dijadikan sebagai aturan main di seluruh sistem-sistem lingkungan kita. Bagaimanakah watak, proses, dan metodologi serta strategi alternatif implementasi emanasi transhistoris makna-makna simbolik ini agar dapat dirasakan riil manfaatnya oleh bangsa Indonesia, kepada sidang pembacalah kiranya masalah besar ini saya haturkan !

Wa ‘l-Lahu A’lamu bi ‘sh-Shawwabi
Axact

Empiris

Episentrum Pengkajian Islam dan Riset Sosial mengorientasikan diri untuk menjadi katalisator terwujudnya Mulkiyah Allah di muka bumi, dan bersama-sama menggalang kekuatan kolektif dari potensi-potensi yang telah sejak lama berada dipangkuan Ummat Islam... Billahi Hayaatuna Wallahu Fii Hayatil Mustadz'afin... Hidup Kita Bersama Allah, dan Allah Berada Dalam Kehidupan Kaum Tertindas... Inna fatahna laka fathan mubina...

Post A Comment:

0 comments:

Bro, ekspresikan ruhul jihad mu !!!