PENDAHULUAN

Mencermati keadaaan Republik Indonesia Serikat (RIS) dewasa ini, nampaknya belum pulih benar dari krisis multidimensional. Fenomena kemiskinan, perbudakan, ketertindasan, dan ketidak-adilan semakin nampak, sedangkan pertikaian dan potensi peperangan antar saudara sebangsa semakin mencuat. Apakah semua hal tersebut termasuk masalah agama??? Jika jawabannya Ya! Maka adakah ISLAM mampu memberikan jawaban atas permasalahan tersebut. Atau ISLAM hanya membina manusia menjadi saleh secara personal, dimana ketaqwaan dipahami sebagai hasil sebuah proses ritualistik belaka???

Episentrum Pengkajian Islam dan Riset Sosial (EMPIRIS) memandang sebagai sebuah ironi, bila Biro Perjalanan Haji dan Umroh di Republik Indonesia Serikat tumbuh pesat, justeru pada saat samudra kemiskinan (pengangguran, anak jalanan, keluarga kurang makan, pengungsi, dsb.) yang kian menghebat. Sebagian besar petani sawah, petani tebu, peternak ayam, nelayan, kaum buruh, dan kaum urban lainnya, telah lama mengalami proses pemiskinan dan perbudakan. Para maling yang kelaparan di jalanan, yang mencuri demi sesuap nasi bagi anak dan isterinya, telah dibunuh dan dibakar. Namun para koruptor, komprador, perampok hutan HPH, penjual asset bangsa, dan para pencoleng dana BLBI (ratusan milyar bahkan triliun) tetap boleh tersenyum. Ada juga ummat beragama yang mengatakan ajaran agamanya menjunjung kedamaian, keselamatan, dan kasih sayang, ternyata malah mengobarkan permusuhan dan peperangan!!!

Sebagai penggugah pikir, patut diajukan sejumlah pertanyaan serius. “Apakah Islam hanya tercermin dengan kopiah dan bangunan mesjid? Apakah syahadat hanyalah bacaan ikrar tak bermakna? Apakah salam hanyalah ucapan sapaan semata? Apakah puasa hanyalah menahan lapar di siang hari, dan makan sepuasnya di malam hari? Apakah zakat hanyalah menyerahkan 3,5 liter beras dan sedikit harta yang mencapai nisab sebagai sikap dermawan? Apakah Idul Fitri hanyalah salam-salaman dan pakaian baru? Apakah haji mabrur hanyalah berwujud kopiah putih dan sorban? Apakah pakaian taqwa itu adalah baju gamis?”

“Apakah makna hakiki dari sejumlah istilah berikut: Islam, Iman, Taqwa, Kufur, Nifaq, Syirik, Muslim, Mukmin, Muttaqin, Munafiqin, Musyrikin, dan Kafirin. Apakah semua peristilahan tersebut masih relevan menjawab tantangan realitas kemanusiaan kini??? Bukankah Islam adalah kedamaian, kesetaraan, persaudaraan universal, dan keadilan???”

ERA JAHILIYYAH SAAT ITU

Tema diskusi kali ini adalah Islam sebagai Agama Pembebasan, dalam pengertian Islam sebagai konsep ‘Teologi Pembebasan’. Pertanyaannya adalah mengapa Teologi Pembebasan? Dan untuk apa gerangan? Dua pertanyaan ini perlu dijawab agar Kita dapat melakukan gerakan pembebasan. Engineer (1999: 41) menyatakan bahwa gerakan pembebasan selalu bergerak dari pernahaman terhadap kondisi sosial, ekonomi, politik, agama, dan tatanan budaya yang sedang berlangsung. Karena Muhammad Saw. diangkat sebagai Rasul setelah melakukan kontemplasi mendalam untuk mencoba memahami keadaan sosial-politik-ekonomi-budaya masyarakat saat itu.

Oleh karena itu kita perlu mencermati lagi secara seksama kondisi masyarakat Makkah pada era jahiliyyah sebelum Muhammad diangkat sebagai Rasul. Ada beberapa hal yang menarik untuk disimak, antara lain:

  1. Masyarakat Makkah saat itu adalah masyarakat buta huruf dan tidak memandang penting belajar baca-tulis. Hanya segelintir orang yang dapat membaca dan menulis. Namun mereka sangat menggemari puisi sebagai sesuatu yang dibacakan dan didengarkan, terutama dalam kesempatan berziarah ke Ka’bah dan pasar Ukazh[1]. Sehingga bahasa Arab hanyalah bahasa lisan.
  2. Pandangan sosial mereka sangat sempit dan sangat sulit memahami orang lain di luar sukunya. Mereka membanggakan nenek-moyangnya, dan jika perasaan kesukuannya sampai tersinggung, maka akan terjadi pertumpahan darah berkepanjangan. Orang tidak mengakui konsep kemananusiaan di luar dirinya. Mereka hidup dalam tata aturan dan tradisi yang tidak tertulis dan terbatas pada adat suku, serta cenderung sangat menguntungkan bangsawan suku.[2]
  3. Kondisi ekonomi mengalami kesuraman tidak terperikan. Dimana kehidupan ekonomi golongan masyarakat lemah sangat mengkhawatirkan. Karena struktur ekonomi kesukuan telah mengalami keruntuhan, digantikan oligarkisme perdagangan. Oligarki tumbuh karena keserakahan terhadap materi danpelanggaran segala aturan. Sebagian besar harta kota hanya dimiliki oleh segelintir anggota masyarakat, sehingga sangat banyak kemiskinan dan perbudakan (baik laki-laki maupun perempuan). Mereka tidak lagi memiliki harkat dan martabat kemanusiaan[3].
  4. Kehidupan keagamaan bahkan lebih buruk, karena setiap suku memiliki berhala sendiri, berjumlah tidak kurang dan 360 berhala yang diletakkan di Ka’bah. Tahayul bagi mereka adalah nilai agama yang kuat, tidak ada orang yang berusaha memperluas pengetahuannya, sehingga seluruh kehidupannya dikendalikan oleh takhayul[4].
  5. Posisi perempuan sangat tidak dihargai, mereka tidak dapat memainkan peran independen dalam bidang sosial-ekonomi-politik. Status perkawinan mereka lebih buruk lagi, sehingga harus hidup dengan seorang suami yang mempunyai lebih dan dua belas istri. Perempuan tidak dihargai sebagai manusia, diturunkan derajatnya jadi sekedar alat pemuas syahwat peria belaka. Perempuan dianggap sebagai beban hidup, yang dalam banyak kasus telah dikuburkan hidup-hidup, sebaga!mana disebut dalam Al-Qur’an surat 81: 8-9 (bila bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanyai karena dosa apa dia dibunuh ?) [5].


Demikian potret era jahiliyah itu, kota perdagangan internasional amat strategis diantara Asia Tengah, Yordan, Yaman, Mesir, India, Persia, Etiopia, dan Rum. Sentral lintasan ekonomi perdagangan dan keuangan serta politik yang bernuansa kapitalistik primitif, dipenuhi dengan perdagangan segala komoditi, termasuk seks, perbudakan, perjudian, pemerasan, perampokan, dan ketimpangan sosial. Kota dimana para pengusaha konglomerat kapitalis berkolusi dengan aristokrat penguasa otoriter, yang membuat dan mengimplementasikan undang-undang diskriminatif yang berpihak kepada mereka sebagai instrumen memelihara posisi para elit dan ketimpangan kelas masyarakat. Para elit hidup dalam kesombongan dan kebanggaan segala pangkat dan kehormatan, di tengah ummat proletar dan kaum perempuan yang tak memiliki hak asasi, yang hidup dalam kemelaratan dan ketertindasan, tanpa perlindungan hukum, tidak juga dan tuhan patung mereka. Sebuah kota dengan multi dimensi ketimpangan.

Namun tidak semua penduduk kota menerima segala kondisi pemerasan dan penjajahan masyarakat ini. Mereka yang terpinggirkan dan hidup terisolir di pedalaman yang jauh dan keramaian kota, meratapi dan mengutuk ketidakadilan. Mereka hidup dengan ketajaman mata pedang sebagai begal jalanan yang menerkam para kafilah dagang manca negara. Di sana mereka menyusun kekuatan sambil mendekap luka penuh dendam kesummat, yang melahirkan kerajaan gembel dengan tradisi prusianisme yang meneriakkan cita-cita semu tentang sebuah keadilan. Adakah gambaran tentang masa jahiliyah juga terdapat di Negeri ini sekarang???

Justeru di tengah merajalelanya kekejaman, dan kelamnya nuansa kehidupan, serta rintih tangis penderitaan itulah, lahir insan sang pembebas dan pembawa risalah penunjuk jalan: Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttholib. Muhammad Saw. membebaskan masyarakat dari penderitaan, takhayul, penindasan, perbudakan, kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan. Pembebasan yang mengangkat harkat martabat manusia serta memberikan kebebasan berfikir dan berbuat. Muhammad berjuang untuk membebaskan masyarakat dengan berperan sebagai guru, filosof, pemimpin, aktivis lapangan, dan juga sebagai pejuang perang yang penuh hikmah (Engineer, 1999: 45).

REPUBLIK INDONESIA SERIKAT SAAT INI

Dalam substansi yang relatif sama, namun dengan tingkat kompleksitas jauh lebih tinggi, Kuntowijoyo dalam ceramah Ramadhan di Masjid Syuhada Yogyakarta 1987, mengemukakan problem manusia modern. Manusia dalam masyarakat modern menghadapi mekanisasi kerja yang ketat dan padat. Alat-alat produksi yang dihasilkan oleh teknologi modern dengan proses mekanisasi, otomatisasi, dan standarisasi temyata telah menyebabkan manusia cenderung menjadi elemen yang mati dari proses produksi. Teknologi yang sesungguhnya diciptakan untuk pembebasan manusia dari kerja temyata telah menjadi alat perbudakan baru, yang memperbudak manusia menjadi elemen produksi, dan memperbudak masyarakat untuk mengkonsumsi segala bentuk produk sebagai kebutuhan-kebutuhan semu (Kuntowijoyo, 1998: 161 edisi pertama terbit tahun 1991).

Dalam masyarakat kapitalistik, manusia hanya menjadi elemen pasar. Kualitas kerja manusia dan bahkan kualitas kemanusiaan itu sendiri banyak ditentukan oleh kekuatan pasar. Dalam masyarakat komunis, manusia tidak menjadi elemen dari pasar tetapi menjadi elemen birokrasi yang sentralistis. Bahkan menurut marxisme, manusia dianggap tidak merdeka, karena kesadaran serta keberadaan sosial dan eksistensialnya ditentukan oleh cara produksi dan posisi ekonomi. Manusia hanyalah produk dan masyarakatnya dan tidak mempunyai orientasi transendental. Demikianlah, di dalam kedua sistem sosial masyarakat modern, fungsi manusia telah turun hanya sekedar menjadi elemen (Kuntowijoyo, 1998: 162).

Kedudukan manusia dalam masyarakat modern telah terdegradasi. Manusia yang pada zaman Renaisans digambarkan sebagai pusat segala sesuatu, pada zaman modern telah tereduksi kembali hanya sebagai unsur kecil di dalam sistem raksasa ekonomi dan politik, bahkan telah terbelenggu oleh mekanisme dan sistem-sistem yang dibangunnya sendiri tersebut. Dalam beberapa pemikiran filsafat kontemporer Barat, kedudukan manusia digambarkan secara absurd sekali, menderita kesepian yang amat sangat, mengalami kesendirian, kebosanan, dan kesia-siaan. Suatu pandangan dan gambaran yang pesimis tentang manusia

[6] (Kuntowijoyo, 1998: 162).

Kuntowijoyo menegaskan bahwa, Islam justeru mengajarkan pembebasan dan bukan pengekangan. Menurut Islam, aktualisasi diri manusia hanya dapat terwujud dengan sempurna jika manusia bersedia hidup di dalam pengabdian kepada penciptanya. lnilah misi Islam yang paling besar, yaitu membebaskan manusia dan segala belenggu. Dalam konteks dunia modern, berarti harus membebaskan manusia dan kungkungan semua aliran pemikiran dan sistem yang menyebabkan manusia tidak dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang merdeka dan mulia. Agaknya Islam harus tampil sekali lagi memimpin peradaban dan melakukan Revolusi Pembebasan Manusia dari kehampaan spiritual dan belenggu dunia modern.

Nusantara hari ini, mungkin tidak sama persis dengan potret peradaban kota Makkah abad VII di atas. Namun, dalam pandangan EMPIRIS, unsur-unsur sosio-ekonomi, sosio-politik dan sosio-budaya dan potret peradaban tersebut telah muncul secara amat kompleks. Mungkin masih sangat relevan, bahkan menggemaskan, bila kita simak tulisan Kuntowijoyo (Kuntowijoyo, 1998: 303), bahwa sebegitu jauh banyak pemimpin Islam di Nusantara sebenamya hanya mengenal konsep yang normatif mengenai masyarakat (ummat atau jamaah). Mereka tidak pernah (sangat jarang) mengetahui kenyataan empiris adanya stratafikasi, difrensiasi, maupun polarisasi sosial yang terjadi dalam masyarakat. Di dalam kesadaran teologi semacam ml, mereka lalu kehilangan orientasi objektif untuk menerapkan strategi gerakan religio-sosio-politisnya.

Dalam setting zaman kolonial, ketika terjadi polarisasi antara kelas penjajah dan terjajah, para pemimpin agama masih mudah melakukan pemihakan karena dapat mengidentifikasi kaum penjajah sebagai kaum kafir (karena mereka tidak beragama Islam). Identifikasi ini adalah identifikasi yang nonmatif sifatnya. Tetapi siapakah kaum kafir pada zaman konglomerat saat ini??! Siapakah yang harus dibela ketika ketidak-adilan struktural tampak begitu abstrak??!

Di dalam AI-Qur’an terdapat gagasan otentik bahwa kita hanus membela kaum yang Iemah dan kelas yang tertindas, yang tentu saja harus didefinisikan secara sosial, ekonomi, politik, dan bahkan budaya. Tetapi karena para pemimpin agama cenderung tidak memahami realitas sosial, maka mereka hampir tidak pernah menganggap buruh industri massal di kota-kota besar, para buruh petani di pedesaan dan nelayan miskin di pesisir pantai yang mengalami proses penindasan bersifat struktural, sebagai golongan masyarakat (ummat dan jamaah) yang harus dibela (Kuntowijoyo (1998: 303).

Bahkan sejak tahun 1998 seiring dengan meluasnya krisis ekonomi, nampak semakin luas kemiskinan dan ketertindasan, yang terwujud dalam bentuk semakin meningkatnya jumlah anak jalanan, perampokan, perempuan dewasa dan ABG jatuh ke dalam dunia prostitusi dan sebagai pengedar narkoba demi sesuap nasi, dsb!!! EMPIRIS yakin sepenuhnya bahwa kaum miskin dan tak berdaya tersebut sebagian sangat besar pasti mengaku beragama Islam (mereka adalah ummat Islam juga yang harus dibela !!!)

Kuntowijoyo (1998 : 304) menegaskan, bahwa yang dibuahkan dan ketidak pekaan sosial para pemimpin agama ini adalah, bahwa agama yang mereka khutbahkan lalu cenderung menjadi sesuatu yang tidak fungsional. Agama hanya menjadi atribut kesalehan pnbadi, dan tidak pernah menjadi kekuatan yang dapat memotivasi terjadinya perubahan sosial untuk memperbaiki situasi objektif ummatnya. Agama laIu mengalami isolasi struktural atau sekularisasi, yang menyebabkan agama kehilangan kredibilitas untuk terlibat dan menyelesaikan urusan dunia. Akibat kedua yang terjadi adalah lebih bersifat politis dimana kelas tertindas (mustadh’afin) dan golongan miskin (dhu’afa) yang ditinggalkan oleh agama tersebut, bukan tidak mungkin akan direkrut oleh gerakan-gerakan sosial lain (yang bukan tidak mungkin bersifat anti agama) tetapi mempunyai program yang jelas untuk memperbaiki nasib mereka. Dengan amat mempnihatinkan, Kuntowijoyo (pada tahun 1988 tersebut) telah mengatakan bahwa kedua akibat tersebut akan terjadi di Nusantara kelak.

Itu sebabnya, Kuntowijoyo sejak tahun 1988 dan Engineer (1999), menekankan bahwa sejak dini kita harus memikirkan bagaimana membuat Islam kembali fungsional sebagai gerakan sosial yang membebaskan, sehingga dapat secara efektif membela mereka yang terpinggirkan dan proses-proses struktural akibat perubahan sosial. ltulah tugas baru yang menantang kita dewasa ini!!!

AGAMA PEMBEBASAN

Jika agama dianggap sebagai kebaikan dan berdiri bersama dengan perubahan zaman, maka tanpa mengabaikan pentingnya peranan ibadah formal, agama harus dilepaskan dari aspek teologis yang hanya bersifat dogmatis dan ritualistik yang tidak memiliki ruh, dan yang hanya menjadi latihan intelektual-metafisis kalangan menengah atas, serta tidak menyentuh kepentingan kaum miskin tertindas. Agama harus menjadi sumber motivasi untuk menegakkan humanisasi (kemanusiaan manusia), menegakkan emansipasi (hak asasi kehidupan manusia), dan menegakkan liberasi (pembebasan dan kekejaman kemiskinan ketertindasan struktural, keangkuhan teknologi, kesombongan birokrasi, dan kekejaman ekonomi kapitalis), serta menegakkan dimensi transendental dalam produk-produk kebudayaannya (Kuntowijoyo, 1998). Sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Al-Qur’an surat Ali lmran ayat 110[7].

PEMBEBASAN DISKRIMINASI RAS

Seperti telah dikemukakan terdahulu, bahwa Arab jahiliyah adalah bangsa yang terkungkung oleh cara pandang kesukuan atau rasialis. Cara pandang ini kemudian dihapus secara keseluruhan oleh Islam yang menekankan tentang kesatuan manusia. Islam menyatakan bahwa semua manusia berasal dan keturunan yang sama, laki-laki dan perempuan, tidak ada perbedaan sedikitpun satu sama lain yang disebabkan oleh suku, bangsa, ras, atau wama kulit; sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an[8].

Ayat ini secara jelas membantah semua konsep superioritas rasial, kesukuan, kebangsaan, atau keluarga, dengan satu penegasan dan seruan akan pentingnya kesalehan dan ketaqwaan. Kesalehan yang dimaksud bukan hanya kesalehan ritual individual namun kesalehan sosial. “Berbuatlah adIil, karena itu lebih dekat dengan taqwa” (Q.S. 5: 8). Ini adalah konsep yang paling revolusioner dan liberatif, bukan hanya bagi bangsa Arab saat itu tetapi untuk seluruh bangsa-bangsa di dunia hingga nanti[9].

Hal ini terkait Iangsung dengan konsep kemajemukan (pluralisme) yang sejati dan bukan yang formal semata[10]. Pluralisme harus difahami sebagai suatu pertalian sejati dari kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban, dan sebagai suatu keharusan bagi keselamatan ummat manusia secara keseluruhan, melalui mekanisme penyeimbangan dan pengawasan[11]

PEMBEBASAN DARI TAKHAYUL

Engineer (1999: 48-50) berpendapat bahwa sebuah gerakan yang revolusioner, radikal dan liberatif sangat menekankan pentingnya peran akal, dan menentang takhayul atau kepercayaan yang negatif. Karena akal menjadikan orang dapat bertanya dan berpandangan kritis. Sementara takhayul mengakibatkan tidak berfungsinya daya kritis manusia. AI-Qur’an berulang kali menyeru manusia untuk berfikir dan menyebutnya sebagai Ulil Albab. Orang yang hanya mengikuti tradisi nenek moyang tanpa mengkntisi disebut a’ma (buta), sedangkan orang yang berfikir disebut basr (dapat melihat). Seperti dinyatakan oleh Al-Qur’an dalam surat 6 : 50[12]. Al-Qur sangat jeIas dan gamblang mengajak manusia untuk merenung dan berfikir, bukan mengikuti tradisi secara buta. Ayat ini sesungguhnya dapat memberikan dampak liberatif kepada ummat manusia.

PEMBEBASAN PEREMPUAN DAN KETERTINDASAN

Perempuan seperti disinggung di muka, sangat tidak berdaya di dunia Arab dan di seluruh dunia. Namun demikian, Rasulullah Saw. dengan Al-Qur’an (surat Al Baqarah: 228) mendeklarasikan hak-hak perempuan, yang sebelumnya tidak pernah mereka dapatkan dalam aturan yang legal. Pada saat Al-Qur’an turun itulah untuk pertama kalinya keberadaan individu perempuan sebagai makhluk khidup diterima tanpa ada persyaratan. Perempuan dapat melangsungkan pernikahan, dapat meminta cerai kepada suaminya tanpa persyaratan diskriminatif, dapat mewarisi harta ayah, ibu, dan saudaranya yang lain, dapat memiliki harta sendiri dengan hak penuh, dapat merawat anak-anaknya hingga dewasa, dan dapat mengambil keputusan sendiri secara bebas (Engineer, 1999: 50). Di Eropa, perempuan tidak berhak memiliki harta hingga akhir abad ke 19 sedangkan di Amerika, perempuan baru mempunyai hak pilih pada sekitar tahun 1920.

Kalau perempuan dikatakan menderita karena suaminya boleh menikah lebih dan satu wanita (sampai empat), itu hanya sebuah stigma. Tidak dapat disangkal bahwa stigma itu memang merendahkan status perempuan, yang sesungguhnya sederajat dengan laki-laki. Tetapi laki-laki Arab mempunyai kebiasaan menikah dengan banyak istri dan Islam datang membatasi hanya sampai empat. Pernikahan lebih dan satu kali diizinkan dengan aturan yang ketat, yaitu untuk melindungi janda-janda dan anak-anak yatim serta harta mereka; sehingga bukan untuk kesenangan laki-laki semata. Tetapi jika laki-laki kuatir tidak dapat berlaku adil, maka kawinlah satu orang saja. Demikian pesan inti surat An-nisa: 3. Biarlah stigma yang berlaku saat ini terkubur dalam sejarah seiring dengan semakin meningkatkan kesadaran dan kecerdasan kaum perempuan.

Ketidak-berdayaan perempuan ini seharusnya juga dilihat dalam konteks sosiologis. Jika masyarakat atau konteks berubah, maka ketidak-berdadayaan ini harus ikut berubah. Prinsip dasar kebebasan dan harkat individu perempuan (seperti isyarat Al Quran) adalah lebih daripada ketidak-berdayaan secara sosiologis.

PEMBEBASAN SOSIAL

Di atas telah disinggung bahwa Nabi Muhammad membuktikan prinsip persamaan derajat sesama manusia kecuali atas dasar taqwa, dengan cara meminta Bilal bekas budak hitam namun sangat bertaqwa untuk mengumandangkan adzan shalat dari atas Ka’bah. Hal ini adalah bahasa kiasan yang harus dicermati dengan teliti dan seksama sehingga kita mampu menangkap intisari ajaranya. Saya percaya kita semua mampu melakukannya dan bahkan telah mempraktekannya. Namun demikian, mari kita simak tulisan Raif Khoury yang sedemikian menggetarkan yang termuat dalam tulisan Engineer (1999: 5), sebagai berikut:

Betapa sering kita mendengar suara adzan dari menara kota-kota Arab yang abadi ini: Allahu Akbar! Allahu Akbar! Betapa sering kita membaca atau mendengar tentang Bilal, seorang keturunan Abesinian mengumandangkan adzan untuk pertama kalinya sehingga menggema di jazirah Arab ketika Nabi mulai berdakwah dan menghadapi penganiayaan serta hinaan dari orang-orang yang terbelakang dan bodoh. Suara Bilal merupakan panggilan, seruan untuk memulai perjuangan dalam rangka mengakhiri sejarah buruk bangsa Arab dan menyongsong matahari yang terbit di pagi hari yang cerah.

Namun apakah kalian sudah merenungkan apa yang dimaksud dan apa isi dari panggilan itu? Apakah setiap mendengarkan panggilan suci itu, kamu ingat bahwa Allahu Akbar bermakna (dalam bahasa yang tegas): berilah sanksi kepada para lintah darat yang tamak itu! Tariklah pajak dari mereka yang menumpuk-numpuk kekayaan! Sitalah kekayaan dari para tukang monopoli yang mendapatkan kekayaan dengan cara mencuri! Sediakanlah makanan untuk rakyat banyak! Bukalah pintu pendidikan lebar-lebar dan majukanlah kaum perempuan! Hancurkanlah cecunguk-cecunguk yang membodohkan dan memecah belah ummat! Carilah ilmu sampai ke negeri Cina! Berilah kebebasan, bentuklah majelis syura yang mandiri dan biarkan demokrasi yang sebenar-benarnya bersinar !!!

Semua yang tertulis di atas itu benar, dan didukung oleh Al-Qur’an dan Hadits. Periksa tentang Allah mencela orang yang menumpuk-numpuk kekayaan secara berlebihan (Q.S. 104: 1-9) Allah mengharamkan riba atau praktek ekspoloitasi (Q.S. 2: 278-279). Keadilan adalah ukuran tertinggi suatu masyarakat (Q.S. 7: 29, 49: 9, 5: 8).

PEMBEBASAN DARI SEGALA BENTUK TIRAN/THAGHUT

Islam sangat menekankan keadilan terlaksana dalam seluruh aspek kehidupan, dan keadilan akan tercipta tanpa membebaskan golongan masyarakat lemah dan marginal dari penderitaan. Al-qur’an memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk berjuang dan berperang membebaskan golongan masyrakat lemah dan tertindas[13].

Bahkan Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa Allah akan memberi karunia kepada kaum tertindas di muka bumi dan hendak menjadikan mereka sebagai pemimpin sertta mewarisi bumi[14]. Menurut Engineer (1999) hal ini membuahkan teori yang disebut teori “kekerasan yang membebaskan (liberative violence)”.

AI-Qur’an dengan tegas mengutuk kezaliman atau penindasan (zulm) dan perbuatan jahat. Allah tidak menyukai kata-kata yang kasar kecuali oleh atau dari orang-orang yang teraniaya[15]. Dan sebaliknya Allah akan mengkabulkan do’a orang-orang tertindas.

Kesemuanya dapat diartikan bahwa Allah tidak memberi toleransi terhadap struktur yang menindas dan menganiaya orang-orang yang lemah. Penganiayaan ini dilakukan tidak lain kecuali oleh para penindas (baik sebagai penguasa maupun pengusaha). Nabi Musa telah ditunjuk menjadi pemimpin kaum tertindas dari Bani Israil melawan kezaliman Fir’aun dan Haman, dan Nabi Muhammad adalah pembebas bagi seluruh ummat manusia hingga akhir zaman.

Nabi Muhammad secara tegas mengecam para saudagar kaya yang menimbun kekayaan, karena nafsu serakah ini akan mengarah kepada eksploitasi dan penindasan. Penumpuk harta tersebut telah menyalakan api yang akan membakar dinnya sendiri[16]. Penumpukkan harta itu akan melemparkan suatu masyarakat ke dalam api membara dan mernecah belah mereka. Kecaman ini akan berlaku untuk seluruh manusia di mana saja hingga akhir zaman.

Namun dengan adanya kecaman itu bukan berarti Islam mengajarkan penolakan terhadap materi, justeru menganjurkan manusia dengan alasan rasional untuk menjadi kaya melalui cara-cara yang benar dan adil, tidak menipu dan eksploitatif. Coba kita periksa Qur’an Suci pada surat-surat berikut: 10: 93, 16: 73, 17: 70, 20 : 81, 23: 51, 40: 94, 45:16.

Dalam ayat-ayat tersebut kata kuncinya adalah konsep thayyib yang secara literal berarti baik dan sehat ; namun harus ditafsirkan sebagai kosep kesehatan dan kebaikan sosial (social health and good), yang sangat berkaitan dengan konsep keadilan yang distributif (distributive justice). Jika sebagian kecil orang kaya di suatu masyarakat mengkonsumsi barang secara berlebihan sementara sebagian besar rakyat lainnya mengalami kekurangan, maka Allah akan menimpakan bencana kepada masyarakat tersebut. Dalam bahasa lain ingin dikatakan, bahwa sebuah kota akan binasa jika orang-orang kaya sampal melewati batas dalarn konsumsi sementara sangat banyak orang yang miskin dan tak berdaya. Maka hanya penerapan Keadilan distributif yang dapat mencegah bencana tersebut[17]. lnilah pandangan Engineer (1999).

Bagaimanakah menciptakan keadilan sosial seperti ini? Dengan cara sukarela atau pemaksaan? Islam menganjurkan keduanya. Kata kuncinya adalah adanya kesetaraan (equality) pada seluruh manusia. Pada zaman pertengahan, lembaga yang berfungsI mengelola sumbangan secara sukarela telah dapat menciptakan keadilan sosio-ekonomi. Pada zaman modern ini, lembaga yang sama dapat difungsikan, melalul kewenangan pemerintah atau perundangan-undangan tertentu, tentu dengan proses dan mekanisme yang djsesuaikan dengan kompleksitas dunia modern, sehingga dapat memberikan jaminan kesejahteraan bagi masyarakat.

Allah menghapuskan pajak yang eksploitatif dan menetapkan zakat sebagai kewajiban, dan nabi mendirikan Baitul Mal negara untuk mengumpulkan dan mendistribusikan zakat guna membela kesejahteraan mereka yang miskin dan tidak mempunyai sumberdaya hidup. Jadi zakat bukanlah untuk memenuhi kesalehan pribadi semata, tetapi merupakan sistem yang harus dikelola berdasarkan prinsip-prinsip manajemen publik yang transparan, untuk menjamin terlaksananya kesejahteraan sosial di suatu masyarakat.

lniIah inti pandangan sahabat Nabi yang mulia, Abu Dzar Al-Ghifari, yang telah menangkap semangat revolusioner dari Islam. Sahabat yang mulia ini sangat knitis dan memprotes keras terhadap kebijakan pemerintahan Umayyah yang mengkapling-kapling tanah dalam jumlah besar untuk kepentingan pribadi dan golongan, dan merubah istilah mal al-muslimun (milik rakyat) menjadi mal al-Allah (milik penguasa) yang diimplementasikan untuk kepentingan pribadi tanpa pertanggungjawaban kepada ummat Islam. Dalam pandangan Abu Dzar Al-Ghifari, Ukhuwah lslamiyyah tidak akan bermakna tanpa pemerataan sosio-ekonomi di dalam masyarakat (Engineer, 1999).

SIKAP TERHADAP AGAMA LAIN

Engineer (1999: 54-55) menyatakan bahwa keterbukaan, toleransi dan menghormati agama-agama lain merupakan aspek penting. Al-Qur’an menegaskan dengan jelas, bahwa tidak ada paksaan dalam agama[18]. Karena jelas bagimu agamamu dan bagiku agamaku[19]. Al-Qur’an melarang berbantahan dengan para penganut kitab suci, kecuali terhadap yang dzalim dari kalangan mereka[20].

Al-Qur’an mengajarkan agar orang beriman menunjukkan rasa hormat kepada semua nabi, dan nabi paling awal hingga paling akhir, baik yang tercantum atau tidak tercantum namanya dalam Al-Qur’an, karena Allah tidak membeda-bedakan nabi-nabi tersebut[21]. Pertanyaannya adalah bagaimana menemukan atau mengidentifikasi ajaran serta ummat dari nabi-nabi tersebut sekarang ini.

Bila mengkaji mendalam terhadap Al-Qur’an akan sampai pada kesimpulan, bahwa perbedaan-perbedaan sosial adalah suatu sunnatullah dari kenyataan empiris dalam masyarakat, namun tidak berarti Islam toleran terjadinya ketidakadilan sosial Justeru setiap muslim dituntut untuk menegakkan kesetaraan (egalitananisme) dan keadilan sosial, bahkan dipandang sebagai memiliki nilai ibadah yang sangat tinggi.

Pemihakan kepada kelas mustadh’afin bukan dalam rangka untuk menghancurkan kelas mustakbirun (kaum penguasa), tetapi lebih kepada pengertian untuk merombak struktur dan mekanisme yang tidak adil yang diciptakan penguasa, dan tidak sekali-kali untuk menghantarkan kelas musfadh’afin kembali menegakkan kediktatoran baru. Dengan perspektif ini, maka perbedaan kepentingan antar kelas tidaklah bersifat dikotomis tetapi fungsional-integratif. Sehingga secara ideologis sistem sosial Islam harus menciptakan mekanisme yang memungkinkan terjadinya kerjasama antar kelas, menuju tegaknya persaudaraan universal, kesetaraan manusia, keadilan dan kesejahteraan sosial. Inilah makna Islam sebagai agama pembebasan.

LANGKAH KE DEPAN

Setelah lama sekali, sejak ditinggalkan khalifah rasyidah, Islam banyak kehilangan karakter liberatif atau pembebasannya dan menjadi bagian dari pemerintahan monarkhi yang mapan yang dimulai sejak di bawah Bani Umayyah. Padahal nabi selalu bersama-sama dengan orang miskin, tertindas, para budak, serta tidak pernah ragu-ragu untuk menderita bersama mereka.

Namun Khalifah Umayyah hidup bersama para tiran yang kuat dan kejam. Jumlah budak berlipat ganda, perempuan dipaksa menjadi harem (budak seks) yang dilecehkan, orang-orang non-Arab diperlakukan secara diskniminatif, dan ajaran agama yang liberatif diganti dengan ajaran fatalistik (jabariah). Dogma jabariah disebar luaskan secara aktif, sedangkan pandangan qadariah diberangus. Bersamaan dengan tumbuh-tumbuhnya nilai-nilai feodalistik yang semakin kuat, sehingga kesamaan sosio-politik dilenyapkan, dan hanya “muncul” ketika beribadah di masjid. Kaum wanita betul betul dicampakkan dan status sosialnya yang tinggi. lnilah masa Islam mengalami kemunduran yang sangat jauh dan kehilangan daya dobraknya (Engineer, 1999: 56). Adakah Islam akan bangkit lagi ???!

Sekarang Islam sebenarnya ditantang untuk merumuskan kembali konsep dan strategi gerakan sosialnya, dalam rangka melakukan transformasi menurut cita-cita normatifnya. Sebagai suatu gerakan yang mempunyai asas atau dilihami oleh Islam, maka pergerakan tersebut harus peka terhadap fenomena ketidakadilan sosial. Sudah saatnya untuk menentukan keberpihakan kelas guna menegakkan keadilan dan kesejahteraan ummat secara menyeluruh.

Adakah kini saatnya KITA sebagai anggota komunitas Muslim berkenan memikul amanah pembebasan yang bernilai ibadah sangat tinggi ini, lantas menuangkannya ke dalam rumusan agenda aksi sosial-politik (yang tidak hanya sloganistik), untuk kemudian mempelopori upaya pembebasan semesta dimaksud.

Wa ‘l-Lahu A’lamu bi’sh-shawwabi

Billahi Hayaatuna Wallahu Fii Hayati ‘l-Mus’tadz’afin


[1] Pasar Ukazh adalah arena perdagangan terlengkap yang dikunjungi para raja, pangeran, elit pengusaha dari semenanjung Arab, Persia, Rum, dsb. Para pedagang melakukan transaksi semua komoditi. Para penyair melantunkan bait-bait puisi tentang kehormatan dan keturunan dan golongannya. Para pendeta berpidato tentang geraja dan kitabnya. Para wanita bangsawan melantunkan tembang tentang suaminya. Para tukang tenung berbicara tentang filsafat India dan Persia dengan kata-kata puitis. Para raja dan pangeran membicarakan segala permata dan barang langka. Para budak segala ras (Ethopia hitam, Rum putih, Persia merah, India dan Mesir coklat) diperjualbelikan. Para penghibur dan hostes menyediakan semua kesenangan laki-laki. Di tengah transaksi itulah rakyat jelata mengais rejeki (Asy Syarqowi, 1997).
[2] Para Bangsawan kota adalah pembuat aturan hukum dan tradisi, yang tentu menguntungkan mereka. Contoh: bila ada pedagang asing meninggal di kota tersebut, maka harta bendanya diwariskan kepada kota (artinya kepada mereka/pemerintah kota). Bahwa yang berhutang harus memberikan jaminan yang besar, termasuk anak dan isteri, kepada pemberi hutang, selain juda dibebani bunga yang tinggi. Para pedagang yang pailit dan tak mampu membayar hutangnya, maka akan menjadi budak penuh dari si pemilik piutang. Jika pemilik piutang tidak membutuhkan budak laki-laki, mereka dapat mengambil isteri atau atau anak gadis pemilik utang tersebut (Asy Syarqowi, 1997).
[3] Berbagai peran dimainkan oleh penduduk kota. Sebagian bergerak dalam eksport-import dan perantara transaksi barang. Sebagian berperan dalam kegiatan perbankan dengan meminjamkankan atau menanam modal kepada pedagang kecil dengan tingkat bunga yang sangat tinggi. Ada Juga pengusaha mengembangkan perkebunan kurma dan anggur, peternakan babi, dan produksi minuman keras yang berlokasi di pinggiran kota. Tetapi sebagian besar rakyat jelata hidup sebagai buruh dan kuli kasar di ladang perkebunan, di pusat perdagangan, dan di kegiatan perbankan. Banyak pula yang hidup sebagai gelandangan (Asy Syarqowi, 1997).
[4] Di tengah kota terdapat sebuah bangunan atau rumah tua yang sangat dihormati, tempat sernua tuhan yang menjadi sesembahan segala suku bangsa yang datang untuk transaksi perdagangan. Semua tuhan dibuat, dijaga, dan dilayarii oleh para bangsawan kota. Mereka angkat para peramal dan tukang tenung yang bertugas khusus menafsirkan segala kehendak patung tuli yang disebut sebaga Tuhan. Setiap tahun tempat ini menjadi arena pertemuan besar antar bangsa untuk sebuah kegiatan ibadah; sekaligus transaksi perdagangan di semua pasar terutama di pasar Ukazh. Para bangsawan penjaga bangunan itu rnengeruk keuntungan materi yang berlipat ganda (Asy Syarqowi, 1997).
[5] Selain itu para perempuan tersebut tidak hanya dijadikan pelampiasan seksual pemilik utang, tetapi juga dapat dikelola sebagal perempuan penghibur di rumah bordil yang mewah dan semerbak dupa yang dipenuhi derigan minuman keras. Di rumah bordil juga berkumpul perempuan dan segala warna kulit. Hampir semua laki-laki harus menundukkan kepala di hadapan kenyataari yang sangat hina ini, tetapi apa yang dapat mereka perbuat ??? (Asy Syarqowi, 1997).
[6] Zaman Renaisans adalah zaman pencerahan Eropa pada abad X Masehi, sebagai konsekuensi dari pertemuan ilmu dan budaya dengan puncak kejayaan slam di Cordova dan Granada. Renasains dengan semangat rasionalisme yang tidak percaya bahwa hukum alam bersifat mutlak, telah memunculkan cara pandang antroposentnsme atau humanisme yang beranggapan bahwa kehidupan tidak berpusat pada Tuhan atau dewa-dewa tetapi pada manusia. Manusialah yang menjadi penguasa realitas, menentukan nasibnya sendiri, dan menentukan kebenaran, bukan Tuhan atau para dewa, sehingga segala kitab suci tidak diperlukan lagi. Sebenarnya cita-cita Renaisans adalah merupakan upaya Eropa untuk mengembalikan lagi kedaulatan manusia, yang selama berbad-abad telah dirampas mitologi dan lembaga kepemimpinan gereja yang tiranik.
Dernikianlah, Renaisans telah melahirkan revolusi pemikiran yang pada akhirnya menimbulken revoIusi ilmu pengetahuan. Tetapi revolusi tersebut berkembang dalarn sernangat non-agama bahkan anti-agama. Sehingga menghasilkan paham bahwa lImu pengetahuan secara inheren bersifat bebas nilai. lnilah kendaraan yang rnenciptakan dunia modern saat ini. Namun pada akhirnya manusia modern harus terjebak bahkan terbelenggu dalam kehampaan spiritual dan absurditas eksistensi dirinya sendiri (Kuntowijoyo 1998:159-160).
[7] “Kamu adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah (menegakkan dimensi transendental dalam produk-produk budayanya). Sekiranya Ahli Kitab beriman tentu itu lebih baik bagi mereka; diantara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (Q.S 3: 110).
[8] “Hai manusia! Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan. Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah yang paling taqwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui”. (Q.S, 49: 13).
[9] Perbedaan warna kulit dan ras adlah masalah yang sangat serius sekarang ini, sehingga PBB mencanangkan piagam deklarasi HAM tentang persamaan manusia yang terlepas dari perbedaan kasta, kepercayaan, dan warna kulit. Islam telah mengantisipasinya 14 abad yang lalu. Nabi menerapkan dengan mengankat Bilal si budak hitam sebagai pengumandang seruan kemenangan dari puncak Ka’bah (Engeneer, 1999:47).
[10] Pluralisme tidak dapat dipahami dengan mengatakan bahwa masyarakat itu majemuk, terdiri dari beragam suku dan dan agama. Penggambaran seperti itu justeru hanya memberikan konsep fragmentasi dan bukan pluralisme. Penggambaran seperti itu sebenarnya hanya semata digunakan sebagai upaya untuk menyingkirkan fanatisme (Nurcholis Madjid, 1999)
[11] Maha benar Allah dengan firman-Nya: ‘Seandainya Allah tidak mengimbangi (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, maka pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) kepeda semesta alam (Q.S. 2: 251).
[12] Katakan (wahai Muhammad): Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku rnengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakaniah: apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat? Maka apakah kamu tidak memikirkannya? (Q.S. 6: 50)
[13] Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang tertindas, baik laki-laki, perempuan-perempuan, maupun anak-anak, yang semuanya berdo’a: Ya Tuhan Kami, keluarkanlah Kami dari negeri yang penduduknya berbuat zalim, dan berilah Kami Pelindung dari sisi Engkau! (Q.S. 4: 75)
Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah, dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. Dan jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwasannya Allah Pelindungmu. Dia adalah sebaik-baiknya Pelindung dan sebaik-baik Penolong (Q.S. 8: 39-40)
[14] Dan Kami hendak memberikan karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka sebagai orang-orang yang mewarisi bumi. Dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, dan akan Kami perlihatkan kepada Fir’aun dan Haman beserta balatentaranya apa yang selalu mereka khwatirkan dari mereka itu (Q.S. 28: 5-6)
[15] “Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang-orang yang dianiaya (tertindas). Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. 4: 148)
[16] “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak!! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu?, yaitu api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, yaitu (membakar) sampai hati. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka, (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang. (Q.S. 104: 1-9
[17] “Makan dan minumlah (barang-barang yang baik yang telah Kami berikan kepadamu), dan janganlah kamu melampaui batas (berlebih-lebihan). Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (Q.S. 7: 31).
“Dan jika Karni hendak membinasakan suatu negeri. maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan (rnelanggar hukum) dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kernudian Karni hancuikan negeri itu sehancur-hancurnya”. (Q.S. 17: 16)
[18] “Tidak ada paksaan dalam agama; sesungguhnya jalan hidup yang benar telah Jelas berbeda dari jalan hidup yang sesat. Maka barangsiapa ingkar kepada thagut/tirani dan beriman kepada Allah, sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. 2 : 256)
[19] “Untukmu agamamu dan untukku agamaku” (OS. 109 6)
[20] “Janganlah kamu berbantahan dengan para penganut kitab suci (Ahlul kitab) melainkan dengan sesuatu yang lebih baik, kecuali terhadap yang zalim dan kalangan mereka. Dan nyatakan olehmu semua, kami beriman kepada ajaran yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu, dan Tuhan kamu adalah Esa, dan kita semua adalah oang-orang yang berserah din (muslim) kepada-Nya”. (Q.S.29 : 46)
“Seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi !!. Maka apalah engkau (Muhammad) akan memaksa manusia sehingga mereka beriman semua?”. (Q.S. 10: 99)
[21] “Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya dan tidak membedakan seorangpun di antara mereka, kelak Allah akan niemberikan kepada mereka pahalanya. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S. 4: 152)

Axact

Empiris

Episentrum Pengkajian Islam dan Riset Sosial mengorientasikan diri untuk menjadi katalisator terwujudnya Mulkiyah Allah di muka bumi, dan bersama-sama menggalang kekuatan kolektif dari potensi-potensi yang telah sejak lama berada dipangkuan Ummat Islam... Billahi Hayaatuna Wallahu Fii Hayatil Mustadz'afin... Hidup Kita Bersama Allah, dan Allah Berada Dalam Kehidupan Kaum Tertindas... Inna fatahna laka fathan mubina...

Post A Comment:

0 comments:

Bro, ekspresikan ruhul jihad mu !!!