Judul: Haloean Politik Islam

Penulis: Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo

Diterbitkan oleh: EMPIRIS Press

Softcover/165 halaman





PENGANTAR PENERBIT


Bismillahirrahmanirrahim,

Innafatahna laka fat-than mubina...

Buku ini adalah pidato yang dibawakan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada sebuah rapat lengkap Partai Politik Islam Masyumi daerah Priangan di awal Ramadlon 1365 H, satu tahun setelah dikumandangkannya proklamasi 17 Agustus 1945. Pada masa ini S.M. Kartosoewirjo ikut berjuang bersama Rakyat Islam Bangsa Indonesia mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945, yang merupakan hasil jerih payah Rakyat Islam Bangsa Indonesia. Ialah proklamasi yang dimaksudkan Ummat Islam demi hilangnya penjajahan di bumi nusantara, demi hilangnya penghambaan yang bukan kepada Allah Azza wa Jalla, atau dengan kata lain demi tegaknya nilai-nilai Tawhid, tegaknya nilai-nilai Islam di tanah Nusantara.

Pada pidato yang dibukukan ini kita bisa melihat bagaimana pendapat seorang S.M. Kartosoewirjo tentang hubungan antara seorang Muslim, Ideologi, Politik, Negara dan Kemerdekaan. Yang kesemuanya itu mengejawantahkan semangat Rakyat Islam Bangsa Indonesia pada waktu itu. Dengan sederhana, gamblang dan tegas, ia menggambarkan “Haloean Politik” seorang Muslim seharusnya, di saat pergolakan Revolusi Nasional. Contohnya ketika menjelaskan arti Ideologi, dengan sederhana ia menggambarkannya dengan kata CITA-CITA, yang dalam pengertian kita sekarang yaitu suatu keadaaan masa hadapan yang diidamkan. Lebih lanjut tentang Ideologi Islam dalam masalah negara, ia menjelaskan bahwa CITA-CITA ISLAM seorang Muslim dalam hal ketatanegaraan adalah:

1) Hendaklah Republik Indonesia menjadi Republik yang berdasar Islam;

2) Hendaklah pemerintah dapat menjamin berlakunya hukum syara' Agama Islam; dalam arti yang seluas-luas dan sesempurna-sempurnanya;

3) Kiranya tiap-tiap Muslim dapat kesempatan dan lapangan usaha, untuk melakukan kewajibannya, baik dalam bagian duniawi maupun dalam urusan ukhrowi;

4) Kiranya Rakyat Indonesia, teristimewa sekali Ummat Islam, terlepaslah daripada tiap-tiap perhambaan yang mana pun jua.

Yang kesemuanya itu adalah untuk terciptanya Darul Islam. Sebuah wilayah (ad Dar = rumah; wilayah) yang di situ berlaku nilai-nilai Islam, nilai-nilai kemanusiaan yang sejati. Dan Darul Islam dalam pandangan Ummat Islam adalah Rahmatillah dan Mardlotillah. Rahmat dari Allah di muka bumi yang harus diusahakan manusia, yang keberadaannya harus diupayakan melalui jalan yang diridloiNya. Khazanah seperti inilah kiranya yang ingin penerbit sampaikan kepada sidang pembaca sekalian. Inilah pemikiran Rakyat Islam Bangsa Indonesia dan S.M. Kartosoewirjo.

Adapun pada 7 Agustus 1949 S.M. Kartosoewirjo atas nama Ummat Islam Bangsa Indonesia yang teguh dengan Ideologi Islam, memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia di sebuah wilayah Vacuum of Power bernama Jawa Barat, tidak lain karena alasan sebagai berikut:

  1. Tokoh-tokoh nasionalis yang ada di RI banyak yang telah mengkhianati aspirasi Ummat Islam Bangsa Indonesia. Ingat! Kasus dihapuskannya 7 kata sakral pada pembukaan UUD ‘45, yang terjadi bahkan sehari setelah proklamasi 17 Agustus.
  2. CITA-CITA Islam tidak akan lebur bila RI yang dipimpin tokoh-tokoh nasionalis hancur oleh politik diplomasi Belanda. Ingat! Wilayah RI yang berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945, menurut perjanjian Renville hanyalah tinggal Daerah Istimewa Yogyakarta dan karesidenan sekitarnya, yang itupun kemudian dikuasai total oleh Belanda pada Agresi Militer ke-2.

Sekiranya dari sini --dari perjalanan dan pemikiran S.M. Kartosoewirjo, pembaca bisa mengambil pelajaran tentang aktualisasi nilai-nilai normatif Islam dalam kehidupan riil. Tidak lain dan tidak bukan demi kebebasan kaum mustadz’afin di negeri ini, demi tegaknya nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata.

Tempo dulu buku ini diterbitkan dengan judul “Haloean Politik”. Untuk kali sekarang tulisan S.M. Kartosoewirjo ini kami terbitkan dengan judul “Haluan Politik Islam”, tanpa merubah isi tulisan aslinya. Penerbit yakin dalam penerbitan buku seri pemikiran tokoh-tokoh Islam yang satu ini pasti ada kekurangan, oleh karena itu sudilah kiranya para pembaca sekalian melayangkan saran dan kritiknya kepada kami.

Billahi Hayaatuna Wallahu Fii Hayati 'I-Mustadz'afin

Depok, Sya’ban 1427 H/September 2006 M

Al Faqir,

Penerbit




PENGANTAR KATA


Bismillahirrahmanirrahim,

Assalamu ‘alaikum warahmatulaahi wabarakaatuhu,

Syahdan, maka karangan yang seringkas ini adalah khulasoh dari pada pidato yang kami ucapkan dalam salah satu rapat lengkap di Garut, pada pertengahan bulan yang lalu, yang diselenggarakan oleh Partai Politik Islam Masyumi daerah Priangan dan dihadiri oleh tiap-tiap Cabang Masyumi seluruh Priangan, wakil dari G.P.I.I daerah Priangan, Hizbullah, Sabilillah, Muslimat, G.P.I.I. Putri dan lain-lain pihak yang menerima undangan untuk sidang tersebut.

Karangan ini bernamakan “HALUAN POLITIK” satu pedoman yang amat perlu sekali bagi Masyumi dan cabang-cabang usahanya, terutama dalam zaman revolusi ini, masa perubahan masyarakat dan peredaran zaman yang serba cepat, laksana kilat. Sedapat mungkin cara menerangkannya kami atur semudah-mudahnya (elementair), agar menggampangkan memasukkannya dalam data dan pikiran rakyat-murba.

Mudah-mudahan karangan ini dapat memberi bantuan meringankan beban para pemimpin Islam dan ‘alim-‘ulama, dalam kewajibannya membimbing Ummat dan bangsa, menuju kepada Mardlotillah dan Rahmatillah, didunia dan diakhirat. Karena tolong dan kurnia Allah, jua adanya. Amin.

Selain dari pada itu, harapan kami kepada sekalian pembaca yang budiman, jika terdapat kekurangan, kekecewaan atau kekeliruan didalamnya, sudi apalah kiranya “Karena Allah” suka menyampaikannya dengan segera kepada Pengarang risalah ini sendiri, dan sebaliknya, jika diketemukan kebaikan dan kebenaran, hendaklah “karena Allah” juga suka menyiarkannya kepada sekalian handai taulan dan kawan-kawan sekelilingnya.

Atas bantuan pada ‘arif budiman itu, terlebih dulu kami mengucapkan diperbanyak-banyak terima kasih, dan Alhamdulillah.


Wassalam

S.M. KARTOSOEWIRJO

Malangbong , Awal Ramadlon 1365 Awal

Agustus 1946



I

POLITIK

Politik adalah asal mulanya terambil daripada bahasa Asing “polis”. Yang maknanya: “kota” negeri atau negara”. Sehingga kata-kata “politik” itu mengandung makna: cara-cara mengatur dan memerintah sesuatu negara.

Dulu pada zaman penjajahan Belanda. Negara kita diperintah oleh bangsa Belanda. Mereka merasa mempunyai hak memasukkan dirinya dalam golongan “bangsa yang dipertuan”, sedang bangsa Indonesia dianggapnya sebagai “bangsa yang diperhamba”, bangsa yang mempunyai jiwa budak, yang cuma patut diperintah, ditindas dan dirampas. Sementara itu bangsa Indonesia kehilangan hak-haknya untuk menentukan nasibnya sendiri, untuk mengatur dan memerintah negeri dan bangsanya sendiri. Keadaan yang serupa itu berlaku atas kita sekalian kurang lebih tiga setengah abad lamanya (350 tahun).

Kemudian, setelah Belanda lari meninggalkan Indonesia, maka datanglah “tamu baru, yang menamakan dirinya saudara-tua” (Jepang), yang dengan segera lalu menduduki seluruh Kepulauan Indonesia. Usaha Jepangisme ingin memper-Jepang-kan seluruh Asia, terutama Indonesia, hanya berjalan lebih-kurang tiga setengah tahun. Keadaan rakyat bangsa kita dibawah perintah kapitalis Belanda atau dibawah fasis Jepang “setali tiga uang”, alias sama saja. Sebab kedua bangsa itu terpengaruh oleh nafsunya, untuk menindas dan memperkudakan bangsa lain, yang lazimnya menurut terminologi (istilah) politik dikatakan “imperialisme.”

Sampai pada dewasa itu bangsa Indonesia hanya tahu satu kewajiban ialah “kewajiban diperintah” dan cuma kenal satu hak ialah “hak hamba-sahaya”, yang hidupnya buat ditindas dan diperas (diperah). Enyahkanlah sifat “Belandaisme”, yang membawa kekufuran bagi kita! Musnahkanlah sifat “Jepangisme”, yang menanam benih kemusyrikan atas bangsa dan Ummat Islam Indonesia! Kedua-dua jalan itu menuju ke arah neraka, neraka dunia dan neraka akhirat!

Betul, dulu pada zaman Belanda akhir kita di-ninabobo-kan dan diberi permainan boneka, yang bernamakan “hak politik”. Tetapi sikap “manis” dari pada bangsa Belanda yang serupa itu tidaklah sekali-kali timbul dari pada keluhuran budi dan kemurahan hati. Tidak! Sekali-kali tidak! Bangsa Belanda (pemerintah jajahan) memberi hak “yang sesungguhnya bukan hak itu”, karena (1) takut celaan dunia internasional atas beleid[1] Belanda memerintah Indonesia, sebagai tanah jajahan, (2) dikhawatirkan boleh timbul pemberontakan yang maha hebat, dan (3) walaupun bangsa Belanda tidak tahu malu, tetapi dengan kenyataan yang tak dapat dibantah oleh berita dan cerita, terpaksalah mereka mengakui, bahwa bangsa Indonesia bukanlah sebangsa “kuda beban”, yang hanya tahu memikul kewajiban saja.

Apa lagi setelah selesai Perang Dunia yang pertama, dan dilangsungkan “Perjanjian Damai di Versailles[2]” (1919), maka bangsa Belanda makin rajin mencari tipu daya dan tipu muslihat yang “halus-halus”, bagi mempertahankan dan menyentausakan kekuasaan Belanda di Indonesia. Salah satu tipu daya yang halus itu ialah “hak politik”.

Pada waktu itu bangsa Indonesia dikatakan “mempunyai hak politik”. Tetapi… Di belakang, di samping kanan dan disamping kiri, bahkan pada tiap-tiap penjuru dipasangnya berbagai-bagai perangkap, yang merupakan goda dan bencana, halangan dan rintangan, fitnah dan aniaya. Belum terhitung banyaknya provokasi dan intimidasi, yang dihambur-hamburkan di tengah-tengah pergerakan rakyat.

Ini semuanya memaksa rakyat dan pemimpin rakyat yang “lunak” itu, ridlo menerima nasib papa dan sengsara, nasib ditahan dan ditangkap, nasib dibuang dan naik tiang gantungan. Sungguh berat resiko yang harus ditanggung oleh tiap-tiap pemimpin rakyat pada waktu itu, baik yang berhaluan maupun yang diluarnya. Itu semuanya akibat-akibat politik yang “katanya” menjadi hak dan miliknya rakyat Indonesia.

Mengingat keadaan dan kejadian yang sedemikian itu, maka “hak politik” pada waktu itu bukanlah suatu hak, yang patut diterima dan dimiliki oleh sesuatu bangsa yang beradab. Bahkan didalam pandangan setengah bangsa kita, yang kurang pengetahuan dan pengertian, maka kata-kata “politik” itu seolah-olah mengandung “hantu” yang menakutkan dan mendasyatkan.

Inilah sebabnya kata-kata “politik” menjadi cemar, karena noda yang dilemparkan oleh politik jajahan pada waktu itu. Sehingga politik dijauhi, dibenci, dicaci, bahkan ada pula yang berani mengharamkan bergerak dan berbuat politik.

Pada zaman pendudukan Jepang, maka keadaannya lebih menyedihkan daripada zaman Belanda. Semuanya pergerakan politik-dengan tiada kecualinya-disapu bersih. Kehidupan politik dibongkar sampai keakar-akarnya, atau dibunuh mati. Hak politik buat rakyat nol, tidak barang sedikit pun diberikan. Tetapi rakyat tampak masih setia dan menurut, padahal sesungguhnya hanya takut kepada “nakir dan munkar” yang bermain dibelakang layar politik Jepangisme, ialah Kenpeitai dan Gestaponya, yang sungguh amat seram sekali itu.

Waktu itu praktis tiada hak politik bagi rakyat Indonesia, melainkan semua jejak dan langkah harus dialirkan kepada Tokyo, ialah pusat persembahan manusia-berhala, yang bernamakan Tennoo Heika, dan kiblatnya semua Jepangisme, dan kemusyrikan ala Jepang. Na’udzu billahi min dzalik!

Dari sebab itu, sekali lagi kami serukan: lenyapkanlah segala macam sifat kolonialisme atau sisa-sisa Belandaisme daripada tubuhnya masyarakat Indonesia dan daripada diri kita masing-masing! Dan basmilah pula semua sifat Jepangisme, ialah jalan-jalan yang membawa kesengsaraan dunia dan akhirat!

Sekarang, Negara dan Rakyat Indonesia sudah merdeka, hampir cukup setahun umurnya. Kini baru merdeka “de facto” (nyata menurut bukti) dan tidak lama lagi insya Allah menjadi merdeka “de jure”, bilamana waktu-waktu salah satu negeri luar mengesahkan kemerdekaan negara kita. Pada saat itulah kemerdekaan Indonesia menjadi bulat, 100 % penuh, tidak lebih dan tidak kurang, sehingga dalam ikatan dan persatuan bangsa-bangsa di dunia, negara kita akan mendapat kedudukan, yang sederajat dan sejajar dengan negara-negara merdeka yang lainnya.

Sudah setahun lamanya kita memerintah negara kita sendiri. Oleh sebab itu, maka tiap-tiap warga negara seharus dan sewajibnya tahu dan sadar dalam hal politik (politik-bewust). Tahu dan sadar, bahwa tiap-tiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sepenuh-penuhnya untuk ikut memegang kemudi pemerintah negeri. Sifat, “masa bodoh”, seperti pada zaman Belanda dan Jepang, haruslah dihalaukan sejauh-jauhnya dari pikiran dan amal-perbuatan kita.

Politik, yang dulu pada zaman Belanda dan Jepang “dibenci dan ditakuti”, maka sekarang pada zaman merdeka “dicinta dan disukai”. Selanjutnya, politik yang dulu oleh setengah orang “diharamkan”, maka sekarang didalam suasana Indonesia Merdeka “politik adalah halal, bahkan wajib” bagi tiap-tiap warga negara, terutama yang mengaku Ummat Islam, Ummat Muhammad.

Jika didalam kalangan rakyat dan masyarakat masih terdapat sifat “kolonialisme Belanda” atau “fasisme Jepang”, tolonglah obati penyakit itu sampai sembuh sama sekali. Sebab sifat kuda beban-Belanda atau anjing Jepang yang sebodoh itu tidak lagi patut menjadi sifatnya seorang warga daripada suatu negara yang sudah merdeka. Sebaliknya daripada itu, kita tidak perlu berlomba-lomba begitu rupa, sehingga merupakan persaingan dan berebut-rebutan kursi, yang akibat dan natijahnya tidak lain, melainkan perusuhan, kekacauan dan pergangguan keamanan dan ketertiban umum.

Dengan keterangan ringkas tersebut diatas, maka hendaknya tiap-tiap warga Negara, terutama yang termasuk golongan Ummat Islam harus berpolitik, bahkan wajib berpolitik. Terlebih-lebih lagi, karena berpolitik adalah mengandung kewajiban suci, ialah kewajiban memerintah negeri kita sendiri dan kewajiban menjadi bangsa yang merdeka.


II

CITA-CITA DAN KENYATAAN

(Ideologi dan Realiteit)

Di dalam perjuangan politik, maka kita selalu harus berpegangan kepada dua akidah politik. Akidah yang pertama ialah ideologi atau CITA-CITA, tegasnya maksud dan tujuan daripada perjuangan politik. Tiap-tiap usaha dan amal politik yang dilakukannya harus dan wajib diarahkan kepada tercapainya ideologi itu, walaupun betapa pula goda dan coba dalam perjalanan itu.

Adapun akidah politik kedua ialah Realiteit, tegasnya: KENYATAAN, ialah bukti syariat yang terletak didepan mata kita. KENYATAAN itu boleh merupakan sejumlah kekuatan, jiwa, harta, kecakapan, kepandaian, dan lain-lain. Semuanya itu mewujudkan syarat dan alat perjuangan, untuk mendekati dan mencapaikan maksud serta tujuan (ideologi).

Satu tamsil mungkin memudahkan kita berpikir secara politik. Taruhlah, kita ingin pergi ke Bandung atau Jakarta. Menginjak Bandung atau Jakarta adalah maksud kita. Itulah ideologi kita. Lalu kita mencari dan memperoleh syarat dan alat, untuk menyempurnakannya perjalanan, mendapatkan Bandung atau Jakarta. Dikumpulkannya uang untuk pelbagai biaya di jalan; dipersiapkannya perbekalan lainnya, seperti: mencari kereta-api atau mobil yang pergi kearah itu, naik sado pergi ke stasiun, dan lain-lain. Semua persiapan dan perlengkapan untuk melangsungkan pepergian itu dinamakan Realiteit atau KENYATAAN. Taruhlah, kereta api tidak ada, karena perhubungan jalan kearah itu terputus, hendaknya kita mencari mobil, Taruhlah, mobil tidak kita dapatkan, maka haruslah kita mencari kendaraan lain. Dan kalau akhirnya kendaraan apapun tidak mungkin diperdapat, maka dengan jalan kaki atau merangkak-rangkak sekalipun hendaknya perjalanan harus terus dilangsungkan, asal perjuangan (pepergian) jangan sampai tertunda atau terhenti, karena kekurangan atau sepinya syarat.

Seorang ahli perjuangan yang berideologi tidak pernah terhenti ‑-jangankan sengaja menghentikan diri-- dalam usahanya mendekati dan mencapai CITA-CITA-nya. Mungkin pada suatu waktu ia tampak lari “milir-mudik”, melompat kekanan dan kekiri, terbang kebarat atau ketimur -‑karena keadaan dan KENYATAAN masyarakat tidak memberi kemungkinan atau kelapangan lebih daripada itu--, tetapi dalam pada ia terombang-ambing oleh gelombang masyarakat dan terdampar diatas pantai kesengsaraan, maka mata-hatinya tidak pernah lepas dari ideologi. Tiap-tiap langkah dan geraknya selalu diarahkan kepada tercapainya ideologi. Ia hidup dengan ideologinya dan ingin mati pun dalam jalan dan usaha menuju tercapainya ideologi itu.

Jiwa perjuangan yang serupa itu tiadalah ternilai harganya. Jiwa yang serupa itu adalah mustika bangsa, yang menjadi benih kemuliaan dan keluhuran sesuatu Ummat dan Agama.

Alhamdulillah, kita bangsa Indonesia masih boleh merasa bangga, bahwa didalam kalangan bangsa kita masih terdapat pemimpin-pemimpin Ummat yang berbudi luhur itu. Hal ini kami anggap perlu menyatakannya, walau hanya dengan sepatah dua patah perkataan. Sebab menurut kejadian dalam waktu yang silam, baik pada zaman Belanda atau pada zaman Jepang maupun pada zaman merdeka ini, tidak sedikit jumlahnya pendekar-pendekar bangsa yang hanjut dalam lautan goda dan coba keduniaan (pangkat, harta dan lain-lain) atau karena tidak tahan lagi kena pukulan badai nista dan sengsara hina dan papa, ialah kadar resiko yang boleh dikurniakan kepada tiap-tiap pemimpin ahli perjuangan bangsa, nusa dan agama. Tetapi, manakala yang satu jatuh, maka yang lainnya sudah siap sedia menggantikan tempat kedudukan kawannya. Memang! Begitulah perputaran roda “cokro panggilannya”, dan demikian pulalah agaknya perjalanan Qodrat Allah, yang menguasai segenap hukum “cakrawala” dan semesta ‘alam ini.

Pun sebaliknya, kita harus pula bercermin kepada pelbagai peristiwa, yang orang boleh demikian yakin kepada sesuatu ideologi, sehingga lupa kepada realiteit, “tergila-gila kepada ideologi sendiri”, mabok kepada kebenaran sendiri, sehingga sering lupa‑- bahkan kadang-kadang tidak barang sedikit menaruh perhatian atau penghargaan kepada ideologi yang lainnya.

Penyakit “fanatisme” yang serupa inilah yang mudah sekali yang membahayakan persatuan bangsa dan persatuan perjuangan, yang kesudahannya bernatijahkan kepada perpecahan dan percideraan yang tidak diharapkan, terutama sekali pada masa genting-runcing seperti sekarang ini, dimana tiap-tiap warga negara seharusnya merasa wajib ikut serta menyempurnakannya perjalanan Revolusi Nasional, yang lagi tengah kita hadapi bersama. Lebih-lebih lagi, kalau kita yakin, bahwa tiap-tiap perpecahan antara kita dengan kita, adalah satu keuntungan bagi musuh. Tentang hal ini, lebih lanjut akan kami sajikan dibagian yang lain.

Walhasil, keterangan dan penerangan ringkas diatas cukuplah kiranya menunjukkan tentang wajib kita, selalu harus berpegangan kepada kedua “akidah politik itu” jika kita hendak melalui jalan yang sebaik-baiknya dalam per-juangan, menuju dan mencapai kemuliaan dan keluhuran Nusa, Bangsa dan Agama, tegasnya: Menegakkan Republik Indonesia.


III

ALAM PERJUANGAN

Mengingat sifat dan keadaannya, maka alam perjuangan yang kini lagi kita hadapi, bolehlah kita bagi menjadi dua bagian.

Pertama: alam perjuangan sejak mula Proklamasi Indonesia Merdeka (17 Agustus 1945) hingga Kemerdekaan Indonesia sudah bulat 100 %.

Adapun yang dikatakan “Kemerdekaan Indonesia bulat 100 %”. Ialah, manakala Negara kita lepas dan bebas daripada gangguan penjajahan asing, baik imperialisme Belanda maupun imperialisme yang lainnya. Lagi pula, kemerdekaan yang 100 % itu tidak hanya berlaku atas sebagian atau beberapa bagian dari kepulauan Indonesia saja, melainkan kemerdekaan 100 % atas dan bagi seluruh kepulauan Indonesia.

Kedua: alam perjuangan, kemudian dari pada Indonesia Merdeka bulat 100 %.

Pada waktu itulah orang berjuang dengan sepenuh-penuh kekuatannya, untuk membela dan mempertahankan keyakinan dan ideologinya masing-masing. Tiap-tiap golongan dan partai berihtiar dan berdaya-upaya dengan segenap usahanya, untuk mengembangkan ideologi dalam kalangan Rakyat. Dan oleh karena Republik Indonesia berdasarkan Kedaulatan Rakyat, maka suara Rakyat yang terbanyak itulah, yang akan memegang kekuasaan Negara. Jika kommunisme yang diikuti oleh sebagian besar daripada Rakyat, maka pemerintah negara akan mengikuti haluan politik sepanjang ajaran kommunisme. Dan bila Sosialisme atau Nasionalisme yang “menang suara”, maka Sosialisme dan Nasionalismelah yang akan menentukan haluan politik Negara.

Demikian pula, jika Islam yang mendapat kurnia Tuhan “menang dalam perjuangan politik” itu, maka Islam pulalah yang akan memegang tampuk Pemerintahan Negara. Sehingga pada waktu itu terbangunlah Dunia Islam atau Darul Islam, yang tetap bersendikan kepada kedaulatan Rakyat, yang tidak menyimpang serambut dibelah tujuh sekalipun daripada ajaran-ajaran Kitabullah dan sunnatun-Nabi Muhammad Saw..

Pada saat itulah kita hidup didalam Dunia Baru, yang boleh kita gelari: “Al-Daulatul-Islamiyah”. Selanjutnya, tentang hal ini akan kami bentangkan dibagian lain. Oleh sebab itu, maka dalam perjuangan kedua ini bolehlah dinamakan: alam perjuangan ideologi.


IV

REVOLUSI NASIONAL DAN REVOLUSI SOSIAL

Mengingat corak dan wujud serta peristiwa-peristiwa yang berlaku dalam alam-alam perjuangan diatas itu, maka pada garis besarnya bolehlah perjuangan yang berkenaan dengan perubahan masyarakat cepat (revolusi), menurut sifat dan tabi’at yang terkandung didalamnya, dibagi atas 2 bagian:

1) Revolusi Nasional, ialah segala perubahan yang mengenai negara kita dari dalam ke luar, yang bahwa sekali menolak tiap-tiap penjajahan. Perjuangan menuntut pengakuan Dunia Internasional atas Hak Kemerdekaan Kita. Revolusi Nasional itu boleh mengeluarkan “diplomasi” dan bukan pula merupakan pertempuran Rakyat sebagai suatu bentuk yang nyata, bahwa Rakyat Indonesia sungguh-sungguh tidak menyukai penjajahan yang manapun juga. Dilihat sepintas lalu, maka kedua jalan ini acapkali tampaknya berselisihan, bahkan adakalanya bertentangan dan bertikaian. Padahal sesungguhnya kedua usaha itu (“diplomasi” dan “pertempuran”) harus dilakukan, di mana perlu dan seberapa perlunya. Sebab tiada harganya suara Indonesia bergelora di medan percaturan internasional, menuntut pengakuan Dunia atas Hak Kemerdekaan Negara kita (“diplomasi”), jika dibelakang “mulut diplomasi” itu tidak terambing dan diselenggarakan gerakan dan perjuangan Rakyat, yang sewaktu-waktu sanggup mempertahankan kemerdekaannya dan menegakkan kedaulatan negaranya (Republik Indonesia).

Dalam hal ini, yakinlah tiap-tiap Muslim, bahwa fardlu ‘ain lah yang menuntut dan mendorong dirinya, bagi menolak tiap-tiap penjajahan, melakukan Jihad fi sabilillah bima’na qital atau ghazwah, dengan harta dan jiwanya, dan apapun juga yang dikehendaki untuk kurban pada jalan yang suci itu. Sedang tiap-tiap warga Negara Indonesia yang lainnya tidak juga terlepas daripada pertanggungan beban dan wajib yang utama ‑-sebagai seorang warga daripada sesuatu negara yang telah merdeka--, untuk mempertahankan dan menegakkan kedaulatan negaranya, dengan tiap syarat dan maksud, yang dikehendaki pada jalan yang, yang mulia itu. Di balik itu, maka haramlah bagi tiap-tiap Muslim, mempunyai sikap dan pendirian “menerima dan ridlo dijajah oleh siapapun juga.”

2) Revolusi Sosial, ialah sifat kedua daripada perjuangan Ummat, yang menghendaki perubahan masyarakat dari dalam ke dalam, di dalam negeri sendiri, oleh bangsa sendiri dan bagi kepentingan Negara kita sendiri. Revolusi Sosial ini berlaku atau tidak berlaku di sesuatu tempat atau daerah, tergantung semata-mata kepada matang atau mentahnya sesuatu ikatan masyarakat, ditempat atau daerah itu, dan bersangkutan langsung dengan keadaan dan peristiwa yang berlaku di dalam daerah itu. Lagi pula, Revolusi Sosial itu tidak dapat dilakukan oleh saban orang, dalam arti kata segenap Rakyat, melainkan dilakukannya oleh sebagian dari pada Rakyat, menurut golongan, tingkatan atau ideologi, yang berlaku di daerah itu.

Jika Revolusi Sosial itu menjadi wajib pula atas kita, maka dalam pandangan hukum masyarakat (sosiologis) dan sepanjang tinjauan hukum Agama, bolehlah kiranya kita masukkan dalam bagian fardlu kifayah, ialah kewajiban yang dianggap sudah cukup sempurna dilakukan, bilamana sebagian daripada Ummat telah menyelesaikannya.

Syahdan, maka jika kita bandingkan kedua sifat perjuangan itu (Revolusi Nasional dan Revolusi Sosial, maka yang pertama boleh kita namakan Jihadul Asgar dan yang kedua Jihadul Akbar. Selain daripada itu, sebagai tambahan bolehlah pula dicantumkan sifat perjuangan yang ketiga, yang hanya mengenal diri seorang (individueel, syakhsiyah), yang oleh karenanya boleh dinamakan: Revolusi Diri, atau Revolusi Pribadi, atau Revolusi Syakhsi.

Adapun yang kami maksudkan dengan Revolusi Pribadi itu ialah perubahan diri, perubahan sifat dan tabi’at, perubahan himmah dan semangat, perubahan kehendak dan CITA-CITA, tegasnya: perobahan jiwa, perubahan manusia dalam arti ma’nawi dan ma’ani, dzahir dan batin.

Sungguhpun hal ini (Revolusi Pribadi), yang kemudian bila sudah merata, akan merupakan “Revolusi Rakyat”, jarang sekali disebut-sebut orang, tapi dalam pandangan dan pendapat kami, tidak kurang pentingnya dibanding dengan Revolusi Nasional dan Revolusi Sosial. Lebih-lebih lagi, karena Revolusi Rakyat itu mengenai dasar-dasar dan sendi-sendinya masyarakat dan khalayak ramai serta tulang-punggung pemerintahan negeri. Jauhkan dan enyahkanlan sifat kolonialisme (sisa Belanda-isme) dan sifat fasisme (sisa Jepang-isme), dari diri kita, dari tubuhnya masyarakat dan khalayak ramai! Jadikanlah diri kita masing-masing menjadi “Jiwa Merdeka” Jiwa, yang patut menjadi anggota masyarakat yang merdeka! Jiwa, yang pantas menjadi warga daripada sesuatu negara yang Merdeka!

Dalam pandangan Agama Islam, tiadalah mungkin dibentuk jiwa merdeka, melainkan berdasarkan atas sesuci-suci Iman kepada Allah dan sebersih-bersih Tawhid, sepanjang ajaran Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, Muhammad Saw.. Usaha mengubah diri menjadi “jiwa merdeka” adalah kewajiban, yang diletakkan atas pundak tiap-tiap warga negara, yang sadar dan insaf akan bangsa dan tanah airnya, terutama atas warga negara yang menamakan dirinya Muslim atau Mu’min, yang telah mendapat panggilan suci dari Agamanya.

Sebab, jika tiap-tiap warga negara Indonesia telah dapat mengubah dirinya menjadi “Jiwa Merdeka”, tegasnya: jika Revolusi Rakyat telah berlaku atas dirinya. Insya Allah, tertutuplah jalan dan kemungkinan bagi kaki penjajah yang mana pun juga menginjak tanah air kita, jangankan mengganggu Kedaulatan Negara kita.


V

IDEOLOGI ISLAM

Beda dengan ideologi-ideologi yang lainnya, maka Ideologi Islam tidak hanya menuju kepada Keselamatan Dunia saja, melainkan juga Kesejahteraan Akhirat.

Apabila kita sebagai ahli ilmu jiwa (psycholoog[3]) dan sebagai ahli ilmu masyarakat (sosioloog[4]) meneropong jiwa dan gerak-gerik sukmanya Ummat Islam, serta suka pula membandingkannya dengan Ideologi Islam, maka terdengarlah suara sayup-sayup laksana teriakan penunggang onta di tengah-tengah lautan pasir yang amat luas, dan ada kalanya terdengar pula sebagai dentuman meriam dan letusan bom, seolah-olah seperti halilintar di tengah-tengah hujan-angin yang lebat dan taufan yang dahsyat.

Sari daripada suara jiwa Ummat Islam yang serupa itu mengalir kesatu jurusan yang tetap dan tentu, ialah: CITA-CITA Islam, atau Ideologi Islam. Dalam hal ketatanegaraan dan di dalam masyarakat suara jiwa Ummat Islam ini bolehlah kami terjamahkan, sebagai berikut:

1) Hendaklah Republik Indonesia menjadi Republik yang berdasar Islam;

2) Hendaklah pemerintah dapat menjamin berlakunya hukum syara’ Agama Islam; dalam arti yang seluas-luas dan sesempurna-sempurnanya;

3) Kiranya tiap-tiap Muslim dapat kesempatan dan lapangan usaha, untuk melakukan kewajibannya, baik dalam bagian duniawi maupun dalam urusan ukhrowi;

4) Kiranya Rakyat Indonesia, teristimewa sekali Ummat Islam, terlepaslah daripada tiap-tiap perhambaan yang mana pun jua.

Dengan ringkas tapi tegas bolehlah kita katakan, bahwa CITA-CITA Ummat Islam (Ideologi Islam) ialah: hendak membangunkan Dunia Baru, atau Dunia Islam, atau dengan kata-kata (terminologi) lain: Darul Islam.

Sebab, sepanjang keyakinan dan pendapat Ummat Islam, maka hanya dengan Islam di dalam bangunan Darul Islam sajalah masyarakat Indonesia khususnya dan segenap perikemanusiaan umumnya dapat terjamin keselamatannya, baik yang berhubungan dengan hidup dan peripenghidupannya maupun yang bersangkutan dengan kepentingan dan keperluan keduniaan yang lainnya.

Selain daripada itu, kejurusan ukhrowiyah Ummat Islam ber-CITA-CITA-kan “memperoleh Keselamatan dan Kesejahteraan Akhirat”, ialah Dunia Baqa; atau dengan kata-kata lain: Darul Salam. Ialah Dunia sempurna, alam di balik kubur, yang dijanjikan Allah atas tiap-tiap hamba-Nya, yang sengaja dan pandai melakukan kewajibannya dengan sempurna, sepanjang tuntunan dan pertunjukan Kitab-Nya dan contoh tauladan Nabi-Nya yang penutup Saw..

Begitulah harap dan do’a tiap-tiap jiwa yang berideologi Islam, jika pada suatu saat ketemu dengan ujung kesudahan hidupnya; setelah menyelesaikan amal usaha dan kewajibannya, yang perlu diperbuat semasa diberi haya[5] oleh Dzat Yang Maha Murah dan Maha Asih. Karenanya pula, maka sering dikatakan oleh pemuka-pemuka Islam dan para ‘alim ‘ulama, bahwa CITA-CITA Ummat Islam ialah: menuju dan memperoleh Mardhotillah dan Rahmatillah. Mardlotillah dan Rahmatillah di dunia, merupakan Darul Islam! Sedang mardlotillah dan Rahmatillah di akhirat, mewujudkan Darus Salam!

CITA-CITA yang serupa itu tertanam dalam-dalam dan berakar kuat-kuat dalam kalbu Ummat Islam, sehingga tiap-tiap Muslim dan Mu’min menganggap hidupnya tiada berguna (mubadzir), bahkan ia merasa menanggung dosa yang sebesar-besarnya, jika ia menghentikan ikhtiar dan usahanya, bagi mencapai Darul Islam, Darus Salam!


VI

TAKTIK DAN SIKAP PERJUANGAN

Tiap-tiap pemuka dan penganjur perjuangan sadar dan insaf, mengerti dan mengetahui, bahwa untuk mencapai sesuatu CITA-CITA atau ideologi, harus dan wajib dilakukan taktik dan dibuat sikap perjuangan yang tepat, dengan mengingati keadaan masa (waktu) dan keadaan masyarakat.

Pemimpin yang ulung dan bijaksana dalam perjuangan, tidaklah mudah menggerakkan kaki dan tangan, bibir dan penanya, hanya “asal berjuang saja”. Tetapi tiap-tiap gerak dan langkahnya harus bersandarkan kepada “perhitungan yang pasti” (seperti mungkin[6], sepanjang atau sependek hitungan akal manusia). Terutama bila ia masuk golongan pemimpin Islam, maka selain berdasarkan kepada “hitungan yang pasti” itu, pun harus pula ia selalu mengingati “ketentuan-ketentuan hukum”, dan senantiasa usaha menyelaraskan tiap-tiap langkah dan amal perbuatannya dengan ketentuan-ketentuan hukum itu (taufiq), walaupun dalam pada itu --dimana perlu dan seberapa perlunya--, ia terpaksa menentang nafsunya sendiri atau melawan nafsu golongannya.

Selain daripada itu, tiap-tiap pemimpin Islam jangan putus-putus memanjatkan harap dan do’a kepada ‘Azza wa Jalla, berkenanlah kiranya Ia kepada hamba-Nya bagi memperoleh petunjuk Ilahy (hidayatullah) yang sempurna, sehingga dalam hal itu ia selalu menerima pimpinan yang suci, pimpinan dari Allah, satu-satunya jalan yang menjamin keselamatan Dunia dan kesejahteraan Akhirat, baik buat diri maupun buat masyarakat seluruhnya.

Syahdan, maka pada waktu ini kita menghadapi perjuangan dua muka (kata bahasa asing: twee-fronten-strijd). Yang pertama merupakan perjuangan keluar (ekstern), ialah Revolusi Nasional, yang menolak tiap-tiap serangan penjajahan asing; dan yang kedua berwujudkan perjuangan kedalam (intern), ialah Revolusi Sosial, yang bermaksud menyelesaikan dan menyempurnakannya segala urusan dalam negeri, sehingga Republik Indonesia menjadi satu Negara Merdeka, yang kokoh, kuat dan sentausa (Stable Government).

Kedua-dua langkah dan arah itu sungguh amat penting dan menuntut sepenuh-penuh perhatian kita atasnya. Setiap ketika harus kita pergunakan dan setiap jalan kearah itu harus kita tempuh, meskipun terpaksa melampaui ranjau dan bencana, yang maha hebat dan dahsyat.

Maka setengah pemuka perjuangan berpendapat, bahwa Revolusi Sosial harus diselesaikan lebih dulu. Sebab ia berkeyakinan, bahwa Revolusi Nasional tidak akan berlaku sehebat-hebat dan sesempurna-sempurnanya, jika Revolusi Sosial belum lebih dulu diselesaikan.

Sebaliknya, maka setengah daripada pemuka perjuangan lainnya berpendapat, bahwa penyelesaian Revolusi Nasional harus didahulukan. Sebab pada anggapan dan keyakinan pihak perjuangan ini, masalah dalam (Revolusi Sosial) adalah barang yang agak mudah, yang boleh diselesaikan antara kita dengan kita, sedang sementara ini musuh sudah bersarang ditengah-tengah masyarakat kita. Lebih lanjut, kata pihak ini: “Apa artinya kita meneguhkan Kedaulatan Republik kita, jika pengaruh penjajah nanti sudah masuk dalam tulang sumsum Rakyat kita?” Malah tiap-tiap ideologi pun tidak lagi mempunyai hak hidup dan hak berlaku dengan sepertinya, selama kita masih selalu tergoda oleh nafsu angkara murka yang senantiasa ingin menjajah bangsa kita itu.

Memang! Sekalian pemuka dan pemimpin sudah sepakat kata, bahwa tiadalah sesuatu CITA-CITA (ideologi) dapat berkembang dengan luhurnya di Indonesia, kecuali jika Indonesia sudah merdeka 100 %, merdeka “de facto” dan merdeka “de jure”, merdeka menurut bukti KENYATAAN dan merdeka yang sah, sepanjang hukum dunia Internasional. Inilah sebabnya, maka pendirian kita didalam menentukan taktik perjuangan untuk mencapai idulogi Islam, kita bagi juga di dalam dua tingkatan, menurut alam perjuangan dan masa perjuangan, yang lagi kita hadapi.

Tingkatan pertama: Selama Indonesia belum merdeka 100 %, maka kita harus mengutamakan dan mendahulukan Revolusi Nasional lebih daripada Revolusi Sosial.

Taktik yang serupa itu tidaklah sekali-kali menutup atau mengurangkan perjuangan kita dalam negeri. Tidak! sekali kali tidak! Tetapi kekuatan kita, kekuatan Rakyat, kekuatan Ummat Islam harus dibagi menjadi dua bagian. Bagi yang terbesar dipergunakan untuk ikut menselesaikan Revolusi Nasional, sedang bagian kecil hendaknya kita sediakan untuk ikut menyelenggarakan berlakunya Revolusi Sosial.

Tingkatan Kedua: Jika, dengan tolong dan kurnia Tuhan Indonesia sudah merdeka 100 %, maka kita pergunakan segenap tenaga kita untuk kepentingan Revolusi Sosial semata-mata.

Adapun Revolusi Nasional pada waktu itu boleh dikata hampir tidak menghendaki tenaga lagi, dan jika perlu tenaga, hanyalah merupakan persiapan, persediaan dan penjagaan bahaya dari luar belaka. Kemudian daripada itu, perlu juga kiranya ditambahkan beberapa pemandangan ringkas, tetapi jelas dan tegas, untuk menguatkan apa yang dirawaikan[7] di atas.

Dibeberapa tempat ditanah Jawa sudah mulai berlaku Revolusi Sosial. Bahkan ada pula yang sudah hampir selesai, sungguh pun dalam ukuran “normal “masih jauh dari sempurna. Semuanya itu sesungguhnya terbatas oleh keadaan dan kejadian ditempat dan daerah itu sendiri.

Jawa pada dewasa ini, Revolusi Sosial mungkin dapat berlaku ‑-bersamaan dengan waktu berlakunya Revolusi Nasional--, jika keadaan ditempat atau daerah itu menun-tut dan menghendakinya. Dan bilamana terpaksa terjadi yang serupa itu, maka hendaknya dijaga beberapa perkara, diantaranya ialah:

1). Peliharalah eratnya persatuan antara Pemerintah dan Rakyat, dan jagalah persatuan antara golongan dengan golongan, antara berbagai-bagai lapisan Rakyat, sehingga mungkin terjadi percideraan, pertikaian atau pertengkaran, yang kadang-kadang menimbulkan kurban. Sebab, setiap usaha yang mereng-gangkan kita sama kita, tiap-tiapnya itu menjadi keuntungan musuh, maka hendaknya kita harus lebih tambah berhati-hati, tertib dan teliti dalam tiap-tiap gerak dan langkah kita.

2). Revolusi Sosial itu jangan hendaknya hanya memberi keuntungan kepada tempat atau daerah itu sendiri saja, tetapi juga menimbulkan keuntungan nasional. Tegasnya, Revolusi Sosial yang berlaku itu dapatlah kiranya menambah pesatnya kekuatan, buat menyelesaikan Revolusi Nasional.

Sebaliknya, jika disuatu tempat terjadi Revolusi Sosial, dan ternyata merugikan kepada tempat atau daerah itu sendiri, jangankan merugikan perjuangan Ummat (nasional), teranglah, bahwa Revolusi yang serupa itu bukanlah Revolusi yang kita harapkan, yang boleh membawa Rakyat bangsa kita kepada Kemerdekaan yang sejati.

Adapun Revolusi yang kita harapkan ialah Revolusi yang membangun (konstruktif) dan bukan Revolusi yang membongkar (destruktif), yang menumbuhkan “huru-hara” atau “perang saudara” dalam kalangan bangsa kita sendiri. Padahal tiada-lah marabahaya yang lebih hebat dan dahsyat, yang boleh menimpa Ummat dan Negara, melainkan tumbuhnya “huru-hara” dan “perang saudara” itu, teristimewa sekali pada masa yang segenting ini, dimana nasibnya bangsa dan Negara kita hanya tergantung kepada kekuatan diri sendiri semata-mata dan pada hakikatnya hanya terkandung kepada tolong dan kurnia Ilahy.

Oleh sebab itu, kami berharap, muga-muga keyakinan yang serupa ini dan taktik perjuangan yang kita lakukan itu, tidak hanya menjadi milik kita sendiri saja, miliknya Partai Politik Islam Masyumi dan Ummat Islam umumnya, melainkan juga merata kepada sekalian ahli perjuangan, yang sama-sama menghendaki kemuliaan nusa, bangsa dan terutama Agama, dalam melakukan wajib kita bersama, menegakkan Kedaulatan Republik Indonesia. Kalau kita selalu menjauhkan masalah ‑masalah yang kecil (far’iyah) dari pandangan kita dan melihat kewajiban-kewajiban yang besar (ushul), yang selamanya menantikan kita, insya Allah segala sesuatu akan dapat kita selesaikan bersama-sama, dengan cara yang sebaik-baiknya.


VII

MENUJU KE ARAH

DARUL ISLAM DAN DARUS SALAM

Hatta, maka di bawah ini kami hendak coba menerangkan gambaran amal dan usaha, gambaran cara dan rencana, gambaran jalan dan arah, yang boleh ‑-dengan izin Allah jua-‑ membuka pintu gerbang daripada Dunia Baru, yang selalu menjadi rindu dendam kita, ialah “Dunia Islam”, atau “Darul Islam”.

Lebih dulu kami nyatakan di sini, bahwa rencana dan usaha itu didasarkan atas keadaaan yang biasa (normal‑senormaal mungkin, menurut keadaan pada dewasa ini) dan melalui hukum-hukum yang sah (legal), baik dalam pandangan negara maupun dalam pandangan Agama.

Adapun, kalau sewaktu-waktu sekonyong-konyong terjadi peristiwa-peristiwa yang “luar biasa” (abnormal) ‑-yang semuanya itu tidak mustahil, terutama pada zaman Revolusi, seperti sekarang ini--, maka cara melakukannya kami serahkan dan percayakan kepada kebijaksanaan para pemimpin Ummat dan pemimpin negara. Hanyalah kita tahu, bahwa sesuatu penyakit mungkin sembuh, jika diobati dengan ‘anasir yang melawan penyakit itu. Kalau kurang vitamin, ditambahnya dengan vitamin lain. Kalau kurang gemuk, ditambahnya dengan gemuk lain. Kalau dihinggapi penyakit pes, disuntiknya dengan serum anti-pes. Pun demikian pulalah keadaannya dengan penyakit masyarakat. Sehingga, jika pada suatu waktu terjadi peristiwa-peristiwa yang “abnormal” (dalam pandangan hukum, didalam lingkungan negara yang teratur ‑geordende staat), maka “abnormaliteit[8] itu biasanya “dinormaliseer” (disembuhkan) dengan sesuatu “abnormaliteit” yang bersifat kebalikannya.

Walhasil, dalam hal ini kami percaya sepenuh-penuhnya atas usaha para arif-bijaksana yang bertanggung jawab atas keselamatan Ummat, Masyarakat dan Negara. Sekarang, baiklah kita mulaikan dengan gambaran, sekadar yang berkenaan dengan pokok.

Pertama, Ummat Islam adalah sebagian dari pada Rakyat Indonesia seluruhnya. Oleh sebab itu, kita pun akan mengambil bagian yang besar pula dalam menyelesaikan Revolusi Nasional, yang pada saat ini wajib yang pertama atas kita sekalian. Lebih-lebih lagi, kita yakin dengan sepenuh-penuh keyakinan, bahwa tiada tempat dan lapangan usaha serta lapangan hidup bagi ideologi yang mana pun juga, melainkan apabila negara kita sudah sungguh-sungguh merdeka 100 %. Andai kata, negara kita tidak merdeka 100 %. (misalnya: hanya merupakan gemeentebest, dominion status, atau lain-lainnya), maka tidak satu ideologi Rakyat yang boleh berkembang biak di Indonesia. Oleh karenanya, maka mau atau tidak mau, insaf atau tidak insaf, tiap-tiap warga Negara harus merasa wajib ikut menyelesaikan Revolusi Nasional, menentang tiap-tiap usaha penjajahan dari imperialisme yang mana pun juga.

Kedua, Seperti telah disuntingkan diatas, maka dalam pada kita melakukan kewajiban ikut serta dalam penjelesaian Revolusi Nasional, sekali-kali kita tidak boleh lengah atau melupakan usaha kita di dalam bagian pembangunan, ialah Revolusi Sosial. Sedang harapan dan syarat-syarat untuk menyelenggarakan Revolusi Sosial itu sudahlah kita maktubkan diatas. Sedikit-dikitnya jangan sampai mengurangkan tenaga untuk menyempurnakannya jalannya Revolusi Nasional.

Lagi pula, bila kita melakukan kewajiban kita dalam bagian Revolusi Sosial ini, maka semuanya itu merupakan suatu persiapan buat masa yang akan datang, ialah masa kemudian daripada Indonesia merdeka sudah bulat 100 %. Sebab walaupun betapa pula halnya, semasa Revolusi Nasional kita belum selesai, selama itu keadaan di dalam negara belum tetap (konstant), selalu berubah-ubah dan beralih-alih, sesuai dengan sifatnya zaman Revolusi, sifatnya perubahan masyarakat, yang berlaku dengan cara yang serba cepat dan di dalam waktu yang amat singkat. Ditambah lagi, Indonesia sebagai Negara Baru dan Negara Muda, niscayalah kekurangan alat, syarat dan rukun, baik yang merupakan manusia maupun benda, kecakapan, kepandaian, peraturan Negara dan lain-lain. Misalnya: pada waktu ini Indonesia belum mempunyai Majelis Permusyawaratan Rakyat (Parlemen atau Majelisusysyuro), padahal Majelis yang serupa itu (Majelis tahkim. Majelis pembuat hukum -- undang-undang negara) amat penting sekalilah terbentuknya dalam sesuatu negara yang Merdeka, terutama dalam negara kita, yang berdasarkan kepada Kedaulatan Rakyat 100 %.

Tetapi, walaupun betapa pula halnya, kami tidak sekali-kali berkecil hati, bahkan kami yakin, bahwa penjelenggaraan dan perlengkapan usaha pembangunan makin hari makin mendekati kepada kesempurnaannya. Pada waktu ini, mau atau tidak mau, kita harus dan wajib berdayung dengan kemudi yang terletak ditangan kita.

Maka usaha kita dalam bagian ini (Revolusi Sosial), bolehlah kiranya dibagi dalam beberapa bagian, diantaranya yang teramat penting dan harus kita perbincangkan di sini ialah Bagian Politik.

A. Hendaknya Ummat Islam jangan ketinggalan dalam Badan-badan Perwakilan Rakyat, mulai ditempat-tempat yang sekecil-kecilnya (desa) sampai kepada Pusatnya, malahan hendaknya sampai pula kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang bersifat legislatif (pembuat hukum).

B. Selain daripada itu, pun Ummat Islam jangan sampai lupa kepada kewajibannya eksekutif (melakukan hukum), jika sewaktu-waktu ada tempat terluang baginya dan masyarakat menghendaki serta memanggilnya. Kedua-dua tempat itu (legislatif dan eksekutif) sama-sama pentingnya. Marilah kita heningkan sebentar kedua fasal ini.

Umpamanya pada suatu waktu Ummat Islam dapat menduduki sebagian besar daripada Majelis Permusyawaratan Rakyat dan menurut keputusan Majelis tersebut, yang berarti juga keputusan menurut Kedaulatan Rakyat, undang-undang Islam. Padahal dalam bagian eksekutif (yang menjalankan hukum) kita amat kekurangan tenaga, maka tentulah jalannya hukum sekurang-kurangnya akan menjadi pincang. Malahan mungkin juga tidak berjalan sama sekali.

Kami yakin dan tahu, bahwa dalam hal ini Ummat Islam masih jauh sekali ketinggalan. Oleh sebab itu, hendaklah di samping latihan-latihan ketentaraan (militer), untuk menyelesaikan Revolusi Nasional, diadakan pula latihan-latihan politik (ketatanegaraan) dengan cara kilat, agar supaya secepat mungkin Ummat Islam dapat menunjukkan kecakapan dan kecukupannya, jika sewaktu-waktu mendapat panggilan dan kurnia Ilahy, untuk memerintah negaranya sendiri.

Dalam hal ini perlulah diadakan persatuan, yang lebih rapat dan lebih erat, antara para alim-ulama (yang biasanya tak tahu akan seluk-beluknya tata-negara) dan para intellektueel[9] (yang pada lazimnya tidak tahu akan seluk-beluknya Agama dan hukum Agama), agar supaya dengan cara demikian satu sama lain tambah-menambah di dalam hal pengetahuan, pengertian, kecakapan, kepandaian dan lain-lain sebagainya.

Dengan jalan ini, akan lekas pula tampak luasnya faham dan pengertian dengan terang dan nyata, terutama dalam mengatur dan memerintah negeri. Sehingga lenyaplah salah sangka orang, bahwa Agama Islam hanya cakap dan cukup untuk dipergunakan di masjid-masjid dan di pesantren-pesantren belaka. Dengan ini akan musnah juga penyakit kebarat-baratan, yang mengandung faham memisahkan Agama dari Drigama, memisahkan dunia dari akhirat (Schelding van Kerk en Staat = perpisahan antara gereja Kristen dan Negara), ialah suatu penyakit (faham barat), yang sengaja disuntikkan oleh orang barat kedalam tulang sungsum Rakyat Indonesia. Faham yang serupa itu mungkin bisa masuk didalam otaknya orang barat dan mungkin benar buat di negeri-negeri barat, tetapi bagi Indonesia -- yang Rakyatnya 90 % memeluk Agama Islam -- faham yang serupa itu nyatalah keliru, salah dan sesat.

Andai kata, kewajiban Ummat Islam dalam bagian pemerintahan Negara yang dua bagian itu telah lengkap (legistatif dan eksekutif), maka belum juga sempurna.

C. Kalau hukum telah ditentukan (legislatif) dan hakim (yang dijalankan hukum atasnya) pun keadaannya harus sesuai dengan hukum hakim itu. Adapun yang menjadi hukum dalam hal ini ialah Rakyat murba, Rakyat Indonesia seluruhnya, yang menjadi warga Negara Indonesia.

Riwayat zaman penjajahan Belanda, lebih-lebih lagi zaman pendudukan tentara Jepang, menunjukkan bukti yang seterang-terang dan senyata-nyatanya.

Undang-undang dibuat dan diumumkan; pemerintah melakukan undang-undang itu; tapi… Rakyat berbuat semau-maunya sendiri. Malahan kadang-kadang merupakan peristiwa yang ajaib, seperti pepatah Jawa: “rujak sentul, kowe ngalor aku ngidul”. Tegasnya, kalau pemerintah mengomando “jalan”, maka Rakyat “berhenti”, begitulah seterusnya. Laksana air dalam muara; air asin dari laut yang diatas mengalir “mudik”, maka air tawar yang dibawah mengalir “milir”. Selalu berbalikan arah dan tujuan, sikap dan haluan, antara Rakyat dengan pemerintah.

Di zaman jajahan hal yang sedemikian itu memang sudah seharus dan semestinya. Satu bukti, bahwa Rakyat Indonesia tidak suka dijajah, dan tidak mengakui adanya pemerintah jajahan. Bahkan sewaktu-waktu keadaan yang serupa itu memuncak, hingga timbul berbagai-bagai pemberontakan Rakyat, yang pertumpahan dan pencurahan darah Rakyat itu merupakan tinta mas yang menghiasi riwayat Indonesia. Sekarang Indonesia sudah menjadi Negara Merdeka. Rakyatnya menjadi Rakyat yang merdeka juga, dan pemerintahan pun pemerintahan Rakyat, yang merdeka pula.

Hukum dan undang-undang dibuat oleh Rakyat (kedaulatan Rakyat), Pemerintahnya dipilih oleh Rakyat (pemerintahan Rakyat), sedang pemerintahan dilakukan untuk kepentingan Rakyat, bukan untuk kepentingan pemerintah. Begitulah kiranya keadaan kita dalam waktu yang mendatang, jika kemerdakaan Indonesia sudah bulat 100 %. Tetapi.… kalau Rakyat belum sadar dalam politik, maka semua teori itu akan sia-sia belaka ibarat pohon yang berkembang, tapi tidak berbuah.

Oleh sebab itu, maka di zaman merdeka Rakyat harus diberi pendidikan atau pengajaran, dituntun dan dipimpin, hingga “sadar dalam politik” (politik bewust). Sampai ia insaf, bahwa ia menjadi Rakyat atau bangsa yang merdeka; mempunyai negara yang merdeka; mempunyai tanah air yang merdeka; mempunyai pemerintah yang wajib ia taati. Gemblengan yang serupa ini tidak cukup dengan cerita dan berita saja, melainkan harus disertai dengan bukti yang nyata. Sehingga tiap-tiap warga Negara, terutama Rakyat murba, sunguh-sunguh mengisap hawa yang merdeka dan hidup dalam suasana merdeka. Dengan tidak bosan-bosan kami mengulangi kalimat: Bukti! Sekali lagi: Bukti Rakyat menuntut bukti!

Kalau demikian halnya, Insya Allah, dengan sadar atau tidak sadar, Rakyat akan mengikuti perintah dan seruan serta komando dari pemimpin dan pemerintah.

D. Selain dari pada itu, kita sebagai Ummat Islam masih pula menanggung beban dan wajib terhadap kepada khalayak ramai: menuntut dan mendidik, mencerdaskan dan mempercakap Ummat Islam, agar pandai dan kuasa melakukan hukum-hukum Allah dan sunnah Nabi Penutup, Muhammad Saw.. Dengan cara yang demikian, jika semuanya itu dilakukan dengan amal yang nyata (praktijk), maka terjadilah ikatan kehidupan Islam, ialah benih yang pertama dari pada CITA-CITA kita: DARUL ISLAM !

Misalnya: seorang hanya cakap untuk melakukan hukum Islam untuk dirinya dan kepada dirinya sendiri, maka mulaikanlah pembangunan Darul Islam dalam diri seseorang! Jika kekuatan itu sudah meluas, cukup untuk sekampung atau sedesa, maka bangunkanlah Darul Islam dikampung atau desa itu! Begitulah selanjutnya, sehingga Revolusi Sosial yang kita lakukan sebagai persiapan untuk masa kedepan (setelah Indonesia merdeka 100 %. Bulat), dari lapisan Rakyat murba sendiri, baiklah kita mulaikan sebagai Revolusi Sosial Islam, atau diringkas Revolusi Islam.

Pendidikan Rakyat yang serupa itu, yang natijahnya akan merupakan Revolusi Rakyat, atau lebih tegas: Revolusi Rakyat Islam, bukanlah barang yang luar biasa, yang menghendaki tenaga dan kekuatan yang luar biasa, pada zaman yang luar biasa. Tidak! Sekali-kali tidak!

Karena pendidikan dan pengajaran yang serupa itu selaras dengan jiwanya Rakyat. Sehingga Revolusi Rakyat yang semacam itu pada hakikatnya merupakan usaha membangunkan dan mengatur kekuatan dan jiwa Rakyat, yang ghaib dan masih terpendam (latent) itu! Yang, “ghaib dan terpendam” berabad-abad lamanya, sejak mula Indonesia dijajah oleh bangsa Asing!

Seperti gunung berapi yang padam pada tiap-tiap waktu yang tentu atau tidak tentu terpaksa memuntahkan api dan lahar, begitu juga kekuatan dan jiwa Rakyat yang tertekan berabad-abad itu, pada tiap-tiap saat menghendaki, maka terjadilah peletupan dan letusan jiwa Rakyat itu, yang merupakan pemberontakan Rakyat, pemboikotan dan lain-lain sebagainya. Satu tanda, bahwa jiwa Rakyat Indonesia -‑yang berabad-abad tampaknya macam “bangkai”-‑ masih tetap hidup. Terutama sekali, setelah Indonesia Merdeka, maka daripada bangsa yang berabad-abad lamanya disangkanya “mati” itu, dari bangsa itulah timbul ksatria suci, yang sanggup mempertahankan dan menyentausakan Haq (kebenaran) dan mengenyahkan segenap yang bathil (penjajahan dan lain-lain penyakit dunia)!

Alhamdulillah. Perlu pula agaknya di sini diterangkan, bahwa semuanya itu berlaku menurut tempat dan waktu, mengingat keadaan masyarakat pada masa itu, serta kesempatan dan jalan yang dilapangkan untuk keperluan tersebut. Memperkosa hukum dan keadaan, bukanlah sifat dan tabi’at Muslim dan Mu’min. Oleh sebab itu, maka segala kewajiban menyempurnakannya Revolusi Islam atau Revolusi Rakyat Islam itu hendaknya dilakukan dengan cara dan aturan yang sebaik-baiknya, sampai kepada suatu tingkatan, bahwa Ummat Islam cakap dan patut menjadi contoh dan tauladan bagi warga negara yang lainnya.

Jika usaha kita “dari atas kebawah” (bagian A. dan B.) dan “dari bawah keatas” (bagian C. dan D.) itu memang disertai dengan tolong dan kurnia Ilahy, Insya Allah didalam tempo yang secepat-cepatnya Dunia Islam akan terbentang didepan mata kita sekalian. Kiranya tiap-tiap warga Negara, terutama Ummat Islam, pandai, cakap dan cukup untuk menerima Rahmat dan Ridlo Ilahy yang sebesar itu; satu kurnia Allah yang belum pernah dianugerahkan kepada Ummat Islam di Indonesia, sebelum zaman kita ini. Insya Allah. Amin.

Adapun tentang “Darul Islam”, hal ini mutlak tergantung kepada kurnia Allah semata-mata. Tiada suatu mahluk, juga bangsa manusia yang mana pun juga, dapat ikut campur tangan didalamnya. Hanyalah daripada ajaran Agama Islam yang suci kita mengetahui, bahwa tiap-tiap jalan dan usaha yang menuju ke Darul Islam, maka jalan dan usaha itu jugalah yang menuju kearah “Darus Salam”, alam yang diliputi oleh nikmat Allah selama-lamanya. Mudah-mudahan Allah berkenan menyampaikan kita kepada CITA-CITA Islam yang suci-murni itu, ialah: Darul Islam didunia dan Darus Salam diakhirat!

Amin! Ya rabbal-alamin.


[1] Peraturan

[2] Nama kota di Perancis, tempat diadakannya perjanjian antara Prussia (Jerman sebelum PD II) dengan Perancis --ed.

[3] Psikolog –ed.

[4] Sosiolog –ed.

[5] Hidup –ed.

[6] Setepat mungkin

[7] Diuraikan –ed.

[8] ketidaknormalan

[9] Intelektual –ed.

Axact

Empiris

Episentrum Pengkajian Islam dan Riset Sosial mengorientasikan diri untuk menjadi katalisator terwujudnya Mulkiyah Allah di muka bumi, dan bersama-sama menggalang kekuatan kolektif dari potensi-potensi yang telah sejak lama berada dipangkuan Ummat Islam... Billahi Hayaatuna Wallahu Fii Hayatil Mustadz'afin... Hidup Kita Bersama Allah, dan Allah Berada Dalam Kehidupan Kaum Tertindas... Inna fatahna laka fathan mubina...

Post A Comment:

5 comments:

  1. Memang dalam memperjuangan Islam kita telah terkonsentrasi dalam dua kategori.

    Pertama, perjuangan pembaharuan pemikiran Islam yang bersifat ke dalam (Struggle from with in), yang bertujuan untuk meningkatkan semangat keberagamaan dengan memperluas cakrawala pemikiran melalui pembaharuan pendidikan, dengan tema sentralnya adalah kembali kepada kemurnian ajaran Islam Al-Qur’an dan As-Sunnah..

    Kedua, perjuangan politik Islam, sebagai bagian dari pembebasan ketertindasan masyarakat muslim dari kediktatoran penguasa baik Sekuler maupun Islam yang despotik, apalagi pembebasan dari imperialisme modern.

    Namun bagi saya tidak lah penting sebuah daar islam jika kita tidak bisa islam, saya lebih mendukung suasana yang saya bisa menjalankan hidup secara islam...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Apakah kita butuh daar atau tidak ...

      Hapus
  2. Anonim13.42

    Saya mau beli buku ini caranya gmn?

    BalasHapus
  3. Ini dapat menjadi literatur praktis bagi kaum pergerakan Islam Indonesia. Minimalnya untuk lebih memahami anatomi historis gerakan di Indonesia, khususnya Gerakan Islam.

    BalasHapus
  4. Adapun Revolusi yang kita harapkan ialah Revolusi yang membangun (konstruktif) dan bukan Revolusi yang membongkar (destruktif), yang menumbuhkan “huru-hara” atau “perang saudara” dalam kalangan bangsa kita sendiri. Padahal tiada-lah marabahaya yang lebih hebat dan dahsyat, yang boleh menimpa Ummat dan Negara, melainkan tumbuhnya “huru-hara” dan “perang saudara” itu, teristimewa sekali pada masa yang segenting ini, dimana nasibnya bangsa dan Negara kita hanya tergantung kepada kekuatan diri sendiri semata-mata dan pada hakikatnya hanya terkandung kepada tolong dan kurnia Ilahy.

    BalasHapus

Bro, ekspresikan ruhul jihad mu !!!