PANDANGAN DUNIA, PERINTAH MORAL DAN
KEHARUSAN MENGHIDUPKAN PERAN KRITIKAL KENABIAN:
suatu refleksi sosiologis tentang ummat islam indonesia kiwari
Oleh: Mohandes Haraky Budi Santoso
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menguraikan secara rinci dan serba mencakup pelik-pelik theologis dan filosofis “pandangan-dunia” Islam seperti diharapkan oleh banyak pihak melainkan meniliknya dalam perspektif sosiologis, dengan maksud agar implikasi-implikasi sosio-politikalnya yang terpenting ---teristimewa dalam kondisi “kritis” dan menentukan seperti sekarang ini –dapat ditonjolkan sepatutnya. Pendekatan cara ini penulis pandang lebih mendesak, mengingat telah cukup banyak Faqih dan Mufakkir kita (inter alia Muthahhary, al-Faruqi, dan Sardar) menulis tentang “Pandangan Dunia” Islam hingga tingkat abstraksi yang mungkin agak sulit difahami oleh kalangan awam, sementara pandangan atau pemikiran yang lebih praksis lebih banyak beredar di “arus bawah” atau di “luar orbit”. Oleh karena itu, efek partisipatoris-positif yang mungkin ditimbulkan oleh gagasan sederhana ini jelas merupakan komitmen utama penulis.
Pandangan Dunia
Setiap “agama” memiliki kesamaan watak dasar dalam dua hal pokok: klaim-klaim keabadian ajaran, nilai dan petunjuknya, dan perintah-perintah moral, yang secara logis merupakan konsekwensi dari konstatasi pertama. Meski demikian, “agama” baru akan “riel” setelah ia dihadapkan atau dibenturkan kepada kenyataan-kenyataan hidup di dunia ini. Ini berarti pesan-pesan keagamaan perlu “disesuaikan” dengan proposisi-proposisi duniawi agar ia (klaim keabadian dan perintah-perintah moral) tidak kehilangan vitalitasnya di dalam keseluruhan “denyut nadi” kehidupan manusia. “Penyesuaian“ presepsi keagamaan mengenai tata semesta dan moralitas kemanusiaan agar selaras dengan kenyataan dan problematik hidup inilah yang penulis rujuk sebagai “pandangan-dunia”. Bila penyesuaian ini telah melahirkan kristal-kristal yang menjadi pola anutan sikap, fikir, dan tindakan atau perilaku para penganutnya, maka “bergerak“ lah nuansa “pandangan-dunia“ ini mejadi “ideologi” . “Ideologi”, dari manapun sumber nilainya, senantiasa memuat cita-cita, orientasi dan akhirnya merupakan pedoman hidup para penganutnya. Pada poros inilah yakni “poros ideologi” eksistensi ummat beragama diuji secara intelektual: mampukah mereka merumuskan “suatu tata-intelektual yang memuat peta kognitif mengenai ideal kemasyarakatan yang mereka dambakan, ke arah mana masyarakat (ummat yang bersangkutan) kiwari diorientasikan. Bila pada “poros” ini ummat beragama berhasil mengupayakan tata-intelektual termaksud, maka satu langkah strategis telah berhasil mereka penuhi dalam rangka mengemban tugas-tugas sosial yang dituntut oleh agama yang mereka anut. Sedemikian pentingkah kehadiran “ideologi” bagi penganut “agama” disini? Ini berpulang kepada misi keagamaan kita masing-masing. Tetapi, aksentuasi ideologi seperti terurai diatas setidaknya telah menggeser “kesan” yang selama ini mungkin masih menjadi pedoman sebagian besar manusia tentang “agama”, yakni dari doktrin eskatologis semata kepada suatu “gagasan gerak” atau “gagasan kerja” yang layak saji –bukan barang mati–, karena memang “agama” dianugerahi oleh Yang Kuasa kepada masyarakat manusia, terlebih lagi agama Islam.
Dalam hal Islam, doktrin “ke-Esa-an Ilahi” (TAWHID) adalah gagasan yang paling sentral yang menuntut perwujudan/konkretisasi subtansi ajaran-ajarannya, yang tanpa upaya ke arah konkretisasi TAWHID hanyalah konsep kosong belaka. Oleh karena itu, konsisten dengan alur pemikiran diatas “pandangan-dunia” dan “ideologi” Islam, adalah elaborasi doktrin TAWHID itu sendiri yang harus diejawantahkan di dalam kehidupan manusia seutuhnya. Masalahnya kini, institusi keagamaan Islam yang bagaimanakah yang secara langsung dituntut berperan untuk mewujudkan misi TAWHID ini.
Kenabian: Jawaban Pasti
Dalam kredo Islam, kita mengenal “kesejolian” dan aksis pokok yang tanpa keduanya Islam hanyalah penghias bibir belaka: pertama TAWHID, seperti sepintas disinggung diatas, kedua nubuwwah atau kenabian. Nabi, sebagai personifikasi ideal yang mengemban misi TAWHID, telah tiada secara fisik, semenjak wafatnya Muhammad Saw. pada 632 Masehi. Tetapi, Al Qur’an –kitab suci ummat Islam– mengisyaratkan dengan jelas betapa tidak boleh terputusnya tugas-tugas dan tanggungjawab kenabian hingga akhir zaman, meski pribadi para Nabi a.s. telah tiada. Dengan demikian, intitusi atau pranata kenabian adalah satu-satunya sumber inspirasi sekaligus wahana menjamin kesinambungan misi TAWHID.
Diantara banyak peran dan fungsi KENABIAN , maka peran dan fungsi kritikal (Critical Role and Function of Prophethood) adalah harus paling ditonjolkan. Penulis gunakan peran dan fungsi “kritikal” mengingat pada stanza-stanza inilah (cf. QS. 16:90, 2:177, 4:58) ummat Islam –sebagai penerus pelanjut missi KENABIAN– dituntut secara tulus tanggap terhadap dan mengambil peduli akan lingkungan sosial dan alamnya, dari lingkup terdekat dan skala terkecil, hingga lingkup terjauh dan skala besar, dengan “konsekuensi”, terburuknya sekalipun. Masalahnya kini, sesederhana membalik telapak dan punggung-tangan kitakah mewujudkan
Peran dan Fungsi Kritikal Kenabian itu?
Sejauh yang penulis fahami, kongkretisasi nilai-nilai TAWHID sebagaimana terkristal dalam “pandangan dunia” dan “ideologi” Islam, menuntut totalitas penetrasi esensi ke tengah masyarakat dan tiada mengenal pola-pola cangkokan, kombinasi atau sensasi terminologinya, sepanjang semua itu akan mendevaluasi keagungan dan keluhuran nilai-nilai TAWHID itu sendiri. Dengan demikian, memang tidak bisa ditawar lagi bahwa TAWHID haruslah menjadi landasan bagi kehidupan sosial dan individual ummat dan mestilah menjadi menjadi taburan rahmat bagi masyarakat non-Muslim lainnya. Untuk maksud ini setidaknya ada 4 (empat) aspek yang saling terkait yang harus diacu untuk memulai suatu langkah pasti ke arah penghidupan kembali peran dan fungsi “kritikal” kenabian, yakni (1) identifikasi kerangka situasi, (2) definisi eksistensi diri, (3) institusionalisasi “batang tubuh” ummat, dan (4) menentukan pola partisipasi.
a. Identifikasi Kerangka Situasi dan Definisi Eksistensi Diri
Tidaklah mungkin bagi ummat untuk mengambil langkah-langkah akurat dalam rangka “partisipasi” tanpa didukung oleh identifikasi yang cermat atas “lingkungan sistem” dimana ummat berada. Langkah ini adalah deskripsi menyeluruh tentang kompleks realisme kehidupan sosial yang membentuk “lingkungan sistem” (: analisa ini bermula dari tataran konseptual, tataran institusional hingga tataran operasional –aktualisator mekanisme kerja/gerak “lingkungan sistem”) dan dengan sendirinya akan menjadi “latar strategis” (strategic setting) yang memadai bagi keperluan akan informasi berharga.
Dengan informasi fundamental seperti ini, dan dengan menggunakan parameter-parameter tertentu, Ummat akan tahu/mampu menghitung kekuatan dan kelemahan diri. Untuk selanjutnya mampu secara mandiri (self motivated) mendefinisikan keberadaan dirinya sekaligus mengambil ancang-ancang untuk menentukan peran sejarahnya.
b. Institusionalisasi “Batang Tubuh” Ummat dan Penentuan Pola Partisipasi
Mesti “medan” telah diidentifikasi/”dikenali”, namun masih ada dua hal penting lagi yang mesti dilakukan: memancangkan “arah” untuk kemudian mengayunkan “langkah”. “Arah” yang ditentukan oleh Ummat niscaya mempengaruhi “langkah” yang diayunkan/diambil. Dalam hal ini perlu ditegaskan: adalah tugas para “Braintrust” Ummat untuk menentukan “arah” pasti bagi “langkah” tegap mereka, dan ini berarti “batang-tubuh” Ummat perlu ditata sedemikian rupa, agar tidak centang perenang kelak. Dengan demikian, pilihan corak dan pola partisipasi yang mungkin, layak dan harus diambil oleh Ummat bergantung kepada kesiapan perangkat konseptual yang memadai bagi orientasi dan intsitusionalisasi “batang-tubuh” Ummat.
Islam Indonesia Kiwari: Prospek, Peluang dan Tantangan
Secara tulus penulis ingin menegaskan bahwa 4 (empat) komponen dasar yang penulis acu sebagai bingkai rujukan yang utama dalam merumuskan kiprah Ummat di negeri tercinta ini hanyalah merupakan setitik varian dari beragam corak pemikiran dan pergerakan Islam di Indonesia kiwari. Ini berarti, tiada sedikitpun keistimewaan yang terpantul dari gagasan pokok yang penulis kemukakan, kendati bukan sekedar “isapan jempol” belaka. Bagi penulis sendiri, tak ada keraguan sedikitpun bahwa prospek Ummat tentu amat bergantung pada kepiawaian kita mengantisipasi peluang dan tantangan yang menganga di hadapan kita, dan itu berpulang pada kecermatan dan kemampuan kita mengidentifikasi kerangka situasi yang kita hadapi di masa kini dan masa mendatang serta keberanian moril kita mendefinisikan keberadaan diri kita.
KEHARUSAN MENGHIDUPKAN PERAN KRITIKAL KENABIAN:
suatu refleksi sosiologis tentang ummat islam indonesia kiwari
Oleh: Mohandes Haraky Budi Santoso
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menguraikan secara rinci dan serba mencakup pelik-pelik theologis dan filosofis “pandangan-dunia” Islam seperti diharapkan oleh banyak pihak melainkan meniliknya dalam perspektif sosiologis, dengan maksud agar implikasi-implikasi sosio-politikalnya yang terpenting ---teristimewa dalam kondisi “kritis” dan menentukan seperti sekarang ini –dapat ditonjolkan sepatutnya. Pendekatan cara ini penulis pandang lebih mendesak, mengingat telah cukup banyak Faqih dan Mufakkir kita (inter alia Muthahhary, al-Faruqi, dan Sardar) menulis tentang “Pandangan Dunia” Islam hingga tingkat abstraksi yang mungkin agak sulit difahami oleh kalangan awam, sementara pandangan atau pemikiran yang lebih praksis lebih banyak beredar di “arus bawah” atau di “luar orbit”. Oleh karena itu, efek partisipatoris-positif yang mungkin ditimbulkan oleh gagasan sederhana ini jelas merupakan komitmen utama penulis.
Pandangan Dunia
Setiap “agama” memiliki kesamaan watak dasar dalam dua hal pokok: klaim-klaim keabadian ajaran, nilai dan petunjuknya, dan perintah-perintah moral, yang secara logis merupakan konsekwensi dari konstatasi pertama. Meski demikian, “agama” baru akan “riel” setelah ia dihadapkan atau dibenturkan kepada kenyataan-kenyataan hidup di dunia ini. Ini berarti pesan-pesan keagamaan perlu “disesuaikan” dengan proposisi-proposisi duniawi agar ia (klaim keabadian dan perintah-perintah moral) tidak kehilangan vitalitasnya di dalam keseluruhan “denyut nadi” kehidupan manusia. “Penyesuaian“ presepsi keagamaan mengenai tata semesta dan moralitas kemanusiaan agar selaras dengan kenyataan dan problematik hidup inilah yang penulis rujuk sebagai “pandangan-dunia”. Bila penyesuaian ini telah melahirkan kristal-kristal yang menjadi pola anutan sikap, fikir, dan tindakan atau perilaku para penganutnya, maka “bergerak“ lah nuansa “pandangan-dunia“ ini mejadi “ideologi” . “Ideologi”, dari manapun sumber nilainya, senantiasa memuat cita-cita, orientasi dan akhirnya merupakan pedoman hidup para penganutnya. Pada poros inilah yakni “poros ideologi” eksistensi ummat beragama diuji secara intelektual: mampukah mereka merumuskan “suatu tata-intelektual yang memuat peta kognitif mengenai ideal kemasyarakatan yang mereka dambakan, ke arah mana masyarakat (ummat yang bersangkutan) kiwari diorientasikan. Bila pada “poros” ini ummat beragama berhasil mengupayakan tata-intelektual termaksud, maka satu langkah strategis telah berhasil mereka penuhi dalam rangka mengemban tugas-tugas sosial yang dituntut oleh agama yang mereka anut. Sedemikian pentingkah kehadiran “ideologi” bagi penganut “agama” disini? Ini berpulang kepada misi keagamaan kita masing-masing. Tetapi, aksentuasi ideologi seperti terurai diatas setidaknya telah menggeser “kesan” yang selama ini mungkin masih menjadi pedoman sebagian besar manusia tentang “agama”, yakni dari doktrin eskatologis semata kepada suatu “gagasan gerak” atau “gagasan kerja” yang layak saji –bukan barang mati–, karena memang “agama” dianugerahi oleh Yang Kuasa kepada masyarakat manusia, terlebih lagi agama Islam.
Dalam hal Islam, doktrin “ke-Esa-an Ilahi” (TAWHID) adalah gagasan yang paling sentral yang menuntut perwujudan/konkretisasi subtansi ajaran-ajarannya, yang tanpa upaya ke arah konkretisasi TAWHID hanyalah konsep kosong belaka. Oleh karena itu, konsisten dengan alur pemikiran diatas “pandangan-dunia” dan “ideologi” Islam, adalah elaborasi doktrin TAWHID itu sendiri yang harus diejawantahkan di dalam kehidupan manusia seutuhnya. Masalahnya kini, institusi keagamaan Islam yang bagaimanakah yang secara langsung dituntut berperan untuk mewujudkan misi TAWHID ini.
Kenabian: Jawaban Pasti
Dalam kredo Islam, kita mengenal “kesejolian” dan aksis pokok yang tanpa keduanya Islam hanyalah penghias bibir belaka: pertama TAWHID, seperti sepintas disinggung diatas, kedua nubuwwah atau kenabian. Nabi, sebagai personifikasi ideal yang mengemban misi TAWHID, telah tiada secara fisik, semenjak wafatnya Muhammad Saw. pada 632 Masehi. Tetapi, Al Qur’an –kitab suci ummat Islam– mengisyaratkan dengan jelas betapa tidak boleh terputusnya tugas-tugas dan tanggungjawab kenabian hingga akhir zaman, meski pribadi para Nabi a.s. telah tiada. Dengan demikian, intitusi atau pranata kenabian adalah satu-satunya sumber inspirasi sekaligus wahana menjamin kesinambungan misi TAWHID.
Diantara banyak peran dan fungsi KENABIAN , maka peran dan fungsi kritikal (Critical Role and Function of Prophethood) adalah harus paling ditonjolkan. Penulis gunakan peran dan fungsi “kritikal” mengingat pada stanza-stanza inilah (cf. QS. 16:90, 2:177, 4:58) ummat Islam –sebagai penerus pelanjut missi KENABIAN– dituntut secara tulus tanggap terhadap dan mengambil peduli akan lingkungan sosial dan alamnya, dari lingkup terdekat dan skala terkecil, hingga lingkup terjauh dan skala besar, dengan “konsekuensi”, terburuknya sekalipun. Masalahnya kini, sesederhana membalik telapak dan punggung-tangan kitakah mewujudkan
Peran dan Fungsi Kritikal Kenabian itu?
Sejauh yang penulis fahami, kongkretisasi nilai-nilai TAWHID sebagaimana terkristal dalam “pandangan dunia” dan “ideologi” Islam, menuntut totalitas penetrasi esensi ke tengah masyarakat dan tiada mengenal pola-pola cangkokan, kombinasi atau sensasi terminologinya, sepanjang semua itu akan mendevaluasi keagungan dan keluhuran nilai-nilai TAWHID itu sendiri. Dengan demikian, memang tidak bisa ditawar lagi bahwa TAWHID haruslah menjadi landasan bagi kehidupan sosial dan individual ummat dan mestilah menjadi menjadi taburan rahmat bagi masyarakat non-Muslim lainnya. Untuk maksud ini setidaknya ada 4 (empat) aspek yang saling terkait yang harus diacu untuk memulai suatu langkah pasti ke arah penghidupan kembali peran dan fungsi “kritikal” kenabian, yakni (1) identifikasi kerangka situasi, (2) definisi eksistensi diri, (3) institusionalisasi “batang tubuh” ummat, dan (4) menentukan pola partisipasi.
a. Identifikasi Kerangka Situasi dan Definisi Eksistensi Diri
Tidaklah mungkin bagi ummat untuk mengambil langkah-langkah akurat dalam rangka “partisipasi” tanpa didukung oleh identifikasi yang cermat atas “lingkungan sistem” dimana ummat berada. Langkah ini adalah deskripsi menyeluruh tentang kompleks realisme kehidupan sosial yang membentuk “lingkungan sistem” (: analisa ini bermula dari tataran konseptual, tataran institusional hingga tataran operasional –aktualisator mekanisme kerja/gerak “lingkungan sistem”) dan dengan sendirinya akan menjadi “latar strategis” (strategic setting) yang memadai bagi keperluan akan informasi berharga.
Dengan informasi fundamental seperti ini, dan dengan menggunakan parameter-parameter tertentu, Ummat akan tahu/mampu menghitung kekuatan dan kelemahan diri. Untuk selanjutnya mampu secara mandiri (self motivated) mendefinisikan keberadaan dirinya sekaligus mengambil ancang-ancang untuk menentukan peran sejarahnya.
b. Institusionalisasi “Batang Tubuh” Ummat dan Penentuan Pola Partisipasi
Mesti “medan” telah diidentifikasi/”dikenali”, namun masih ada dua hal penting lagi yang mesti dilakukan: memancangkan “arah” untuk kemudian mengayunkan “langkah”. “Arah” yang ditentukan oleh Ummat niscaya mempengaruhi “langkah” yang diayunkan/diambil. Dalam hal ini perlu ditegaskan: adalah tugas para “Braintrust” Ummat untuk menentukan “arah” pasti bagi “langkah” tegap mereka, dan ini berarti “batang-tubuh” Ummat perlu ditata sedemikian rupa, agar tidak centang perenang kelak. Dengan demikian, pilihan corak dan pola partisipasi yang mungkin, layak dan harus diambil oleh Ummat bergantung kepada kesiapan perangkat konseptual yang memadai bagi orientasi dan intsitusionalisasi “batang-tubuh” Ummat.
Islam Indonesia Kiwari: Prospek, Peluang dan Tantangan
Secara tulus penulis ingin menegaskan bahwa 4 (empat) komponen dasar yang penulis acu sebagai bingkai rujukan yang utama dalam merumuskan kiprah Ummat di negeri tercinta ini hanyalah merupakan setitik varian dari beragam corak pemikiran dan pergerakan Islam di Indonesia kiwari. Ini berarti, tiada sedikitpun keistimewaan yang terpantul dari gagasan pokok yang penulis kemukakan, kendati bukan sekedar “isapan jempol” belaka. Bagi penulis sendiri, tak ada keraguan sedikitpun bahwa prospek Ummat tentu amat bergantung pada kepiawaian kita mengantisipasi peluang dan tantangan yang menganga di hadapan kita, dan itu berpulang pada kecermatan dan kemampuan kita mengidentifikasi kerangka situasi yang kita hadapi di masa kini dan masa mendatang serta keberanian moril kita mendefinisikan keberadaan diri kita.
Post A Comment:
0 comments:
Bro, ekspresikan ruhul jihad mu !!!