Oleh: Muchamad Ridho Hidayat
Islam bukanlah semata-mata sebuah keimanan, agama atau persaksian. Islam adalah cara hidup. Islam bukan hanya jawaban atas kerinduan-kerinduan keagamaan manusia tetapi juga untuk kehidupan kemanusiaan secara keseluruhan. Islam tidak hanya memberi kita hal-hal metafisik yang tidak akan salah, tetapi juga hal-hal yang komprehensif dan menjiwai kode etika sosial dan individu, sebuah sistem ekonomi yang sehat, sebuah ideologi politik, dan banyak hal lain di samping itu. Islam bukan sebuah bintang tersendiri, tetapi bagian dari sistem tata surya, yang meliputi seluruhnya dan menerangi seluruh alam.
[Muhammad Fazlur Rahman Ansari]
[Muhammad Fazlur Rahman Ansari]
Agama merupakan tema yang menarik untuk dibicarakan. Sebab ia memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Tidak hanya para pengikut para Nabi, kaum athies pun rajin mendiskusikan tema ini.
Sebagaimana yang sudah dikenal, agama adalah bagian dari kebudayaan. Paling tidak hal ini diterima oleh siswa humaniora dan para budayawan. Sebagai budaya, agama terus berkembang, berubah dan menyejarah. Itu artinya agama bersifat evolutif, dialektis dan fleksibel. Sifat agama ini tentunya tidak bertentangan dengan definisinya sebagai “jalan yang tidak kacau”.
Dalam pembagiannya, agama dapat dikelaskan menjadi; “agama langit” dan “agama bumi”. Agama langit adalah agama yang bersumber dari wahyu sedangkan agama bumi tidak. Agama yang biasa disebut agama langit adalah Yahudi, Kristen dan Islam (agama semit). Ketiga agama ini pernah memainkan peran penting dalam tata dunia internasional. Adapun tulisan ini tidak bermaksud membahas pembagian dan peran agama tersebut.
Ihwal Agama
Apa definisi agama? Seperti apakah konsepnya? Pada dataran diskursus akademik, makna religion di Barat memang problematik. Bertahun-tahun mereka mencoba mendefinisikan religion tapi gagal. Mereka tetap tidak mampu menjangkau hal-hal yang khusus. Jikapun mampu mereka terpaksa menafikan agama lain. Ketika agama didefinisikan sebagai kepercayaan, atau kepercayaan kepada yang Maha Kuasa (Supreme Being), kepercayaan primitif di Asia menjadi bukan agama. Sebab agama primitif tidak punya kepercayaan formal, apalagi doktrin.
F. Schleiermacher kemudian mendefinisikan agama dengan “rasa ketergantungan yang absolut”. Demikian pula Whithehead, agama adalah “apa yang kita lakukan dalam kesendirian”. Disini faktor-faktor terpentingnya adalah emosi, pengalaman, intuisi dan etika. Tapi definisi ini hanya sesuai untuk agama primitif yang punya tradisi penuh dengan ritus-ritus, dan tidak cocok untuk agama yang punya struktur keimanan, ide-ide dan doktirn-doktrin.
Tapi bagi sosiolog dan antropolog memang begitu. Begitu mereka religion sama sekali bukan seperangkat ide-ide, nilai atau pengalaman yang terpisah dari matriks kultural. Emile Durkheim malah yakin bahwa masyarakat itu sendiri sudah cukup sebagai faktor penting bagi lahirnya rasa berketuhanan dalam jiwa. Tapi bagi pakar psikologi agama justru harus diartikan dari faktor kekuatan kejiwaan manusia ketimbang faktor faktor sosial dan intelektual.
Akar kebingungan Barat mendefinisikan religion karena konsep Tuhan yang bermasalah. Sehingga mereka terpaksa harus melakukan rekayasa agar bisa diterima akal manusia. Seperti itukah agama? Lantas seperti apakah Islam jika ia kita sebut sebgai agama?
Dinul Islam
Secara umum Islam dipandang sebagai suatu agama. Agama bertujuan untuk menghindarkan manusia agar tidak kacau (a-gama; sansekerta). Sedangkan Islam lebih luas lagi, adalah syari`at untuk menggapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Untuk memahami seperti apa Islam dalam kajian kebudayaan atau dalam makna yang sebenarnya, harus digunakan pendekatan yang tepat. Yakni dengan mengembalikan Islam pada konsep yang dimilikinya. Atau membiarkan dia mendefinisikan dirinya sendiri. Islam, baik sebagai agama maupun sebagai sebuah agama yang membedakannya dengan agama lain, berasal dari akar kata “Din”. (QS. Ali `Imran [3]: 19, 83 dan 85).
Konsep yang lahir dalam istilah din yang pada umumnya diartikan sebagai agama, tidaklah sama dengan konsep agama seperti yang dipahami dan dimengerti dalam sejarah religius Barat. Kalau kita berbicara tentang Islam dan menunjuknya dalam bahasa Inggris “religion” (atau agama), kita mengartikan dan memahamkannya sebagai din dimana semua konotasi dasar yang berpautan dengan istilah din digambarkan terpadu ke dalam kesatuan tunggal dari arti yang saling berkaitan seperti yang tercermin melalui al-Qur`an dan dalam bahasa Arab. [hal.71.]
Kata din berasal dari dyn. Ia mempunyai banyak arti pokok, yang meskipun nampak berlawanan satu sama lain, secara konseptual masih saling berhubungan. [Selanjutnya, untuk lebih mendalami konsep din, silahkan merujuk ke karya Al-Attas, Islam dan Sekularisme]
Kata ad-din dalam konteks bahasa mempunyai beberapa arti, diantaranya adalah: amal, balasan, kehinaan, penghambaan, tunduk patuh, ketaatan, dan kebiasaan. Sedangkan dalam arti luas, yang dimaksud ad-din adalah: “seluruh hukum yang disyari`atkan Allah, baik aqidah, ucapan maupun amal perbuatan”. Islam adalah din yang mencakup seluruh kemaslahatan.
Arti dari Islam adalah menyerah kepada Allah dengan bertawhid kepada-Nya di atas ajara-ajaran RasuluLlah SAW. Islam adalah satu-satunya agama yang diturunkan Allah dan diridhoi-Nya untuk hamba-hamba-Nya. Tidak ada satu agama pun yang akan diterima di sisi Allah selain Islam.
Islam adalah agama tawhid dan agama para rasul, sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad. Agama Yahudi bukanlah agama Nabi Musa AS dan agama Nasrani bukanlah agama Nabi Isa, kedua Nabi tersebut dan seluruh Nabi telah di utus dengan Islam.
“(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim AS. Dia (aLLoH) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (al-Qur`an) ini, supaya Rosul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia...”
[al-Hajj (22):78]
“Dia telah mensyari`atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: Tegakanlah agama (iqomah ad-din) dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya...”
[asy-Syuraa (42):13]
Sampai disini dapat disimpulkan, bahwa paham pluralisme agama adalah bathil. Ia tertolak sebagai konsep “kesatuan agama-agama” maupun “kesatuan teologi”. Ia tertolak karena melakukan kesalahan dengan menerapkan pandangan esoteris dan eksoteris pada agama-agama; khususnya Islam. Ia juga tertolak karena telah berdusta dengan menyatakan “semua agama adalah sama”.
Penutup
Istilah din umumnya diterjemahkan sebagai “agama” atau religion. Penerjemahan semacam ini menimbulkan berbagai macam kebingungan karena istilah din bermakna lebih dari sekedar itu. Bahayanya, ketika kita melakukan hal seperti itu, orang-orang Barat akan segera mengasosiasikannya dengan agama Kristiani lengkap dengan semua doktrin, ritual dan sejarahnya (yang akan mengingatkan mereka kepada sejarah kelam inkuisisi dan persekusi para ilmuwan).
[Dr. Fatimah Abdullah, Konsep Islam Sebagai Din: Kajian terhadap Pemikiran Prof. Dr. SMN. Al-Attas dalam Majalah ISLAMIA Tahun 1 No.3 hal.49]
Jika Islam ingin dimasukan kedalam studi keagamaan, perbandingan agama atau pembahasan teologi ia harus dikembalikan kepada makna asalnya; ad-Din. Apapun sebutannya, agama kah, religion kah? Islam adalah Din seperti yang dijelaskan oleh Para Nabi, kemudian diamalkan oleh para pengikutnya (ash-shahabah).
Namun, jika para akademisi tetap menganggap “agama Islam” sejajar dan sama dengan agama dan religion lainnya, kiranya tepat pendapat Syed Ahmad Thomson untuk kita adopsi. “Semua agama adalah sama, semuanya bid`ah terhadap nubuwah”. Yahudi adalah bid`ah terhadap nubuwah Musa AS., Kristen adalah bid`ah terhadap nubuwah Isa AS. Demikian juga agama Islam.
Wa allahu a`lam.
Maroji:
v Muhammad Fazlur Rahman Ansari, Islam dan Kristen dalam Dunia Modern. – Jakarta: Bumi Aksara, 1998.
v Majalah ISLAMIA, Tahun 1 No.3/ September-November 2004.
v Buletin atTafakur Edisi 2/Dzulqo`idah 1427.
v Majalah As-Silmi, Edisi 3 – 1426 H/ 2005.
v M.H. Budi Santoso, Transendensi, Humanisasi dan Liberalisasi. Jakarta: LIMITS, 2005.
v Jurnal HASMI, Edisi 01/2006.
v Ahmad Thomson, Sistem Dajjal. Bandung: Penerbit Semesta.
v Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme. Bandung: Penerbit Pustaka, 1981.
Post A Comment:
0 comments:
Bro, ekspresikan ruhul jihad mu !!!