Keadaan dunia-manusia yang rusak/ problematis pada hari ini akan dapat dipahami jika kita mengetahui latar belakang sejarah dan penyebab terjadinya. Seluruh penjuru dunia, Timur dan Barat, Utara hingga Selatan dihadapkan dengan masalah-masalah kemanusiaan. Seluruh aspek kehidupan manusia (dunia-manusia), baik aspek material maupun spiritual sedang mengalami krisis. Melanjutkan dua pembahasan sebelumnya (lihat: Mencari Definisi Kebudayaan & Kebudayaan Barat, Sebuah Tinjauan Kritis), perlu kiranya kami mengulas sekilas perjalanan ‘dunia’ Barat. Dalam tulisan ini, istilah Kebudayaan –yang problematis serta reduksionis- terpaksa digunakan untuk mempermudah pembahasan.

Pada periode pencerahan di Eropa (abad XVII-XIX) para filosof, teolog, dan sastrawan meramalkan bahwa akan tibanya era ilmu pengetahuan. Hal ini mereka pahami dengan kemajuan teknologi sekaligus kemunduran agama. Atau dalam bahasa yang lebih kronologis, dunia Barat akan tumbuh dan berkembang dari fase primitif menuju fase modern. Nietzhe, seorang pemikir Jerman, membuka gerbang fase baru ini dengan perantara sabda zaratusta. Dengan kegilaan (dalam arti sebenarnya), dia memproklamasikan kematian Tuhan.

Tuhan telah mati. Metafisika berubah dari teologi kepada teknologi. Agama yang sejak sebelum itu dipercaya sebagai pedoman hidup mulai ditinggalkan. Akhirnya, masyarakat harus bersiap-siap menghadapi dunia/ alam kejam, sambil tetap berhati-hati terhadap serangan dari ‘tentara’ Tuhan. Mereka bersegera mengambil elemen-elemen kebudayaan (baca: kehidupan) darimana pun sebisa mungkin. Konstruksi seluruh elemen/ unsur kehidupan ini kemudian diikat dengan suatu asas pengganti agama; “secularism”.

Gema/gaung kematian Tuhan masih bisa kita dengar sampai saat ini dari lisan kaum ilmuwan dan sastrawan. Para teolog menyerah kalah. Mereka bergabung dengan gerakan sekularisasi yang massif dan tak dapat dihindari. Kristen ‘tradisional’ tidak dapat dipertahankan lagi. Sehingga setiap orang yang ingin menjadi Kristen, mau tak harus menerima Kristen versi sekular. Apa yang dikatakan oleh Kierkegard mungkin dapat menggambarkan kenyataan ini: “walau bagaimana pun aku adalah seorang Kristen”. Tuntutan zaman dan perubahan sosial yang dramatis, sungguh telah membuat banyak orang menjadi bingung dan gelisah. Akhirnya muncullah pendapat yang nyeleneh namun diamini oleh banyak orang. “Lebih baik menduniakan Kristen ketimbang mengkristenkan dunia”.

Paus Johanes XXIII pernah berusaha membendung krisis revolusioner ini. Namun masalah lain muncul ketika mereka akhirnya menyadari, bahwa teologi mereka pun dibangun dari asas yang memang harus mengikuti zaman.

Eksistensi dan Esensi
Diantara masalah yang melanda teologi Kristen-Barat adalah masalah “konsep Tuhan”. Sebagai contoh, adalah apa yang mereka lakukan ketika wabah Aristotelian merebak. Thomas Aquinas, seorang teolog (sekaligus filosof) mengangkat filsafat ini pada teologi Kristen, dalam sintesanya. Kemudian menetapkan wajibnya wujud Tuhan, sebagaimana teologi skolastik mereka. Sementara itu mereka mengingkari wajibnya wujud makhluq. Kemudian terjadi sintesa, makhluq-makluq adalah mungkin wujudnya (munkim al-wujud) dalam kenyataan, tetapi wajib wujudnya (wajib al-wujud) dalam pikiran. Disinilah pembedaan antara esensi dan eksistensi dibuat.

Dalam masalah ketuhanan, hal ini berdampak besar. Ketika ditetapkan bahwa esensi makhluq adalah wujudnya dalam pikiran, eksistensinya adalah kenyataan di luar pikiran. Lantas bagaimana dengan “Tuhan”? Esensi Tuhan diakui samadengan eksistensinya. Sebab esensinya wajib ada, bagaimanapun eksistensinya. Tapi wujud Tuhan tidak nampak kecuali dalam pikiran. Sehingga muncullah pendapat yang konon menyitir dari Ibn Sina, bahwa sesuatu bisa dimengerti esensinya tanpa mengetahui eksistensinya. Berarti kita bisa mengetahui hakikat Tuhan meskipun tidak mengetahui wujudnya (eksistensi). Kesimpulannya, eksistensi tadi lain (berbeda) daripada esensi atau hakikat.

Setelah melakukan pengamatan William Of Ockham mengambil kesimpulan yang berlebihan. Bahwa jika setiap esensi bisa dimengerti tanpa kita mengetahui eksistensinya, maka tidak ada pengetahuan kita yang dapat menerangkan apakah esensi itu benar-benar ada. Tak seorang pun yang dapat mengetahui apakah sesuatu itu benar-benar ada. Maka, Tuhan pun layak diragukan kembali. Pada akhirnya keragu-raguan semacam ini tidak hanya menyangkal salahsatu dari esensi atau eksistensi, namun keduanya.

Mengikuti logika di atas, Descartes telah membuktikan bukan hanya dalam pembahasan teologis. Dalam cogito-nya dia telah berhasil meragukan eksistensi dirinya sendiri. Demikian, dalam awal perkembangannya (sebelum abad ke-18) Barat telah sampai pada rasionalisme yang begitu problematik, hingga satu-satunya cara untuk menyelamatkan iman adalah dengan menempatkannya pada ranah irrasional. Iman tak dapat dibuktikan secara rasional.

Problem Konsep Tuhan
Sekilas kita telah mengetahui gambaran manusia Barat dan dunianya. Kesimpangsiuran penetapan kedudukan (mawqif) dunia-manusia dan selain itu (dunia Tuhan?) telah membuat banyak kerancuan dan ketidakjelasan konsep ‘kebudayaan’. Yang menarik dari perbincangan di atas adalah bagaimana Barat mengadopsi konsep Tuhan dari banyak elemen ‘kebudayaan’ asing. Padahal, manusia yang tidak atheis, akan hidup dengan iman kepada Tuhan. Karena Tuhanlah yang menciptakan alam semesta dan membimbing kehidupan-dunia manusia. Sementara dunia-manusia masyarakat Barat telah berhasil menjauhkan diri dari (nilai-nilai) iman kepada Tuhan.

Logis? Tentu saja. Itu karena Barat sejak awal sejarahnya telah meramu sebuah campuran konsep ketuhanan yang mustahil larut. Mereka menggabungkan konsep theos dari filsafat Yunani, yahweh dari Yahudi, deus dari metafisika Barat, dan sejumlah (konsep) tuhan-tuhan tradisional lain dari tradisi Jerman pra-Kristen. Tidak hanya masalah konsep, nama ‘Tuhan’ sendiri bisa membingungkan jika seperti ini. Lagi pula Barat memahami Kristen dalam sifat yang historis.

***

Dunia-manusia bagi orang yang percaya akan penciptaan dan beriman kepada Sang Pencipta (Al-Kholiq) adalah sesuatu yang tidak terjadi begitu saja. Tuhan tidak sedang bermain dadu! Oleh karena itu, Tuhan mengutus para nabi dan rosul, men-tanzilkan wahyu dan menetapkan aturan-aturan hidup (nidzom al-hayah). Itu semua adalah kehendak yang diinginkan atas penciptaan. Meski kehidupan itu ‘permainan’ yang melenakan, tapi penciptaan adalah suatu perkara yang besar. Manusia tidak akan dapat mengetahui maksud penciptaan dirinya. Dia juga tidak memiliki pengetahuan grand desain yang terbaik bagi ‘kebudayaannya’. Wahyu dan kenabian adalah satu-satunya jalan untuk mengetahui hal tersebut.

“Tidaklah Aku ciptakan manusia dan jin kecuali untuk melakukan peribadatan kepada Ku”

# diapresiasi dari tulisan Prof. Naquib Al-Attas dalam buku ISLAM AND SECULARISM Bab 1.
Axact

Empiris

Episentrum Pengkajian Islam dan Riset Sosial mengorientasikan diri untuk menjadi katalisator terwujudnya Mulkiyah Allah di muka bumi, dan bersama-sama menggalang kekuatan kolektif dari potensi-potensi yang telah sejak lama berada dipangkuan Ummat Islam... Billahi Hayaatuna Wallahu Fii Hayatil Mustadz'afin... Hidup Kita Bersama Allah, dan Allah Berada Dalam Kehidupan Kaum Tertindas... Inna fatahna laka fathan mubina...

Post A Comment:

0 comments:

Bro, ekspresikan ruhul jihad mu !!!