
H. Mispansyah, SH, MH (Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat) Disampaikan dalam DISKUSI PUBLIK Terorisme “Berkah” bagi RUU Intelijen: Suburkan Sikap Paranoid terhadap Khilafah dan Syariah, Ahad 8 Mei 2011, Aula Palimasan Banjarmasin Post Lt 5 Banjarmasin.
Pendahuluan
Ada hal yang menarik dalam setiap peristiwa kasus “terorisme” di Indonesia, para pengamat terorisme yang bermunculan langsung membuat kesimpulan itu dilakukan oleh kelompok lama, atau jaringannya. Namun dalam kasus Bom Muhammad Syarief dan bom paket buku semuanya meleset, hasil penyidikan kepolisian, kasus itu dilakukan oleh kelompok baru yang disutradarai oleh Pepi Fernando dan tidak ada kaitan dengan kelompok teroris lama. Sepengetahuan saya sebagai akademisi hukum, ada hal yang janggal dalam opini yang dibangun para pengamat terorisme dan intelijen di media, yang mengopinikan suatu kejadian berdasarkan asumsi bukan fakta hukum, karena dalam hukum pidana kalau ada tindak pidana sudah menjadi prosedur hukum bahwa kepolisian akan melakukan penyelidikan dan penyidikan sehingga belum terungkap apa motif dan factor penyebab pelaku melakukan kejahatan, serta ada jaringannya atau tidak.
Hal itu baru terjawab oleh penyidik (polisi) ketika sudah terkumpul bukti-bukti dan fakta-fakta hukum ditempat kejadian, dan kewenangan ini hanya dimiliki atau menjadi otoritas kepolisian bukan pihak lain, meskipun fakta hukum yang disusun oleh pihak kepolisian ada kemungkinan berdasarkan fakta di lapangan, kemungkinan ada “rekayasa” pihak tertentu, namun disinilah pertarungan argumentasi antara aparat penegak hukum dengan Tim Pembela (pengacara), baik fakta hukum yang disusun aparat dengan fakta hukum yang disusun oleh pengacara, fakta tersebut akan diperdebatkan di muka persidangan.
Namun hal yang aneh terjadi dikalangan pengamat terorisme dan intelijen, yang langsung mengaitkan baik bom buku, bom bunuh diri kepada kelompok Islam, dan terakhir kasus “cuci otak” oleh NII KW 9, bahkan mereka memperlebar kesimpulan mengenai cirri-ciri pelaku, mulai mereka yang sholat tetap waktu, kemana-mana membawa Kita Al-Qur’an, bicara wajibnya penerapan syariat Islam oleh Negara atau mereka yang hendak mendirikan Daulah Islamiyah (Negara Islam), meskipun dengan cara non kekerasan, atau hanya pada taraf pemikiran mereka juga disimpulkan masuk kelompok ini, sehingga terjadi “monsterisasi” Islam dan Negara Islam, orang takut bicara system Negara Islam meskipun itu hanya ditaraf pemikiran termasuk di dunia kampus.
Bergulirnya RUU Intelijen yang diajukan oleh DPR RI dan sudah memasuki Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan akan segera diundangkan. Tidak dapat dipungkiri kuatnya desakan agar RUU Intelijen segera diundangkan, setelah terjadi berbagai bentrokan antar kelompok sejak pertengahan tahun lalu, lalu beberapa kejadian kekerasan yang dituduhkan berlatar belakang agama, menyusul teror “bom paket” mencuatnya isu kudeta dan bom bunuh diri Muhammad Syarief. Terakhir maraknya pemberitaan media massa mengenai aksi “pencucian otak” dan penipuan yang dilakukan oleh kelompok Negara Islam Indonesia (NII KW 9) yang melakukan perekrutan dikalangan mahasiswa dan anak sekolah. Dalam setiap kejadian itu, diantara yang pertama mencuat adalah opini bahwa semua itu karena kelemahan intelijen dan karenanya intelijen harus diperkuat. Semua itu yang tidak bisa dilepaskan dari kesan adanya rekayasa- seolah menjadi “berkah” untuk mendesakkan pembahasan RUU Intelijen dan mempercepat pembahasan dan pengesahannya
Hal yang menarik dalam RUU Intelijen ini, secara substansi isinya tidak jauh berbeda dengan RUU yang pernah diajukan oleh Badan Intelijen Negara (tahun 2002 dan 2006), bedanya draf ini lebih lengkap karena disertai dengan kajian akademik termasuk Daftar Imventaris Masalah (DIM) dari pihak pemerintah. Berbagai kalangan baik Ormas Islam ( 25 ormas Islam), Pegiat aktivis HAM dan demokrasi tergabung dalam koalisi (Imparsial, Kontras, IDSPS, Elsam, the Ridep Institute, Lesperssi, Setara Institute, LBH Masyarakat, ICW, YLBHI, LBH Jakarta, MAPI dll), menolak RUU Intelijen, disinyalir memiliki sejumlah kelemahan yang substansial.
Kelemahan tersebut adalah; Pertama, RUU Intelijen ini berisi Pasal-pasal karet yang menimbulkan multi tafsir dan, kedua, RUU Intelijen ini baik draf maupun pembuatannya bertentangan dan tidak sinkron dengan Undang-Undang lainnya yang sudah ada, yakni bertentangan dengan KUHAP, UU KIP, UU Terorisme, UU HAM, UU No. 10 Tahun 2004, dan Konstitusi itu sendiri dalam arti RUU Intelijen ini telah mengangkangi asas hukum.(Imparsial,11/04/2011). Kontras menyebut jika DPR menyetujui RUU Intelijen Negara, maka sama artinya DPR menyetujui pembentukan angkatan keempat, setelah Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat (AD), Angkatan Udara (AU) dan Angkatan Laut (AL). Pasalnya, draf RUU tersebut, di tingkat konsep maupun operasional, mengindikasikan adanya upaya membuat institusi baru yang mempunyai kekuatan sama dengan kekuatan ketiga angkatan lainnya.
Rumusan Pasal Karet dan Multitafsir
Draft RUU Intelijen yang terdiri dari 46 pasal terbagi dalam sepuluh bab, Naskah Akademik (NA) yang disiapkan DPR (2010), ditambah DIM (Daftar Inventaris Masalah) yang diajukan Pemerintah atas RUU Intelijen Negara, ada beberapa catatan kritis penting yang perlu menjadi perhatian semua elemen masyarakat. Adapun Pasal-pasal karet dalam RUU Intelijen itu menimbulkan multitafsir seperti UU Subversif pada masa Orde Baru yaitu:
Pertama, keberadaan organisasi Intelijen ini harusnya tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Namun pada ketentuan Pasal 1 angka 2 Intelijen Negara adalah” lembaga pemerintah yang merupakan bagian integral dari sistem keamanan nasional yang memiliki wewenang untuk menyelenggarakan fungsi dan kegiatan intelijen”. Draf ini menempatkan intelijen Negara sebagai lembaga pemerintah, bukan lembaga negara, sehingga sangat berpotensi menjadi alat penguasa untuk memata-matai rakyat dan musuh politiknya.
Kedua, Pasal 1 angka 4 “setiap upaya, pekerjaan, kegiatan baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai dapat membahayakan keamanan, kedaulatan, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan bangsa serta kepentingan nasional”. Definisi “ancaman nasional” dan “keamanan nasional”, definisinya tidak jelas, pengertiannya kabur dan multitafsir. Begitu juga “musuh dalam negeri”, siapa dan kriterianya apa, tidak jelas. Poin pertama ini sangat penting, karena rumusan yang tidak jelas, kabur, cenderung multitafsir dan tidak terukur menyangkut definisi dan hakikat dari “ancaman”, “keamanan nasional ” dan “musuh dalam negeri” itu sangat mungkin di salah gunakan demi kepentingan politik kekuasaan. Karena bersifat subyektif, maka penafsirannya akan tergantung “selera” pemegang kebijakan dan kendali terhadap operasional intelijen. Bisa jadi, sikap kritis dan kritik atas kebijakan pemerintah akan dibungkam dengan dalih menjadi “ancaman” atau mengancam “keamanan nasional” dan stabilitas.
Ketiga, kewenangan Lembaga Koordinasi Intelijen (LKIN/BIN) dalam bidang pro justicial (penegakan hukum) seperti kepolisian terdapat dalam Pasal 14, Pasal 15 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan Pasal 31 ayat (1). Kewenangan LKIN dalam Pasal 14 ayat (1) menyebutkan mengenai kewenangan melakukan intersepsi (penyadapan tanpa penetapan pengadilan) terhadap komunikasi dan atau dokumen elektronik, serta pemeriksaan aliran dana yang diduga kuat untuk membiayai terorisme, separatisme, dan ancaman, gangguan, hambatan, tantangan yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Intersepsi komunikasi diperlukan dalam menyelenggarakan fungsi penyelidikan, jadi bukan dalam tahap penyidikan tetapi orang sudah menjadi target atau dicurigai saja sudah diterapkan intersepsi ini. Kemudian Pasal 14 ayat (1) di Pasal 14 ayat (4) “perbankan dan Bank Indonesia, lembaga keuangan bukan bank, PPATK dan jasa pengiriman uang wajib memberikan informasi kepada LKIN”. Padahal lembaga itu hanya boleh membuka data hanya untuk kepentingan penyidikan (masih ingat PPATK dalam kasus korupsi di Bank Century yang hanya bisa dibuka atas perintah penyidik (kepolisian, Jaksa, KPK) namun karena lebih di”politisir” DPR kasus hukumnya jalan ditempat. Pemberian wewenang penyadapan tanpa izin pengadilan akan menjadi pintu penyalahgunaan kekuasaan, apalagi penyadapan itu didasarkan pada alasan yang definisi, kriteria dan tolok ukurnya kabur dan multitafsir. Kewenangan Intersepsi (penyadapan) ini coba kita lihat draf RUU Intelijen lainnya yang isinya sama dengan RUU Intelijen Pasal 14 yang dijelaskan di atas, yaitu ketentuan Pasal 31 yaitu:
1. Selain wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), lembaga koordinasi intelijen negara memiliki wewenang khusus melakukan intersepsi (penyadapan, pen.) komunikasi dan pemeriksaan aliran dana yang diduga kuat untuk membiayai terorisme, separatisme, dan ancaman, gangguan, hambatan, tantangan yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Intersepsi komunikasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diperlukan dalam menyelenggarakan fungsi intelijen.
3. Dalam memeriksa aliran dana sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), lembaga koordinasi intelijen negara dapat meminta bantuan kepada Bank Indonesia, PPATK, lembaga keuangan bukan bank, dan lembaga jasa pengiriman uang.
Wewenang khusus dalam ayat (1) di atas yaitu melakukan intersepsi komunikasi dilakukan tanpa melalui Penetapan Ketua Pengadilan. Dalam penjelasannya yang dimaksud dengan melakukan “intersepsi komunikasi” antara lain melakukan kegiatan penyadapan telepon dan faximile, membuka e-mail, pemeriksaan surat, pemeriksaan paket. Pasal tersebut berpotensi melahirkan tindakan yang akan mengurangi hak sipil warga hanya karena alasan atas nama dan demi keamanan negara. Mengapa? Minimal ada beberapa hal penting yang perlu dicatat, yaitu:
1. Kewenangan khusus ini bisa nyaris tanpa kontrol karena tidak perlu lagi adanya penetapan dari pengadilan. Aspek ini membuka peluang lebar-lebar penyalahgunaan kewenangan dan seluruh fasilitas dari institusi atau personel intelijen. Pasti berdasarkan ketentuan ini, intelijen akan menuntut otonomi penuh untuk mengatur sendiri penyadapannya. Hal ini akan mengangkangi hak asasi warga negara dan supremasi hukum.
2. Tafsiran terhadap obyek yang dianggap bagian dari terorisme, atau ancaman, gangguan dan hambatan yang dianggap mengancam NKRI sangat ambigu. Tafsir yang berkembang biasanya sangat subyektif, tergantung kepada pemangku kewenangan. Di sinilah mindset seseorang berdasarkan paradigma tertentu akan menjadi penentu. Ditambah lagi, secara global hingga kini belum ada konsensus tentang definisi terorisme yang disepakati.
3. Jika poin satu dan dua di atas tidak teruai, tidak ada jalan keluar yang elegan maka Pasal 31 ini akan menjadi sumber lahirnya monster yang bernama “state intelijen”. Setiap warga bisa berpotensi menjadi obyek penyadapan jika dianggap membahayakan NKRI dengan segala tafsiran dan argumentasinya tentang “bahaya” dan “ancaman”.
4. Kewenangan penindakan atau penangkapan bagi intelijen melahirkan overlapping dengan kewenangan institusi penegak hukum yang semestinya. Jika hal ini dipaksakan maka akan melahirkan tirani dan kedzaliman baru.
5. Tidak ada bentuk dan mekanisme kontrol yang jelas terhadap kerja intelijen. Siapa yang bisa berhak mengontrol mereka? Institusi tanpa kontrol akan melahirkan kesewenang-wenangan terhadap rakyat. Sudah cukup banyak contoh lembaga di negara ini, meski sudah dikontrol pun masih menyalahgunakan kewenangan, apalagi tidak ada kontrol. Dengan demikian BIN menjadi lembaga baru dalam penegakan hukum yang mengangkangi KUHAP sebagai pedoman hukum beracara di Indonesia.
Keempat, selain menyadap, LKIN juga memiliki kewenangan Pengamanan (DIM Pemerintah No.22) yang dimaksud pengamanan yaitu pengamanan Internal (fungsi organik) dan pengamanan dalam arti kontra intelijen. Dalam pengamanan ini tentunya Intelijen untuk melakukan penangkapan dan pemeriksaan intensip (interogasi) Pemberian kewenangan pengamanan kepada intelijen akan mengancam hak asasi manusia dan merusak mekanisme criminal justice system (Sistem Peradilan Pidana), yaitu badan/lembaga penegak hukum yaitu badan penyidik (kepolisian), Badan Lembaga Penuntut (Kejaksaan), Badan Lembaga Pengadilan (Kehakiman) dan badan Pelaksana (Lembaga Pemasyarakatan1. Kata “pengamanan” justru rentan untuk disalahgunakan dan disalahartikan sebagai “penangkapan”. Pemberian kewenangan “pengamanan” sama saja dengan melegalisasi penculikan dalam undang-undang intelijen, mengingat kerja intelijen yang tertutup dan rahasia, apalagi tidak diatur mekanisme penangkapan, jangka waktu penahanan, serta bagaimana kalau terjadi salah tangkap, ini berpotensi terjadi pelanggaran HAM berat.
Kelima, RUU intelijen ini tidak mengatur mengenai bagaimana mekanisme control dan pengawasan tegas, kuat dan permanen dalam ruang lingkup fungsi dan kerja intelijen, termasuk penggunaan anggaran (lihat Pasal 35-36 RUU Intelijen). Akibatnya, intelijen akan menjadi lembaga “super body” yang tidak bisa dikontrol dan bisa dijadikan alat kepentingan politik status qou.
Keenam, Pada sisi rakyat, RUU ini tidak mengatur mekanisme pengaduan dan gugatan individu yang merasa dilanggar haknya oleh kerja BIN, sehingga rakyat berpotensi jadi korban tanpa ruang untuk mendapat keadilan. Bagi kalangan jurnalis investigative, RUU ini berpotensi untuk membungkam suara-suara kritis. Dengan delik kelalaian di pasal 39, dapat menjadi ancaman bagi sikap kritis dan keterbukaan. Kalau demikian, sebenarnya paradigm Orde Baru masih lestari di negeri ini.
Pelanggaran terhadap Konstitusi dan Peraturan Perundang-Undangan
Selain adanya pasal-pasal karet yang menimbulkan multitafsir, RUU Intelijen ini telah melanggar konstitusi, asas hukum pembuatan peraturan perundang-undangan baik secara vertical maupun horizontal sehingga menimbulkan konflik norma hukum antara peraturan perundang-undangan yang ada. Adapun konflik norma hukum yang dilakukan oleh RUU Intelijen yaitu:
Pertama, RUU Intelijen ini melanggar konstitusi UUD 1945 Konsideran mengingat tidak mencantumkan pasal 28I UUD 1945. Pasal 28I UUD 1945 khususnya ayat (1) yang menyatakan rumpun hak asasi manusia tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable) yaitu: hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Pencantuman Pasal 28I UUD 1945 ini juga selaras dengan Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR.
Kedua, Pemberian kewenangan pengamanan (DIM Pemerintah No. 22) bertentangan dengan asas Hukum Pidana yaitu Presumtion of Innocent (Asas Praduga Tidak bersalah)2 yaitu orang tidak boleh dinyatakan bersalah sebelum ada putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. yaitu pada tahap penyelidikan bukan penyidikan dengan dasar asumsi bukan minimal 2 (dua) alat bukti yang cukup3, makasudah bisa melakukan penangkapan, pemberian kewenangan ini berpotensi akan bertentangan dengan Pasal 18 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan tumpang tindih dengan tugas kepolisian, dimana dinyatakan bahwa pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian. Penting untuk diingat bahwa badan intelijen negara adalah bagian dari lembaga intelijen non-judicial yang tidak termasuk menjadi bagian dari aparat penegak hukum, seperti polisi dan jaksa sehingga adalah salah dan tidak dibenarkan pemberian kewenangan menangkap itu. Dalam negara hukum, kewenangan menangkap maupun menahan hanya bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Ketiga, Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, yang berwenang melakukan penyadapan seharusnya adalah aparat penyidik setelah mendapatkan izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat (vide pasal 31 UU No. 15 Tahun 2003). Adanya pemberian kewenangan kepada aparat intelejen untuk melakukan penyadapan dan diberikannya kewenangan menyadap tanpa melalui izin pengadilan (lihat pasal 31 RUU Intelijen dan penjelasannya), maka selain melanggar UU No. 15 Tahun 2003, hal ini tidak hanya berpotensi mengancam hak-hak asasi warganegara tetapi juga rentan untuk disalahgunakan (abuse of power) demi kepentingan ekonomi maupun politik kekuasaan.
Berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PPU-1/2003; No. 012-016-019/PUU-IV/2006; No. 5/PUU-VIII/2010, MK berpendapat perlu ditetapkan perangkat peraturan tersendiri tentang penyadapan setingkat undang-undang untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan kewenangan untuk penyadapan dan perekaman. Dengan demikian pembahasan RUU Intelijen sudah sepantasnya berbarengan dengan pembahasan RUU tentang Penyadapan.
Keempat, RUU Intelijen juga tidak sinkron dengan UU Kebebasan Informasi Publik (UU KIP), yakni klasifikasi dan ruang lingkup rahasia intelijen berbeda dengan klasifikasi dan ruang lingkup rahasia intelijen yang diatur dalam Pasal 17 UU KIP. Dalam hal rahasia informasi dalam RUU Intelijen tidak disebutkan mengenai mekanisme keberatan publik dalam hal permintaan informasi yang ditolak oleh lembaga intelijen karena alasan rahasia. Dalam UU KIP diatur mengenai mekanisme keberatan yang salah satunya ditujukan ke Komisi Informasi. Jadi RUU Intelijen ini menjadi multitafsir mengenai masalah rahasia negara.
Kelima, RUU Intelijen tidak mengatur mengenai hak-hak korban, khususnya terkait dengan komplain korban apabila terdapat tindakan intelijen yang menyimpang dan menimbulkan persoalan serius terhadap hak-hak masyarakat. Apalagi bila penyimpangan tindakan intelijen tersebut masuk dalam kategori tindak pidana. Berarti RUU Intelijen telah menabrak Pasal 5 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tentang hak-hak korban.
Keenam, Dalam proses penyiapan dan pembahasan, RUU Intelijen kurang melibatkan partisipasi masyarakat secara maksimal, dimana dalam prosesnya ditemukan beberapa masalah krusial. Proses yang hingga saat ini dilakukan pemerintah dan parlemen tidak sesuai dan bertentangan dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya Bab IX Pasal 53 tentang Partisipasi Masyarakat.
Memang, tidak ada negara tanpa intelijen. Tapi yang perlu diingat, fungsi intelijen bukan untuk memusuhi warga negaranya. Intelijen juga bukan menjadi alat untuk kepentingan politik tertentu, apalagi intelijen digunakan untuk memberangus setiap pihak (individu atau kelompok) yang dianggap mengancam status quo. Masa rezim Orde Baru cukup menjadi pengalaman pahit bagi umat Islam. Umat Islam ‘dikuyo-kuyo’. Bahkan darah mereka tertumpah menjadi tumbal bagi kepentingan status quo, dengan delik bahwa umat Islam menjadi ancaman stabilitas keamanan dan politik, padahal hanya karena berbeda pandangan terhadap mainstream yang ada.
Inilah yang perlu diwaspadai. Lahirnya UU Intelijen Negara tidak boleh menjadi alat menggencet dan mengeliminasi Islam dan kaum Muslimin melalui bendera “War on terrorism”. Fakta menunjukkan, sebagian pihak tak lagi obyektif memandang persoalan terorisme di Indonesia. Ada proses generalisasi terorisme terhadap seluruh umat Islam, tidak dilihat kasus per kasus. Ini yang sangat berbahaya bagi kehidupan umat Islam ke depan.
Dengan demikian RUU Intelijen banyak bertentangan dengan peraturan perundangan lain, terutama masih adanya pasal-pasal yang mengancam hak asasi manusia, mengancam kebebasan informasi dan pers, maka adalah tepat dan bijak apabila pemerintah dan parlemen untuk tidak mengesahkan RUU Intelijen ini pada Juli 2011 sebagaimana dijadwalkan parlemen. [JURNAL EKONOMI IDEOLOGIS]
Daftar Pustaka
Hanin Mazaya, RUU Intelijen Bentuk Tirani Baru. Arrahmah.com. Rabu, 22 Desember 2010.
Haris Abu Ulya. Ruu Intelijen 2010: Bentuk Tirani Baru?.Arrahmah.com
M.Yahya Harahap.2002. Pembahasan Permasalahan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Sinar Grafika.Jakarta
Satjipto Rahardjo. 1991. Ilmu Hukum. Citra Aditya. Jakarta.
Ujang Firmansyah. Komentar RUU Intelijen. Imparsial.11 April 2011
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana No.8 Tahun 1981
Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Terorisme
Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Undang-Undang No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
1 Barda Nawawi Arief. Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System). UNDIP. Semarang. slide.13
2 Satjipto Rahardjo. 1991. Ilmu Hukum. Citra Aditya. Jakarta.
3 M.Yahya Harahap.2002. Pembahasan Permasalahan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali..Sinar Grafika.Jakarta.hlm.283.
Post A Comment:
0 comments:
Bro, ekspresikan ruhul jihad mu !!!