Ukhuwah
Tidak dipungkiri bahwa setiap orang terikat dengan orang lain,
seperti yang selalu diungkapkan pada setiap kali pelajaran Sosiologi
dimulai: Manusia adalah makhluk sosial. Maka, pada setiap gerombolan manusia (dua orang atau lebih), selalu ada setidaknya satu hal yang menyatukan.
Kelompok belajar disatukan oleh keinginan untuk belajar lebih
daripada yang dipelajari di sekolah/kampus. Mereka yang tidak
berkeinginan belajar lebih lanjut, tentu saja, tidak akan bergabung
dengan kelompok ini. Orang-orang yang tergabung dalam kategori anak
gaul, pergi clubbing atau nangkring di kafe dan mall
dengan sesama mereka yang senang dengan aktivitas tersebut. Mereka yang
tidak senang dengan aktivitas tersebut juga tidak akan mengikuti
kelompok ini.
‘Satu hal’ ini dapat beragam, tidak hanya berupa ketertarikan utama.
Misalnya saja dari kedua kelompok di contoh sebelumnya, seseorang di
kelompok belajar dapat juga dekat dengan si anak gaul karena
beraktivitas di satu divisi organisasi yang sama dan memiliki bahasan
yang sama dalam hal tersebut. Di antara kelompok-kelompok besar, ada
sangat banyak faktor yang mendukung kedekatan-kedekatan dalam skala yang
lebih kecil, bahkan skala individu.
Pun, gerombolan para perempuan berkerudung lebar dan laki-laki berjenggot dan celana cungkring. Satu hal yang
menyatukan orang-orang ini adalah ketertarikan mereka terhadap segala
sesuatu mengenai keyakinannya, terhadap Tuhannya. Terlepas dari
landasan awal setiap individunya dalam ‘memilih busana’, pada akhirnya
bukan karena pakaiannya-lah gerombolan ini terbentuk. Pemilihan pakaian
ini adalah output dari keyakinan dan pemahamannya, yang tentu
saja berawal dari ketertarikannya—ketertarikan untuk menjadi manusia
yang baik, ketertarikan untuk taat pada Tuhannya.
Dari kelompok besar ini pun ada banyak ketertarikan sekunder dan
tersier yang memisahkannya menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil,
seperti perkara ideologi, fikih, metode pergerakan, dan sebagainya.
Dengan demikian, jelaslah terlihat bahwa eksklusivitas bukanlah
permasalahan pakaian, bukan juga milik para aktivis dakwah saja. Setiap
ketertarikan dan cita-cita memiliki kelompok eksklusifnya masing-masing.
Hal ini dinamakan ukhuwah.
Eksklusivitas: Antara Naluri dan Degradasi
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasingkan itu.” (HR. Muslim no. 208)
بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasingkan itu.” (HR. Muslim no. 208)
Ketahuilah satu hal. Jilbab adalah bentuk ketaatan. Dengan begitu
banyaknya yang berjilbab tapi telanjang, berjilbab rapi adalah suatu
prestasi ketaatan, satu dari sekian banyak yang mesti dikerjakan.
Menutupi dada, longgar, tidak transparan, dan tidak membentuk. Betapa
risihnya jika (maaf) dada menonjol dan dipandangi banyak orang, paha dan
bagian tubuh belakang menjiplak dan dipandangi banyak orang, sementara
rambut tertutup kain. Bisa jadi semua hal itu adalah hal yang berat,
terlihat dari berapa banyak muslimah yang berani mengambil risiko tampak
aneh.
Jilbab lebar kemudian menjadi identitas, bahwa “Saya ingin taat.”
Kerinduan berada di lingkungan dan negeri yang taat pada Alloh inilah
yang menjadi pemicu senyum dan sapaan hangat dari para pelakunya, meski
tidak saling kenal. Karena ini pula, fenomena eksklusivitas terjadi.
Kesenangan bergerombol dan beraktivitas dalam kelompok masing-masing
ini wajar saja jika tidak mengabaikan peran sosial lainnya. Namun, tidak
sedikit kelompok yang terbentuk akhirnya menjadi zona aman dan nyaman
bagi individu-individunya. Bicara iman hanya dalam lingkarannya,
menghindari bicara iman dan Islam pada kelompok yang berbeda. Jumlah
dalam kelompok semakin lama semakin sedikit, kemudian dalil keterasingan
yang diungkapkan di awal tadi menjadi pembenaran bagi
ketakutan-ketakutannya. “Wajar kami hanya sedikit, sebab sunnatullahnya begitu.”
Apa yang ditakutkan ketika membicarakan iman pada orang-orang di
sekitar? Banyak aktivis dakwah saat ini tidak merasakan rasanya ditolak
mentah-mentah, dijauhi, dan dikucilkan; menghindari berbicara Islam pada
orang-orang yang anti-Islam karena takut tidak bisa menjawab disebabkan
ilmunya yang masih segitu-segitu saja; tidak berkeinginan mencari tahu
lebih jauh dan merasa cukup dan merasa benar dengan apa yang
dimilikinya.
Begitulah, yang dinamakan aktivis dakwah hari ini hanya sebatas halaqoh dan dauroh, orasi dan retorika, serta tombol share di media sosial.
Kerja Dakwah
Ya, salah satu pekerjaan bagi mereka yang ingin berada tetap dalam ketaatan adalah dakwah,sebagai
wujud keinginan dan cita-cita untuk meraih syurga, menggapai gelar
Syahid(ah), dan menegakkan Kalimat Tauhid yang mereka yakini. Cara apa
pun mereka tempuh. Ceramah, menulis, berdiskusi, bermusik, membuat
film-film bernuansa syiar, bahkan dengan sebanyak-banyaknya share postingan-postingan tentang Islam di media sosial.
Eksklusivitas yang menjadi zona aman adalah salah satu halangan
besar, di tengah doktrinasi toleransi keyakinan (bahwa setiap orang
berhak menentukan sendiri kadar keimanannya), individualisme (“Loe ya loe, gue ya gue,”),
hak asasi, wacana multikulturalisme, bahkan ideologi. Tegaknya Islam
menjadi momok yang menakutkan bagi bangsa ini, sedangkan meninggikan
kalimat Tauhid adalah kewajiban bagi setiap orang yang mengklaim dirinya
sebagai muslim.
Nah, bagaimana bisa meninggikan kalimat Tauhid jika para pemeluknya hidup dalam kelompoknya sendiri?
“If Rasulallah (salAllahu ‘alayhi wa sallam) didn’t engage with
the non-Muslims of Makkah, you and I would not be Muslim today. I came
to know about Islam because my father is a Muslim, and his father was a
Muslim, and his father was a Muslim, and his father was a Muslim, and
his father was a Buddhist who converted to Islam. Someone gave my
great-great-great-grandfather dawah in the form of love, compassion,
respect and courtesy and didn’t label him as a kafir or a waste of
time.” (Nourman Ali Khan, pendiri Bayyinah Institute)
Kerja dakwah adalah mengajak mereka yang belum mengerti menjadi
mengerti, mengajak mereka yang belum bergerak untuk bergerak, mengajak
mereka yang belum bercita-cita menjadi bercita-cita Islam. Utamanya,
mengajak mereka yang ingkar menjadi beriman.
Lalu, bagaimana kapasitas muslim dan muslimah saat ini untuk
menjalani ini semua, jika ditolak saja takut, depresi dijauhi dan
dikucilkan, enggan berbicara Islam pada orang-orang yang anti-Islam,
takut tampak bodoh, dan merasa benar dengan apa yang ada?
Berbaur, tapi tidak lebur. Bukan berarti mengekang hidayah hanya
untuk diri kita sendiri. Sebab, jika kita melihat lebih luas dan membuka
pikiran, setiap orang berkeinginan untuk secara utuh beriman pada
Tuhannya. Buka diri dan raih mereka, (dengan demikian) mengukuhkan diri
kita. Kita bisa bicara iman dengan siapa saja.
Bandung, 29 April 2015, 18.44
Introspeksi diri. Otokritik.
By: Hana Muwahhida
By: Hana Muwahhida
Post A Comment:
0 comments:
Bro, ekspresikan ruhul jihad mu !!!