Dari sesuatu yang diam tidak bergerak berubah menuju sesuatu yang bebas
tidak terikat satu aturan, kecuali kepada transferensi yang
diterjemahkan menjadi validitas historis para pendahulu. Kira-kira
obrolan lepas inilah yang tadi terkemuka bersama beberapa rekan disela
sisa letih di Sabtu sore, di perbatasan Selatan Jakarta dengan Kota
Tangerang Selatan. Tak lagi statis, tapi anarkis. Ketika pergerakan yang
diharapkan ideal dengan mengacu pada realistas
obyektif, sedari tahun paska runtuhnya rezim fascis Soeharto, gerakan
menggalang NKA NII yang dirasakan oleh para kader-kader lapis kedua
mengalami demoralisasi yang simetris dengan semakin “cairnya” soliditas
issue di tengah UIBI yang tak lagi terorganisir secara apik.
Masing-masing pihak seakan memiliki lingkaran yang tak tertaut pada lingkaran lainnya. Relevansi nilai pada substansi pokok agenda kejuangan yang mengadaptasi 7 agenda strategis Majelis Islam seakan hanyalah menjadi prasasti belaka. Apalagi jika agenda kejuangan dihadapkan dengan parameter pengelolaan kepengurusan ummat yang termanifestasikan dalam Pedoman Darma Bakti, sungguh jauh panggang dari api.
Ruang-ruang pada lingkaran lebih terkesan terisi oleh spekulasi-hipotetik, hanya menjadi romansa sejarah yang melahirkan “tuan-tuan” dengan “klaim kepemilikan sejarah”. Das Sollen yang didemontrasikan oleh para pendahulu dengan duka dan nestapa, seakan hanya menjadi “pesan sponsor” untuk mengisi prime time pada “ritual” tahunan, seperti 12 Syawal atau 7 Agustus.
Semangat revolusioner, pembebasan, dan kemerdekaan sejati yang lahir dari rahim Proklamasi 7 Agustus 1949 sejatinya harus menggerakan “tradisi” kejuangan secara mutualistik. Karena tradisi adalah elemen kritis yang menemukan titik pijakan di setiap generasi, dan tradisi memiliki sifat dinamis interpretative dalam mentransformasikan agenda kejuangan secara objektif. Tak terus berputar dalam labirin romantisme.
Dari hal-hal yang terkemuka pada obrolan tersebut didapat “sesuatu” yang menggelitik, yakni, “rekonstruksi tradisi dengan melakukan interpretasi kritis dan kritik historis kekinian yang mencerminkan apresiasi progresif terhadap 7 agenda strategis Majelis Islam”. Hmmm (?!)
Wallahualam....
#kritik_oto_kritik nextREsist
Masing-masing pihak seakan memiliki lingkaran yang tak tertaut pada lingkaran lainnya. Relevansi nilai pada substansi pokok agenda kejuangan yang mengadaptasi 7 agenda strategis Majelis Islam seakan hanyalah menjadi prasasti belaka. Apalagi jika agenda kejuangan dihadapkan dengan parameter pengelolaan kepengurusan ummat yang termanifestasikan dalam Pedoman Darma Bakti, sungguh jauh panggang dari api.
Ruang-ruang pada lingkaran lebih terkesan terisi oleh spekulasi-hipotetik, hanya menjadi romansa sejarah yang melahirkan “tuan-tuan” dengan “klaim kepemilikan sejarah”. Das Sollen yang didemontrasikan oleh para pendahulu dengan duka dan nestapa, seakan hanya menjadi “pesan sponsor” untuk mengisi prime time pada “ritual” tahunan, seperti 12 Syawal atau 7 Agustus.
Semangat revolusioner, pembebasan, dan kemerdekaan sejati yang lahir dari rahim Proklamasi 7 Agustus 1949 sejatinya harus menggerakan “tradisi” kejuangan secara mutualistik. Karena tradisi adalah elemen kritis yang menemukan titik pijakan di setiap generasi, dan tradisi memiliki sifat dinamis interpretative dalam mentransformasikan agenda kejuangan secara objektif. Tak terus berputar dalam labirin romantisme.
Dari hal-hal yang terkemuka pada obrolan tersebut didapat “sesuatu” yang menggelitik, yakni, “rekonstruksi tradisi dengan melakukan interpretasi kritis dan kritik historis kekinian yang mencerminkan apresiasi progresif terhadap 7 agenda strategis Majelis Islam”. Hmmm (?!)
Wallahualam....
#kritik_oto_kritik nextREsist
Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu adalah Metamorfose dari Negara DI/TII
BalasHapusNegara tak bisa di sejajarkan dgn ormas dgn label khilafah.
BalasHapus