"Masa depan bangsa Indonesia (het volk van Indonesi) sepenuhnya tergantung pada susunan pemerintahan yang berdasarkan kedaulatan dalam arti yang sesungguhnya, karena hanya lembaga seperti itulah yang berkenan bagi rakyat. Untuk mencapainya setiap orang Indonesia harus berjuang sesuai dengan kemampuan dan bakatnya (vermogen en aanleg), dengan tenaga dan kekuatan sendiri (eigen kracth en eigen kunnen), tanpa bergantung pada bantuan asing. Setiap upaya memecah kekuatan bangsa Indonesia, dalam bentuk apapun jua, harus ditolak dengan tegas, karena hanya dengan pertalian kukuh antara putra-putri Indonesia itulah yang dapat mencapai tujuan-tujuan bersama."

Kalimat panjang ini merupakan asas, metode, dan tujuan perjuangan bangsa versi Bung Hatta yang disampaikannya pada Indonesische Vereeniging, 3 Maret 1923, yang kemudian diterbitkan dalam Hindia Poetra. Kedaulatan Rakyat, Kekuatan dan Kemampuan Sendiri, serta Persatuan, adalah tiga prinsip yang diyakininya akan sangat menentukan wajah masa depan bangsa Indonesia. Dan agaknya triumvirat prinsip itulah yang tidak pernah kita lihat sejak tiga dekade lalu, bahkan mungkin hingga empat tahun terakhir ini.

Menjelaskan dan mengilustrasikan wajah Indonesia berarti pula menjelaskan dua perspektif besar, yaitu; krisis yang kompleks sejak medio 1997 dan prognosis melinium ketiga yang kini masih menjulurkan guritanya. Dua perspektif besar itulah yang telah meluluh-lantakkan topeng (bisa juga wajah asli) Indonesia yang telah "dipoles" bertahun-tahun. Sejak itu, tidak satu pun citra - yang selama puluhan tahun ditonjolkan dan terlanjur diyakini - mampu bertahan. Tragisnya, kenyataan transformatif itu tidak cukup kuat menstimulasi perubahan yang signifikan. Dan masa-masa setelah itu membuat kita semua sulit memastikan apakah kita berhadapan dengan wajah asli atau topeng. Kita terjebak dalam kehidupan yang penuh dengan kontradiksi, inkonsistensi, serba paradoks dan ambivalensi. Dengan versi yang lain Parakitri T. Simbolon menyebut ambivalensi ini sebagai "keserba seolah-olahan", dan Indonesia adalah negeri serba "seolah-olah".

Indonesia membangun ekonomi dengan fundamental yang seolah-olah kuat; dengan politik yang seolah-olah stabil; dengan pemerintah yang seolah-olah bersih dan kompeten; dengan politikus yang seolah-olah negarawan; dengan tentara yang seolah-olah satria; dengan konglomerat-borjuis yang seolah-olah panglima industri; dengan kemewahan yang seolah-olah kaya-raya; dengan orang sekolahan yang seolah-olah cendikia; dengan ahli dan aparat hukum yang seolah-olah pendekar keadilan; dengan pengajar yang seolah-olah guru; dengan pelajar yang seolah-olah murid; dengan agamawan yang seolah-olah religius; dan dengan masyarakat pemarah yang seolah-olah ramah-taman. Segalanya tampak salah, ibarat berlian imitasi yang acap lebih kemilau dari pada berlian asli.

Ketika krisis tidak juga mendatangkan perubahan yang sepadan, kebanykan orang mengatakan karena para elit tidak memiliki sense of crisis. Kebangkitan Indonesia membutuhkan kerja keras; dan kerja keras sama sekali tidak identik dengan membuat banyak rapat kabinet zonder kesimpulan dan kerja. Disinilah salah satu persolannya. Sebagian besar entitas politik, sosial dan ekonomi kita telah banyak kehilangan kualitas kerja yang prestatif. Alih-alih - misalnya -- membuat interpretasi yang progesif dan cerdas atas prognosis milenium ketiga, sebagaimana yang disampaikan oleh Bill Gates dalam Time, 19 April 1999; bahwa jika masyakat dunia pada dekade 1980-an berhadapan dengan persoalan "quality", lalu di era 1990-an berhadapan dengan persoalan "re-engineering", maka di era 2000-an kita berhadapan dengan "velocity".

Sepertinya Bill Gates tidak salah kira. Indonesia paska krisis, bahkan setelah terjadi perubahan politik paska 1998, jangankan dapat menyiapkan diri menghadapi velocity, kala informasi, keputusan dan tindakan - yang menurutnya akan berlangsung "secepat pikiran bergerak" (at the speed of thought); dalam masalah mutu dan perombakan lembaga pun, tidak bisa banyak bicara. Dan untuk bisa memperpanjang nafas, Indonesia harus mampu dalam waktu singkat merapel dua permasalahan itu, yang mestinya sudah selesai dalam dua dekade lampau.

Tapi baiklah - tanpa berpretensi western centris - persoalan "mutu" dan "re-engineering" versi Bill Gates tentu dapat dimutasi dengan istilah lain yang lebih populer, misalnya kualitas tindakan, pembaharuan sistem (including individu dan kelompok), pembaruan kelembagaan, juga - terutama -- sumber daya manusia. Persoalan SDM, merupakan persolan klasik yang dihadapai Indonesia paska kolonialisme Barat dan Jepang - meski bagi sebagian kita, setelah itu, negara dan induk-semang kapitalisnya merupakan neo-imperialis atas masyarakat sipil. Terlepas apakah persolan SDM "seolah-olah" menjadi akar masalah atau wajah asli maslahnya, tapi bila berkaca pada bagaimana negara jiran melepaskan diri dari krisis, maka memperbaiki kualitas SDM menjadi salah satu pintu masuk yang terpenting. Karena mungkinkah mutu SDM kita bisa dikembangkan jika tidak terdapat perubahan struktur ekonomi, sosial dan politik yang sepadan ?

Kita tentu masih ingat bagaimana kebanggaan Orde Baru dengan mencantumkan istilah SDM sebagai "modal dasar dan faktor dominan" dalam terma pembangunannya, tiba-tiba tergerus ketika UNDP dalam Human Development Report-nya menempatkan Indonesia pada peringkat 98 dari 127 negara sedang berkembang, hampir setara dengan Vietnam yang berada di peringkat 99. Ditingkat ASEAN lebih parah lagi, Indonesia dilampaui oleh Filipina peringkat 84, Thailand 66, Malaysia 52, Brunei Darussalam 42 dan Singapura 37. Lalu Presiden Soeharto memerintahkan LIPI melakukan penelitian tandingan. Ironisnya hingga tumbang Orde Baru hasilnya tidak pernah diketahui.

Jika Orde Baru meningkatkan mutu dengan retorika, rezim Orde Lama justru rutin merombak lembaga-lembaga. Salah satu program "revolusi belum selesai" presiden Soekarno adalah "retooling aparatur negara". Namun dalam perkembangannya perombakan ini sulit dibedakan antara untuk meningkatkan mutu SDM, ataukah untuk memobilisasi kekuatan revolusioner. Bahwa kemudian keyakinan presiden Soekarno akan revolusi terus-menerus berbanding terbalik dengan peningkatan mutu SDM, bukan berarti ia tidak pernah mengakuinya. Dalam dua pidatonya pada perayaan kemerdekaan di tahun 1963 dalam Genta Suara Republik Indonesia, dan 1964 dalam Tahun "Vivere Pericoloso", ia mengingatkan: "....... Dan sejarah akan menulis: di sana, antara Benua Asia dan Benua Australia, antara Lautan Teduh dan Lautan Indonesia, adalah hidup suatu bangsa, yang mula-mula mencoba untuk hidup kembali sebagai suatu bangsa, akhirnya kembali menjadi satu kuli diantara bangsa-bangsa, -- kembali menjadi een natie van koelies, en een koelie onder de naties."

Bermutasi Menjadi Manusia Efektif

Hal yang terpenting selain mengeluh adalah menghimpun daya untuk keluar dari krisis. Dan untuk meraih kenikmatan sejati dimasa dating, kita harus keluar dari kenikmatan (semu) yang saat ini kita nikmati. Karena bila kita berlama-lama dengan kenikmatan (semu) dalam transisi, yang akan dating adalah rasa kenyaman. Dalam kenyaman yang tercipta itu, setiap orang akan kehilangan rasa solidaritas dan kepekaan krisis, dan tidak akan pernah mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Jadi sangat wajar jika saat ini terdapat segelintir orang “kaya-raya”, tanpa pernah peduli pada moyoritas yang miskin, dan juga tidak kunjung mengerti mengapa mereka terjebak dalam kehidupan miskin. Jangan-jangan hal ini pulalah yang menyebabkan kebanyakan orang-orang yang duduk di kursi kekuasaan tidak juga mengerti mengapa harus berhenti korupsi, walaupun negeri ini sudah benar-benar jongkok dan rapuh.

Itulah bahayanya, jika setiap kita telah dihinggapi rasa nikmat dan kemudahan, justru dalam krisis. “Kemudahan merugikan peradaban”, begitu kata sejarawan dan filosof Arnold J. Toynbee. Semua peradaban yang besar, berkembang di dalam alam kehidupan yang sukar, demikian argumennya. Energi manusia, kreatifitas, dan kemampuan untuk menemukan stuktur sosial dan politik akan menjadi lemah, jika tidak terdapat halangan untuk diatasi, jika tidak ada kesulitan alam yang harus ditaklukkan. Sebaliknya manusia justru menjadi kuat dan perkasa ketika dihadapkan pada rintangan-rintangan. Konsekuensinya, -- tulis Toynbee – rangsangan kepada peradaban tumbuh sebanding dengan permusuhan lingkungan seseorang.

Pandangan ini sebenarnya telah membenarkan ide-ide tradisional tentang masyarakat sibaritik (sybaritic societies) dan the downward slope of ease, bahwa semakin mudah kondisi yang dihadapi semakin rendah peradaban. Terdapat kebenaran di dalamnya. Peradaban-peradaban besar dan system-sistem politik yang sangat tinggi, tingkat pengorganisasiannya berkembang di bawah kondisi-kondisi yang tidak bersahabat. Imperium Amerika di Andes adalah contoh-contoh yang tepat dari fenomena ini. Sama dengan kontrasnya Boeotia, yang kaya secara material tapi hampir tidak berbudaya, versus imperium Yunani, yang relatif kering datarannya, tapi menjadi salah satu laboratorium yang mengagumkan bagi berbagai bentuk peradaban.

Kata akhirnya adalah, kita semua hari ini harus bermutasi menjadi manusia-manusia yang efektif (a effective human) dan membebaskan diri dari tekanan, tidak dengan terus bergantung pada kekuatan-kekuatan eksternal, melainkan dengan kemampuan dan bakat (vermogen en aanleg), dengan tenaga dan kekuatan sendiri (eigen kracth en eigen kunnen), kita masih kuasa melakukannya. Semoga.


#natayuda, coretan lawas, 2000 M silam

Axact

Empiris

Episentrum Pengkajian Islam dan Riset Sosial mengorientasikan diri untuk menjadi katalisator terwujudnya Mulkiyah Allah di muka bumi, dan bersama-sama menggalang kekuatan kolektif dari potensi-potensi yang telah sejak lama berada dipangkuan Ummat Islam... Billahi Hayaatuna Wallahu Fii Hayatil Mustadz'afin... Hidup Kita Bersama Allah, dan Allah Berada Dalam Kehidupan Kaum Tertindas... Inna fatahna laka fathan mubina...

Post A Comment:

0 comments:

Bro, ekspresikan ruhul jihad mu !!!