Ada beberapa perdebatan (debatable) di internal umat Islam tentang maksud yang tertuang di dalam teks proklamasi NII, yaitu pada kalimat “Bangsa Indonesia”, sebagian berpendapat bahwa kalimat tersebut bersifat rasialis atau fanatik hanya terhadap bangsa Indonesia saja, tidak bersifat universal meliputi bangsa-bangsa lain sebagaimana yang ada dalam konsep ajaran Islam itu sendiri, dalam hal ini sering disinggung dengan memakai istilah ‘ashabiyah.
Dalam tafsir ini kita mencoba untuk menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan permasalahan tersebut, agar kiranya kita sebagai masyarakat Islam tidak keliru dan dapat memposisikan maksud dan tujuan dari penggunaan idiom ataupun penggunaan kalimat yang ada dalam teks proklamasi NII tersebut.
Secara etimologi kata ‘ashabiyyah berasal dari kata ‘ashabah yang bermakna al-‘aqaarib min jihat al-ab (kerabat dari bapak). Disebut demikian dikarenakan orang-orang Arab biasa menasabkan diri mereka kepada bapak (ayah), dan ayahlah yang memimpin mereka, sekaligus melindungi mereka. Adapun kata “al-‘ashabiyyah dan at-ta’ashshub” bermakna "al-muhaamat wa al-mudaafa’at” (saling menjaga dan melindungi). Jika dinyatakan, “ta’ashshabnaa lahu wa ma’ahu” : nasharnaahu (kami menolongnya)”. [Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-‘Arab, juz 1/602].
Ada beberapa kata yang berkaitan dengan kata ‘ashabiyah, diantaranya adalah dari kata ‘ashabah (kerabat dari bapak), al-‘Ashabiyah (fanatik golongan), ta’ashub (fanatik buta), ta’ashaba (pengencangan pembalut, dapat juga berarti perkumpulan atau ikatan). Di dalam literatur Hadits dan beberapa pendapat alim ulama, kata ‘ashabiyah bermakna kepada menolong kaum kerabat atas dasar kedzaliman.
Pendapat-pendapat para tokoh ulama dan ilmuan mengenai terminologi ‘ashabiyah ini sangat beragam, namun tidaklah mungkin kita akan mengurainya satu persatu, karena ruang lingkup pembahasan tafsir ini akan semakin melebar nantinya dari substansi tafsir yang akan dibahas, cukuplah beberapa pendapat saja yang kita paparkan, karena secara esensial pendapat-pendapat tersebut tidaklah jauh berbeda dari maksud yang terkandung di dalamnya antara satu pendapat dengan pendapat lainnya. Gambaran umum yang bisa kita lihat secara terminologi istilah ‘ashabiyah ini adalah berkaitan dengan urusan kekuasaan, karena di dalamnya terdapat subjek pembelaan, namun dari beberapa pendapat ulama, penggunaan maupun penafsiran kata ‘ashabiyah ini masih bersifat normatif, belum spesifik kepada konteks kekuasaan.
Jika kita mencoba menggali lebih jauh penggunaan kata ‘ashabiyah ini, dan mengkolerasikannya dengan padanan kata atau terminologi yang tepat dengan penggunaan bahasa hari ini dari beberapa literatur hadits yang menyinggung tentang kata tersebut, didalamnya terdapat kalimat-kalimat pembelaan terhadap nasab (keturunan) ataupun terhadap golongan-golongan tertentu secara fanatisme kekuasaan. Dalam sejarahnya di zaman Nabi Muhammad SAW, gambaran tentang ‘ashabiyah ini disandarkan kepada wujud kekuasaan Quraisy, dimana suku Quraisy adalah golongan bangsawan yang berhak sebagai pemegang kekuasaan atas Mekkah di waktu itu, juga terhadap beberapa suku-suku yang ada di waktu itu.
Secara spesifik dalam konteks kekuasaan kita dapat mendefenisikan bahwa yang dimaksud dengan kata ‘ashabiyah adalah: “kekuasaan yang dibangun berdasarkan kepada golongan-golongan tertentu”, dari defenisi ini dapatlah kita menyimpulkan sebuah padanan kata yang tepat dalam penggunaan kata ‘ashabiyah ini terhadap kolerasi bahasa yang popular yang berkembang di zaman sekarang, bahwa padanan kata yang tepat dari maksud penggunaan kata ‘ashabiyah ini dapatlah kita tafsirkan sebagai sebuah azas aristokrasi, atau kekuasaan yang disandarkan kepada golongan bangsawan. Beberapa literatur hadits maupun pendapat para ulama yang menjelaskan tentang ‘ashabiyah ini terhadap pembelaan-pembelaan tertentu, hal ini juga dapat ditafsirkan kepada azas oligarki (kekuasaan yang berdasarkan kepada sekelompok rakyat kecil) atau sekelompok orang yang menimbulkan kekacauan (anomy atau normlessness), namun dalam kenyataannya, azas oligarki dan anarki ini tidak bersandarkan kepada wujud kekuasaan yang jelas, hanya bersifat sementara terhadap kondisi perubahan sosial politik di dalam sebuah Negara.
Dalam buku yang pernah dituliskan oleh salah seorang founding father Idiologi dan Negara Islam, H.O.S. Tjokroaminoto, seorang tokoh filsuf dan politik Islam bangsa Indonesia, dalam Tafsir Program Azas dan Tandzhim PSII, menjelaskan bahwa azas kekuasaan yang dibangun oleh Islam itu berazaskan kepada Demokrasi Islam atau kekuasaan yang dibangun oleh rakyat yang berdasarkan Islam, bukan kepada ‘ashabiyah atau kepada aristokrasi sebagaimana yang telah kita urai diatas.
Dari uraian diatas kita dapat meyimpulkan maksud penggunaan kalimat “Bangsa Indonesia” atau pada kalimat “Umat Islam Bangsa Indonesia” itu bukanlah disandarkan kepada azas kekuasaan, namun hanya merupakan sebuah kalimat subjek atau predikat saja dalam mengumumkan kepada publik akan adanya sebuah kemerdekaan Negara atau lahirnya sebuah Negara Islam yang diproklamasikan atas nama Umat Islam Bangsa Indonesia, karena azas yang ada pada NII tersebut seperti yang telah dijelaskan oleh tokoh peletak dasar pemikiran Negara Islam (founding father) ini adalah Demokrasi Islam bukan berazaskan kepada ‘ashabiyah atau Aristokrasi, Oligarki, Theokrasi, Monarki, Tirani, Anarki, Anomy maupun terhadap azas demokrasi lain seperti Demokrasi Liberal, Demokrasi Komunis, Theo-Demokrasi dsb.
Mengenai hubungannya dengan bangsa-bangsa lain, hal ini telah tertuang di dalam Agenda Majelis Islam pada tahapan ke-7 (tujuh), yaitu tahapan membangun wujud persatuan bangsa-bangsa atau menjalin kerjasama dengan bangsa-bangsa lain di seluruh dunia (khilafah fil-ardh), agar terciptanya keadilan diseluruh dunia dalam jalinan diplomatik antar bangsa yang kokoh dan berperadaban.


Axact

Empiris

Episentrum Pengkajian Islam dan Riset Sosial mengorientasikan diri untuk menjadi katalisator terwujudnya Mulkiyah Allah di muka bumi, dan bersama-sama menggalang kekuatan kolektif dari potensi-potensi yang telah sejak lama berada dipangkuan Ummat Islam... Billahi Hayaatuna Wallahu Fii Hayatil Mustadz'afin... Hidup Kita Bersama Allah, dan Allah Berada Dalam Kehidupan Kaum Tertindas... Inna fatahna laka fathan mubina...

Post A Comment:

0 comments:

Bro, ekspresikan ruhul jihad mu !!!