Pendidikan?
PENDIDIKAN adalah proses pewarisan kebudayaan dalam masyarakat. Pemindahan nilai-nilai ini dapat dilakukan melalui 3 jalan: Pertama, pengajaran. Pengajaran berarti pemindahan pengetahuan (knowledge). Seorang yang berilmu memberikan pengetahuan kepada orang yang belum mengetahui. Kedua, pelatihan. Latihan bermakna pembiasaan bagi seseorang untuk meperoleh kemahiran dan hal –keterampilan- tertentu. Ketiga, proses pelibatan dalam bentuk instruksi hingga mewujudkan tiruan prilaku. Yang terakhir ini biasa dipandang jelek dan tidak mendidik bagi sebagian orang; indoktrinasi.
Terlepas dari perdebatan metode pemindahan nilai seperti apa yang ideal, ketiga jalan diatas pasti dilakukan dalam pendidikan (diakui atau tidak). Perlu ditekankan disini, bahwa di negara industri pun proses indoktrinasi pun berlaku. Ketiga hal tersebut menjadi jalan bagi keberlangsungan budaya dan unsur-unsurnya (Etika, Estetika, Sains dan Teknologi)[1]. Sebagian orang menitik tekankan pendidikan pada salahsatu unsur dan melalaikan unsur lainnya. Padahal semua untuk kebudayaan tersebut adalah satu kesatuan badani yang tak dapat dipisahkan. Orang yang menitik tekankan pada pendidikan etika namun melalaikan yang lain ibarat menumbuh kembangkan kaki dan membiarkan tangan serta badannya tetap kecil. Dan sebaliknya dan seterusnya.
Bayangkan makhluk seperti apakah generasi ini, jika memiliki kepala yang besar namun kakinya pincang, tangannya kecil sedang badannya kering korontang? Atau wujud-wujud gagal dari praktek pendidikan modern lainnya. Kesemuannya adalah penyakit yang membawa masalah (bukankah pendidikan itu solusi?).
Nilai-nilai Islam dalam Pendidikan
“Tidaklah akan bangkit kembali umat ini kecuali dengan melalui cara yang dilalui oelh umat sebelumnya.” Anas R.A.
ISLAM adalah agama[2] ilmu. Demikian perkataan para ahlul `ilmi pada alaf ini. Dan pernyataan ini adalah ijma` dan tidak ada seorang pun yang menyelisihinya melainkan orang-orang jahil. Apa sebab? Ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. adalah surah Al-Alaq: Bacalah. Dengan menyebut asma Robb kamu yang menciptakan… Baca, baca dan baca! Jibril menyeru hingga tiga kali. “Dengan apa kita membaca?” Jawabannya telah disebutkan pada hari pertama kenabian….
Ada baiknya kita meniti pola tarbiyah robbaniyah yang dipernah dialami Muhammad SAW diatas. Apa yang selanjutnya terjadi dapat kita lihat sebagai kelanjutan kurikulum sistemik. Proses turunnya wahyu pada masa awal (fase makki) adalah tarbiyah yang sangat spektakuler dan sangat mengguncangkan. “dan katakanlah kepada mereka perkataan yang mengguncang jiwa”. Dapat kita lihat sistematika turunnya wahyu (baca: bahan ajar) setelah seruan untuk membaca tadi. Ibnu Dhris meriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas ra, bahwa permulaan al-qur’an yang diturunkan ialah;”Iqra bismi rabbik, kemudian Nuun, kemudian al-Muzammil, kemudian al-Mudatstsir”. [Lihat; Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Muhammad].
Dengan turunnya wahyu “ wa andzir ‘asyiratakal aqrabin (dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat)”[3] dan wahyu “fasda’ bimaa tu’mar wa ‘aridh ‘anil musyrikin inna kafainaka al mustahjiin (maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang telah diperintahkan dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. Sesunggunya Kami memerlihara kamu daripada orang-orang yang memperolok-olokkan kamu )”.[4] Yang pertama dapat dipahami sebagai bentuk pendidikan keluarga. Hal ini sesuai dengan hadits “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orangnya lah yang menjadikannya yahudi dan nasrani”. “Ibu adalah madrasah pertama”. Sedangkan yang kedua adalah pendidikan masyarakat atau lebih tepatnya disebut sebagai pertarungan.
Kedua konsep dasar ajaran diatas adalah framework yang disarikan dari Al-Qur`an dan Hadits. Dalam praksis sosialnya, dapat kita mengerti dari penyebutan istilah sang pendidik dengan muaddib. Muaddib berasal dari akar kata adab, dan dekat dengan kata tamaddun (peradaban) dan madinah (negara). Dan untuk memahami Islam, kita harus memahami dahulu apa itu Islam.
DIN, tidak sama artinya seperti Agama dalam bahasa melayu atau Indonesia yang kita pahami. Lebih dari itu, ia mengandung pengertian taat, undang-undang, hukum, aturan-aturan, penguasaan dan penghambaan[5] Ia juga bisa berarti amal dan balasan (al-jaza). Maka dalam paradigma ini, hanya ada dua unsur yang penting, Tuhan dan Manusia. Manusia diciptakan dalam bentuk yang paling sempurna (surah Attin) sekaligus memiliki pantulan sifat-sifat-Nya.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa manusia dilahirkan dengan “fitrah”, orangtuanya lah yang membuatnya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Lantas sanggupkah manusia mengemban amanah ilahiyah penciptaannya? Hanya kehidupanlah jawabnnya.
Apakah kehidupan itu yang dimana manusia belajar dan berinteraksi? Semua dapat dipahami dengan memahami makna pendidikan dan kehidupan. Seperti kata Dewey, “pendidikan adalah kehidupan”, atau seperti kata Spencer “pendidikan adalah persiapan hidup”. Pendapat mana yang lebih tepat, yang jelas pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan. Karena fungsi dan eksistensi dari pendidikan adalah kehidupan itu sendiri.
Lebih baik bagi kita jika kita bisa mencari dan merumuskan pendidikan yang baik. Penulis mensifati pendidikan yang baik ini dengan “pendidikan yang sesuai fitrah”, atau dengan kata lain “pendidikan Islam”[6].
Sebagaimaa kita pahami dari hadits diatas, bahwa setiap manusia terlahir dengan fitrah (dan kesempurnaan). Dengan demikian, siapa yang terlepas dari fitrahnya ia termasuk manusia yang terlepas dari kesempuranaan dan sifat-sifat ketuhanan. Atau dengan kata lain, ia adalah orang yang bodoh. Pendidikan yang baik akan menjaga manusia dari ketergelinciran seperti ini, dan menjaga agar manusia tetap dalam fitrahnya yang suci.
Pandangan ini juga sekaligus menegasikan pendapat yang menyatakan bahwa “ilmu itu netral”. Demikian dengan pendidikan (seperti banyak digagas pakar pendidikan Barat dengan konsep “pendidikan liberal”-nya), ia adalah syarat dengan nilai “value-laden” dan bukan “value-free”.
Kurikulum
Manusia ketika dilahirkan kondisinya seperti kanvas putih, orangtua dan lingkunganlah yang menodakan cat pada dirinya. Hingga kemudian ia dengan dirinya ada sebagai sebuah lukisan yang entah seperti apa.
Manusia setelah dilahirkan, ia menyadiri dirinya tak memiliki sesuatu apa pun. Dia dicekam ketakutan. Kekhawatiran yang amat sangat disertai dengan ketakjuban yang mencekam. Alam seperti apakah dunia ini?
Ia, yang pada awal sejarah harus belajar sendiri secara empirik. Baik dengan melakukan riset dan observasi, maupun dengan mengambil pelajaran dari orang lain dan lingkungan sekitarnya. Ayat kauniyah dari Allah-lah yang ia pelajari pada masa awal hidupnya.
Kini hidup sudah berubah! Si bayi kecil tak perlu mengkhawatirkan proses pendidikannya. Usia dini, remaja dan masa tuanya sudah terintegrasi dalam sebuah sistem yang belakangan dikenal dengan kurikulum. Jangan menangis lagi…duhai makhluk mungil yang menyendiri dalam batin.
Sejalan dengan apa yang disebutkan dalam hadits tentang fitrahnya manusia, sebuah penelitian di Amerika Serikat yang dilakukan pada tahun 1990-an membuktikan adanya hubungan antara pendidikan dengan perilaku manusia. Penelitian yang dilakukan Benson dan Engeman melihat adanya kenaikan angka tingkat perceraian, angka aborsi, angka penderita penyakit akibat hubungan seksual, tingkat kriminalitas dan pelanggaran hukum remaja, berkali-kali lipat selama 3 dekade hingga tahun 1990-an. Keduanya menunjuk pada aliran positivisme[7] yang menguasai pendidikan di Amerika sejak tahun 1960-an, sebagai biang keladi yang menyebabkan semua ini, tentu berdasarkan bukti-bukti yang mereka temukan.
Kenapa positivisme yang dijadikan kambinghitamkan? Paul Bond, tidak sependapat kalau positivisme adalah kambinghitam dari demoralisasi manusia. Dia beranggapan memang positivisme, sebagai salah satu yang telah menyingkirkan Tuhan dari kehidupan manusia harus bertanggung jawab. Karena Tuhan telah disingkirkan dari hidup manusia, “Ilmu berkembang tanpa wisdom,” tulis Paul Bond. Ia menegaskan: “The complete secularization of science, education, industry, and society in the West and East will lead to ultimate disaster.” (U. Maman Kh. dkk.: 2002)[8].
Kehampaan nilai menurut Francis Sunderaraj, berlangsung semenjak zaman pencerahan abad-18. Afklärung yang disebutkan Sunderaraj, adalah suatu momen dalam pergerakan intelektual yang bermotifkan pembangkangan terhadap ajaran gereja di Eropa[9]. Perlawanan terhadap gereja kemudian berkembang menjadi pembangkangan terhadap semua nilai-nilai yang bukan berasal dari pengalaman manusia (baca: semua ajaran kalau bukan hasil pengalaman manusia berarti tertolak, contoh: ajaran dalam wahyu Tuhan). Hingga mulai berkembanglah kehidupan yang materialistic mulai saat itu. Kehancuran nilai-nilai moral, menurut pengamatan Sunderaraj, karena tiga alasan utama. Pertama, kita hidup dalam suasana kompetitif yang sangat tinggi untuk memperoleh materi yang sangat cepat. Kecenderungan profit oriented menghalalkan segala cara. Kedua, nilai-nilai moral menjadi sangat relatif, tergantung pada situasi dan kondisi lingkungan, tidak ditentukan oleh kekuatan eksternal dan ketentuan pasti yang menjadi pegangan umat manusia. Ketiga, masyarakat lebih berorientasi pada keberhasilan (succsess oriented society) yang memunculkan succsess syndrome dengan ukuran perolehan posisi dan kekuatan yang mendorong pada kehampaan nilai-nilai moral. (U. Maman Kh. dkk.: 2002).
Disini kita bisa melihat betapa kurikulum ternyata memiliki kemampuan untuk mendorong suatu masyarakat ke suatu arah. Dengan kurikulum masyarakat bisa jadi lebih baik atau lebih hancur. Ke arah lebih buruk kita bisa lihat contoh kasusnya adalah Amerika Serikat, Amerika Serikat yang kini mulai mencari-cari standar nilai moral untuk diajarkan kepada msyarakatnya.
Bagi ummat Islam yang sadar akan hal ini, kita sudah seharusnya segera bersama berpikir dan bertindak untuk pendidikan Islam. Dari perbincangan kita diatas, kita bisa mengambil kesimpulkan sebagai berikut:
Pendidikan Islam mestilah sebuah pendidikan yang bisa menyelesaikan permasalahan konsep pendidikan yang dialami pendidikan berbasis ilmu pengetahuan modern. Dalam hal ini, pendidikan Islam mestilah pendidikan yang mengintegrasikan kepentingan manusia dari segi materi dan spiritual, dari segi duniawi dan ukhrawi.
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bermula dari nilai-nilai Islam, baik dari sisi muatan nilai maupun metodologinya[10].
Penutup
Bukanlah tempatnya disini dan bagi kami untuk memmerinci rumusan Pendidikan Islam. Bukan hanya karena masalah ruang dan waktu, tetapi lebih karena keterbatasan kemampuan kami, apabila ditugaskan merumuskan Pendidikan Islam. Tapi kami yakin, diantara kaum muslimin banyak sekali yang faham tentang masalah ini. Dan bila mau meluangkan waktu sejenak (dan sudah pasti banyak yang sedang) memikirkan masalah ini, kaum muslimin bisa mnyelesaikan masalah ini.
Disini kami hanya mencoba mengetengahkan secuil permasalahan yang dialami oleh pendidikan berbasis non-nilai Islam, kemudian mencoba sedikit merefleksikannya pada nilai-nilai Islam. [empiris-batavia]
[1] Langgulung, Hasan, Prof. Dr. Pendidikan dan Peradaban Islam. (hal, 4-5) Jakarta: Pustaka Al Husna
[2] Agama disini bermakna Din. Mengenai agama (dalam pengertian Din) dan perbedaannya dengan konsep agama lain dijelaskan selanjutnya.
[3] Qs. asy-syu’ara (26), ayat 214.
[4] Qs.al-hijr (15), ayat 94-95
[5] Seperti diulas dalam buku “Peradaban dalam Islam”, Kelantan : Pustaka Aman Press, 1976
[6] Penyebutan ini berdasarkan pada pendekatan sifat-sifat manusia dalam Al-Qur`an. Jika manusia disifati dengan dua hal; Islam dan Kufr, demikian pendidikan yang merupakan kehidupan manusia (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya).
[7] Baca tulisan Ilmiah Bagi Muslim (Transform edisi ini) untuk mengetahui lebih lanjut pengaruh positivisme pada tradisi ilmu pengetahuna modern.
[8] U. Maman Kh. dkk. SOSIALISASI NILAI KEBAIKAN: TINJAUAN TERHADAP PERAN ILMU, PENDIDIKAN, KELUARGA, DAN SISTEM SOSIAL. Bogor: Program Pascasarjana IPB, 2002.
[9] Menurut para pelopor Enlightenment, ajaran gereja dianggap mengecewakan karena tidak mengajarkan apa-apa kecuali perang. Ini berkaitan dengan perang-perang agama di eropa pada abad sebelumnya, perang antara katolik dan protestan.
[10] Baca tulisan Ilmiah Bagi Muslim untuk melihat permasalahan metodologi dalam ilmu pengetahuan.
PENDIDIKAN adalah proses pewarisan kebudayaan dalam masyarakat. Pemindahan nilai-nilai ini dapat dilakukan melalui 3 jalan: Pertama, pengajaran. Pengajaran berarti pemindahan pengetahuan (knowledge). Seorang yang berilmu memberikan pengetahuan kepada orang yang belum mengetahui. Kedua, pelatihan. Latihan bermakna pembiasaan bagi seseorang untuk meperoleh kemahiran dan hal –keterampilan- tertentu. Ketiga, proses pelibatan dalam bentuk instruksi hingga mewujudkan tiruan prilaku. Yang terakhir ini biasa dipandang jelek dan tidak mendidik bagi sebagian orang; indoktrinasi.
Terlepas dari perdebatan metode pemindahan nilai seperti apa yang ideal, ketiga jalan diatas pasti dilakukan dalam pendidikan (diakui atau tidak). Perlu ditekankan disini, bahwa di negara industri pun proses indoktrinasi pun berlaku. Ketiga hal tersebut menjadi jalan bagi keberlangsungan budaya dan unsur-unsurnya (Etika, Estetika, Sains dan Teknologi)[1]. Sebagian orang menitik tekankan pendidikan pada salahsatu unsur dan melalaikan unsur lainnya. Padahal semua untuk kebudayaan tersebut adalah satu kesatuan badani yang tak dapat dipisahkan. Orang yang menitik tekankan pada pendidikan etika namun melalaikan yang lain ibarat menumbuh kembangkan kaki dan membiarkan tangan serta badannya tetap kecil. Dan sebaliknya dan seterusnya.
Bayangkan makhluk seperti apakah generasi ini, jika memiliki kepala yang besar namun kakinya pincang, tangannya kecil sedang badannya kering korontang? Atau wujud-wujud gagal dari praktek pendidikan modern lainnya. Kesemuannya adalah penyakit yang membawa masalah (bukankah pendidikan itu solusi?).
Nilai-nilai Islam dalam Pendidikan
“Tidaklah akan bangkit kembali umat ini kecuali dengan melalui cara yang dilalui oelh umat sebelumnya.” Anas R.A.
ISLAM adalah agama[2] ilmu. Demikian perkataan para ahlul `ilmi pada alaf ini. Dan pernyataan ini adalah ijma` dan tidak ada seorang pun yang menyelisihinya melainkan orang-orang jahil. Apa sebab? Ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. adalah surah Al-Alaq: Bacalah. Dengan menyebut asma Robb kamu yang menciptakan… Baca, baca dan baca! Jibril menyeru hingga tiga kali. “Dengan apa kita membaca?” Jawabannya telah disebutkan pada hari pertama kenabian….
Ada baiknya kita meniti pola tarbiyah robbaniyah yang dipernah dialami Muhammad SAW diatas. Apa yang selanjutnya terjadi dapat kita lihat sebagai kelanjutan kurikulum sistemik. Proses turunnya wahyu pada masa awal (fase makki) adalah tarbiyah yang sangat spektakuler dan sangat mengguncangkan. “dan katakanlah kepada mereka perkataan yang mengguncang jiwa”. Dapat kita lihat sistematika turunnya wahyu (baca: bahan ajar) setelah seruan untuk membaca tadi. Ibnu Dhris meriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas ra, bahwa permulaan al-qur’an yang diturunkan ialah;”Iqra bismi rabbik, kemudian Nuun, kemudian al-Muzammil, kemudian al-Mudatstsir”. [Lihat; Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Muhammad].
Dengan turunnya wahyu “ wa andzir ‘asyiratakal aqrabin (dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat)”[3] dan wahyu “fasda’ bimaa tu’mar wa ‘aridh ‘anil musyrikin inna kafainaka al mustahjiin (maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang telah diperintahkan dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. Sesunggunya Kami memerlihara kamu daripada orang-orang yang memperolok-olokkan kamu )”.[4] Yang pertama dapat dipahami sebagai bentuk pendidikan keluarga. Hal ini sesuai dengan hadits “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orangnya lah yang menjadikannya yahudi dan nasrani”. “Ibu adalah madrasah pertama”. Sedangkan yang kedua adalah pendidikan masyarakat atau lebih tepatnya disebut sebagai pertarungan.
Kedua konsep dasar ajaran diatas adalah framework yang disarikan dari Al-Qur`an dan Hadits. Dalam praksis sosialnya, dapat kita mengerti dari penyebutan istilah sang pendidik dengan muaddib. Muaddib berasal dari akar kata adab, dan dekat dengan kata tamaddun (peradaban) dan madinah (negara). Dan untuk memahami Islam, kita harus memahami dahulu apa itu Islam.
DIN, tidak sama artinya seperti Agama dalam bahasa melayu atau Indonesia yang kita pahami. Lebih dari itu, ia mengandung pengertian taat, undang-undang, hukum, aturan-aturan, penguasaan dan penghambaan[5] Ia juga bisa berarti amal dan balasan (al-jaza). Maka dalam paradigma ini, hanya ada dua unsur yang penting, Tuhan dan Manusia. Manusia diciptakan dalam bentuk yang paling sempurna (surah Attin) sekaligus memiliki pantulan sifat-sifat-Nya.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa manusia dilahirkan dengan “fitrah”, orangtuanya lah yang membuatnya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Lantas sanggupkah manusia mengemban amanah ilahiyah penciptaannya? Hanya kehidupanlah jawabnnya.
Apakah kehidupan itu yang dimana manusia belajar dan berinteraksi? Semua dapat dipahami dengan memahami makna pendidikan dan kehidupan. Seperti kata Dewey, “pendidikan adalah kehidupan”, atau seperti kata Spencer “pendidikan adalah persiapan hidup”. Pendapat mana yang lebih tepat, yang jelas pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan. Karena fungsi dan eksistensi dari pendidikan adalah kehidupan itu sendiri.
Lebih baik bagi kita jika kita bisa mencari dan merumuskan pendidikan yang baik. Penulis mensifati pendidikan yang baik ini dengan “pendidikan yang sesuai fitrah”, atau dengan kata lain “pendidikan Islam”[6].
Sebagaimaa kita pahami dari hadits diatas, bahwa setiap manusia terlahir dengan fitrah (dan kesempurnaan). Dengan demikian, siapa yang terlepas dari fitrahnya ia termasuk manusia yang terlepas dari kesempuranaan dan sifat-sifat ketuhanan. Atau dengan kata lain, ia adalah orang yang bodoh. Pendidikan yang baik akan menjaga manusia dari ketergelinciran seperti ini, dan menjaga agar manusia tetap dalam fitrahnya yang suci.
Pandangan ini juga sekaligus menegasikan pendapat yang menyatakan bahwa “ilmu itu netral”. Demikian dengan pendidikan (seperti banyak digagas pakar pendidikan Barat dengan konsep “pendidikan liberal”-nya), ia adalah syarat dengan nilai “value-laden” dan bukan “value-free”.
Kurikulum
Manusia ketika dilahirkan kondisinya seperti kanvas putih, orangtua dan lingkunganlah yang menodakan cat pada dirinya. Hingga kemudian ia dengan dirinya ada sebagai sebuah lukisan yang entah seperti apa.
Manusia setelah dilahirkan, ia menyadiri dirinya tak memiliki sesuatu apa pun. Dia dicekam ketakutan. Kekhawatiran yang amat sangat disertai dengan ketakjuban yang mencekam. Alam seperti apakah dunia ini?
Ia, yang pada awal sejarah harus belajar sendiri secara empirik. Baik dengan melakukan riset dan observasi, maupun dengan mengambil pelajaran dari orang lain dan lingkungan sekitarnya. Ayat kauniyah dari Allah-lah yang ia pelajari pada masa awal hidupnya.
Kini hidup sudah berubah! Si bayi kecil tak perlu mengkhawatirkan proses pendidikannya. Usia dini, remaja dan masa tuanya sudah terintegrasi dalam sebuah sistem yang belakangan dikenal dengan kurikulum. Jangan menangis lagi…duhai makhluk mungil yang menyendiri dalam batin.
Sejalan dengan apa yang disebutkan dalam hadits tentang fitrahnya manusia, sebuah penelitian di Amerika Serikat yang dilakukan pada tahun 1990-an membuktikan adanya hubungan antara pendidikan dengan perilaku manusia. Penelitian yang dilakukan Benson dan Engeman melihat adanya kenaikan angka tingkat perceraian, angka aborsi, angka penderita penyakit akibat hubungan seksual, tingkat kriminalitas dan pelanggaran hukum remaja, berkali-kali lipat selama 3 dekade hingga tahun 1990-an. Keduanya menunjuk pada aliran positivisme[7] yang menguasai pendidikan di Amerika sejak tahun 1960-an, sebagai biang keladi yang menyebabkan semua ini, tentu berdasarkan bukti-bukti yang mereka temukan.
Kenapa positivisme yang dijadikan kambinghitamkan? Paul Bond, tidak sependapat kalau positivisme adalah kambinghitam dari demoralisasi manusia. Dia beranggapan memang positivisme, sebagai salah satu yang telah menyingkirkan Tuhan dari kehidupan manusia harus bertanggung jawab. Karena Tuhan telah disingkirkan dari hidup manusia, “Ilmu berkembang tanpa wisdom,” tulis Paul Bond. Ia menegaskan: “The complete secularization of science, education, industry, and society in the West and East will lead to ultimate disaster.” (U. Maman Kh. dkk.: 2002)[8].
Kehampaan nilai menurut Francis Sunderaraj, berlangsung semenjak zaman pencerahan abad-18. Afklärung yang disebutkan Sunderaraj, adalah suatu momen dalam pergerakan intelektual yang bermotifkan pembangkangan terhadap ajaran gereja di Eropa[9]. Perlawanan terhadap gereja kemudian berkembang menjadi pembangkangan terhadap semua nilai-nilai yang bukan berasal dari pengalaman manusia (baca: semua ajaran kalau bukan hasil pengalaman manusia berarti tertolak, contoh: ajaran dalam wahyu Tuhan). Hingga mulai berkembanglah kehidupan yang materialistic mulai saat itu. Kehancuran nilai-nilai moral, menurut pengamatan Sunderaraj, karena tiga alasan utama. Pertama, kita hidup dalam suasana kompetitif yang sangat tinggi untuk memperoleh materi yang sangat cepat. Kecenderungan profit oriented menghalalkan segala cara. Kedua, nilai-nilai moral menjadi sangat relatif, tergantung pada situasi dan kondisi lingkungan, tidak ditentukan oleh kekuatan eksternal dan ketentuan pasti yang menjadi pegangan umat manusia. Ketiga, masyarakat lebih berorientasi pada keberhasilan (succsess oriented society) yang memunculkan succsess syndrome dengan ukuran perolehan posisi dan kekuatan yang mendorong pada kehampaan nilai-nilai moral. (U. Maman Kh. dkk.: 2002).
Disini kita bisa melihat betapa kurikulum ternyata memiliki kemampuan untuk mendorong suatu masyarakat ke suatu arah. Dengan kurikulum masyarakat bisa jadi lebih baik atau lebih hancur. Ke arah lebih buruk kita bisa lihat contoh kasusnya adalah Amerika Serikat, Amerika Serikat yang kini mulai mencari-cari standar nilai moral untuk diajarkan kepada msyarakatnya.
Bagi ummat Islam yang sadar akan hal ini, kita sudah seharusnya segera bersama berpikir dan bertindak untuk pendidikan Islam. Dari perbincangan kita diatas, kita bisa mengambil kesimpulkan sebagai berikut:
Pendidikan Islam mestilah sebuah pendidikan yang bisa menyelesaikan permasalahan konsep pendidikan yang dialami pendidikan berbasis ilmu pengetahuan modern. Dalam hal ini, pendidikan Islam mestilah pendidikan yang mengintegrasikan kepentingan manusia dari segi materi dan spiritual, dari segi duniawi dan ukhrawi.
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bermula dari nilai-nilai Islam, baik dari sisi muatan nilai maupun metodologinya[10].
Penutup
Bukanlah tempatnya disini dan bagi kami untuk memmerinci rumusan Pendidikan Islam. Bukan hanya karena masalah ruang dan waktu, tetapi lebih karena keterbatasan kemampuan kami, apabila ditugaskan merumuskan Pendidikan Islam. Tapi kami yakin, diantara kaum muslimin banyak sekali yang faham tentang masalah ini. Dan bila mau meluangkan waktu sejenak (dan sudah pasti banyak yang sedang) memikirkan masalah ini, kaum muslimin bisa mnyelesaikan masalah ini.
Disini kami hanya mencoba mengetengahkan secuil permasalahan yang dialami oleh pendidikan berbasis non-nilai Islam, kemudian mencoba sedikit merefleksikannya pada nilai-nilai Islam. [empiris-batavia]
[1] Langgulung, Hasan, Prof. Dr. Pendidikan dan Peradaban Islam. (hal, 4-5) Jakarta: Pustaka Al Husna
[2] Agama disini bermakna Din. Mengenai agama (dalam pengertian Din) dan perbedaannya dengan konsep agama lain dijelaskan selanjutnya.
[3] Qs. asy-syu’ara (26), ayat 214.
[4] Qs.al-hijr (15), ayat 94-95
[5] Seperti diulas dalam buku “Peradaban dalam Islam”, Kelantan : Pustaka Aman Press, 1976
[6] Penyebutan ini berdasarkan pada pendekatan sifat-sifat manusia dalam Al-Qur`an. Jika manusia disifati dengan dua hal; Islam dan Kufr, demikian pendidikan yang merupakan kehidupan manusia (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya).
[7] Baca tulisan Ilmiah Bagi Muslim (Transform edisi ini) untuk mengetahui lebih lanjut pengaruh positivisme pada tradisi ilmu pengetahuna modern.
[8] U. Maman Kh. dkk. SOSIALISASI NILAI KEBAIKAN: TINJAUAN TERHADAP PERAN ILMU, PENDIDIKAN, KELUARGA, DAN SISTEM SOSIAL. Bogor: Program Pascasarjana IPB, 2002.
[9] Menurut para pelopor Enlightenment, ajaran gereja dianggap mengecewakan karena tidak mengajarkan apa-apa kecuali perang. Ini berkaitan dengan perang-perang agama di eropa pada abad sebelumnya, perang antara katolik dan protestan.
[10] Baca tulisan Ilmiah Bagi Muslim untuk melihat permasalahan metodologi dalam ilmu pengetahuan.
Post A Comment:
0 comments:
Bro, ekspresikan ruhul jihad mu !!!