Oleh : Muchamad Ridho Hidayat
(Mahasiswa Program Studi Ilmu Perpustakaan)


Kita mengenal perpustakaan sebagai sebuah ruang tempat menyimpan buku-buku yang penuh dengan debu. Didalamnya ada seorang penjaga berusia lanjut yang jarang tersenyum. Perempuan itu gemar membersihkan rak-rak yang berjajar dengan kemoceng. Dan ibarat senjata tempur, benda ini pun bisa dipergunakan sebagai “tongkat pemukul anjing’ bagi anak-anak yang berisik diruang semedinya.

Secara umum kita mengenal perpustakaan dan sekolah sebagai institusi yang ’satu’ dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Di dunia yang agak berkembang, perpustakaan dikembangkan seiring dengan konsep modernisme. Perpustakaan modern didefinisikan sebagai tempat untuk mengakses informasi dalam format apa pun, apakah informasi itu disimpan dalam gedung perpustakaan tersebut atau tidak[1].

Perpustakaan dan Masyarakat
“Perpustakaan diciptakan dan dipelihara oleh masyarakat”. Sejak zaman dahulu hingga sekarang tujuan perpustakaan selalu identik dengan tujuan masyarakat. Hal tersebut terjadi karena perpustakaan merupakan hasil ciptaan masyarakat, bukan sebaliknya. Perpustakaan tidak saja berfungsi sebagai tempat penyimpanan hasil seni dan pengetahuan masyarakat, tetapi juga bertugas menyebarkannya kepada masyarakat.

Sepanjang sejarahnya, perpustakaan selalu membantu penyebarluasan pendidikan informal dengan cara menyediakan kemudahan belajar. Hubungan antara masyarakat dengan perpustakaan juga nampak pada pembangunan gedung perpustakaan. Perpustakaan dianggap prasarana penting sehingga orang-orang pada zaman dahulu selalu menempatkan perpustakaan di tempat-tempat ibadah; masjid, kuil, istana, biara, katedral serta tempat lain yang dianggap penting.

Karena perpustakaan diciptakan oleh masyarakat maka masyarakat pun berusaha memelihara hasil karyanya. Hal tersebut nampak jelas manakala kita melihat sejarah perpustakaan.

Di Indonesia, semasa pendudukan Jepang (1942-1945), tindakan pertama balatentera Jepang ialah mengamankan koleksi Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschap di Batavia (kini Jakarta) yang berada di lingkungan markas besar Kempeitai (polisi rahasia Jepang). Koleksi ini kelak menjadi inti Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. (baca: Sulistyo-Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan)

Nyatalah bahwa kekuasaan di luar perpustakaan dapat merupakan kekuatan yang bisa menghancurkan perpustakaan. Sebaliknya pula, masyarakat (merupakan kekuatan di luar perpustakaan namun perpustakaan merupakan bagian darinya) pulalah yang menciptakan sekaligus memelihara perpustakaan.
Peran Perpustakaan
Perpustakaan sebagai institusi pendidikan perlu diangkat kembali ke permukaan. Kajian-kajian mengenai hal ini, sepertinya mulai surut akibat isu-isu politik dan ekonomi yang di angkat media masa. Padahal pendidikan bisa dikatakan lebih penting dari politik dan ekonomi. Tanpa pendidikan, masyarakat akan tetap dalam kebodohan. Bodoh dalam berpolitik, bodoh dalam berekonomi, dan bodoh di bidang lainnya. Pendidikan sebagai ruh kehidupan akan membimbing manusia menuju kesadaran.

Disinilah letak dan fungsi perpustakaan berperan. Perpustakaan sebagai tempat pembelajaran seumur hidup akan menjadi institusi yang begitu dekat dengan kehidupan. Masyarakat dari lapisan usia manapun (tua maupun muda) bisa berada didalamnya secara bersamaan. Tidak ada pembatasan usia, tidak ada pemisahan kelas kecuali dengan minat. Tidak ada pemaksaan materi pelajaran (pengetahuan) tertentu, tidak ada pula batasan waktu.

Manusia sedari awalnya ingin mengetahui sesuatu. Ia cenderung mencari tahu dan menuntut untuk itu. Selama rasa ingin tahunya belum terpuaskan (tercapai), ia akan memaksa seluruh inderanya untuk mencerap apa saja yang ada disekitarnya. Perpustakaan dalam hal ini, menyediakan segalanya. Jumlah ilmu di dalam perpustakaan sebanyak jumlah koleksi buku. Perpustakaan laksana samudera, dimana manusia yang menginginkan kesejukan dapat tenggelam di dalamnya.

Perpustakaan sebagai katalisator perubahan. Kebudayaan manusia yang bersifat historis (menyejarah) akan menemukan wadah yang sesuai. Tidak adanya kurikulum baku menjadikan perpustakaan begitu fleksibel terhadap tuntutan pengetahuan. Perpustakaan merespon dan bersinergi dengan perubahan. Bahkan menjadi agen dalam perubahan sosial. Itu karena di tempat ini semua jenis manusia bisa bertemu. Perpustakaan menyajikan beragam pengetahuan yang berbeda, namun tidak membedakan masyarakat pemakai atau penggunanya.

Perpustakaan merupakan tempat belajar di samping sekolah. Sejarahwan Gibbon pernah mengatakan bahwa pendidikan yang diberikan oleh seseorang pada dirinya melalui otodidak jauh lebih penting daripada pendidikan yang diperolehnya dari seorang guru. Kecenderungan penggunaan perpustakaan umum sebagai tempat belajar menimbulkan istilah "modern library movement", sebuah gerakan pengembangan perpustakaan sebagai badan pendidikan umum, tidak terhambat oleh tradisi dan kendala waktu.

Mengenai pertanyaan di atas apakah perpustakaan mampu menjadi agen perubahan, jawabannya tentu saja mampu, namun sebatas pada para penggunanya. Bila dijawab secara makro, maka perpustakaan bukan agen perubahan karena perpustakaan diciptakan dan dibina oleh masyarakat, juga dirusak oleh masyarakat. Menyangkut perpustakaan sebagai agen perubahan, hal tersebut dapat dipahami dari tujuan perpustakaan. Tujuan perpustakaan ialah menyimpan pengetahuan, aspek moral dan politik, untuk pendidikan dan penyebaran pengetahuan.

Keberadaan perpustakaan telah ada sekitar 2500 tahun sebelum Masehi. Selama perjalanan sejarahnya muncul prinsip kepustakawanan bahwa perpustakaan diciptakan dan dipelihara oleh masyarakat. Perpustakaan memiliki berbagai fungsi namun karena diciptakan dan dipelihara masyarakat, peranan perpustakaan dalam menghadapi perubahan sosial budaya tidaklah signifikan. Peranan perpustakaan nampak pada anggota masyarakat, bukan seluruh masyarakat. Peranan tersebut dapat dilakukan melalui perpustakaan umum, walaupun untuk Indonesia masih menghadapi berbagai kendala seperti kurangnya fasilitas, hambatan informasi namun kendala itu dapat diatasi dengan bantuan masyarakat[2].

Pemasalahan Sekolah
Bagaimana dengan sekolah? Sekolah sebagai institusi pendidikan yang dominan dan selalu mendapat kepercayaan dari masyarakat, tak pernah luput dari campur tangan politik dan aktivitas perekonomian (baca: kepentingan modal – red). Besarnya campur tangan pemerintah ini membuat sekolah menjadi tidak merdeka dalam menentukan arah tujuannya. Mulai dari pembuatan kurikulum di bawah kementrian kabinet, swastanisasi, dan banyak lagi. Sekolah yang seharusnya menjadi alat untuk mencerdaskan, kini tidak lebih dari sekedar tempat indoktrinasi[3]. Sekolah dijadikan alat untuk mengukuhkan status quo, yakni hanya menjadi pewaris nilai-nilai resmi yang di restui oleh pemerintah. Tidak aneh jika begitu banyak uniformization (penyeragaman) dalam dunia sekolah, dari mulai pakaian hingga bahan ajaran. Semua telah ditentukan. Semua tak boleh menyimpang. Meminjam istilah Romo Mangun, Ainurrofiq Dawam, sekolah tak ubahnya “seperti penjara”. Tempat kaum muda yang kreatif dan kritis “dibius kesadarannya”. Tempat kaum muda dipekerjakan atau dipersiapkan untuk bekerja.

Padahal sekolah sebagai institusi pendidikan haruslah mengembangkan identitas manusia, karenanya tidak boleh otoriter, represif atau instruktif. Demikian pendidikan menuntut adanya partisipasi. dialog, interaktif dan proses kreatif lainnya akan menjadikan aktivitas sekolah menjadi ideal. Stategi belajar mengajar dan pengembangan kurikulum menjadi penting untuk mewujudkan sekolah yang ideal.

Penyeragaman di beberapa aspek di bidang pendidikan menunjukkan ambisi pemerintah untuk menguasai pendidikan, agar tunduk dibawah kuasa politik. Pengelolaan pendidikan yang sangat bersifat sentralistrik, di mana pusat (pemerintah) sangat dominan dalam pengambilan kebijakan. Sebaliknya, daerah dan sekolah bersifat pasif; hanya sebagai penerima dan pelaksana perintah pusat. Pola kerja sentralistik tersebut sering mengakibatkan adanya kesenjangan antara kebutuhan riil sekolah dengan perintah dari pusat.

Sekolah benar-benar menjauhkan masyarakat dari kehidupannya. Masa studi yang panjang, jam pelajaran yang padat bertumpuk setiap harinya terkesan lebih kepada upaya pengejaran target tertentu tanpa pertimbangan yang matang. “semua siswa dibentuk secara akademis untuk merasa bahagia hidup hanya dengan sesama siswa yang mengenyam produk mesin pendidikan ini.” Pemerintah seharusnya bukan hanya menciptakan kurikulum pendidikan, tetapi juga memikirkan kembali cara pelaksanaan dan penyampaian materi kurikulum itu.

Akibatnya, dari kesenjangan antara cita-cita pemerintah dengan kesanggupan masyarakat ini terciptalah tarik-menarik kultural, yang setelah pembangunan kiranya di menangkan oleh pemerintah. Akhirnya muncul mitos-mitos seputar sekolah yang sekilas nampak seperti keberhasilan pemerintah dalam upaya “mencerdasakan kehidupan bangsa”[4].

Perpustakaan sebagai Alternatif?
Perpustakaan sebagai institusi pendidikan pada saat ini dipandang sebagai institusi komplementer dari sekolah. Sistem pendidikan yang komprehensif ini memelihara dan membesarkan anak didiknya (yakni: perpustakaan) dengan amat telaten. Bagaimana tidak, di beberapa tempat perpustakaan dijadikan andalan dan garda terdepan sebagai komponen perbaikan kualitas peserta didik.

Perpustakaan sekolah pun dibangun hampir disetiap sekolah negeri. Tidak kalah ketinggalannya, perguruan tinggi ternama mulai mengusul konsep research university. Hingga mau tak mau mereka membutuhkan perpustakaan sebagai basis studi pustaka dalam penelitian para mahasiswa dan dosennya.

Tarik menarik kepentingan tak dapat dihindarkan dari proyek pendidikan yang bernilai triliyunan rupiah ini. ”Ini proyek komersial Bung!”. Informasi, sebagaimana diajarkan di program studi ilmu perpustakaan, adalah komoditi yang harus dijual dengan harga yang mahal (bagaimana pun kemasannya).

Satu yang dapat dipastikan. Sebesar apapun perpustakaan yang dibangun oleh sebuah lembaga pendidikan, ia tidak akan lebih besar dan sebanding perannya dalam pranata sosial dengan induknya. Hal ini disebabkan, konsep pengembangan perpustakaan yang dilakukan tidak menggunakan pendekatan yang sejajar alias horizontal. Institusi perpustakaan bagaimana pun adalah ‘anak perusahaan’ dari korporasi yang bernama sekolah.

”Perpustakaan Subtitute” adalah sebuah pandangan yang menggunakan pendekatan horizontal terhadap institusi pendidikan. Perpustakaan dipandang sejajar dengan sekolah, sekaligus menjadi sparing patner dalam mencapai tujuan pendidikan. Subtitute disini bukan berarti pengganti institusi formal yang dipandang secara diametral maupun dikotomi. Dimana ’kejayaan perpustakaan’ lahir sebagai akibat ’keruntuhan sekolah’. Akan tetapi kesejajaran fungsi antara sesama institusi pendidikan.

Pandangan seperti ini bermaksud mengembalikan esensi pendidikan dan institusi formalnya. Adanya usaha-usaha yang terlihat revolusioner dan spektekuler, biasanya dijadikan alat oleh pihak tertentu. Padahal dengan kembali memahami framework dan falsafah pendidikan, tidak diperlukan lagi usaha-usaha yang ’dramatis’ dan cenderung membawa korban. Siapa yang ingin sekolah, ia harus sekolah. Tapi siapa yang tidak ingin, ia tidak boleh dipaksa. Program wajib belajar (baca: 9 tahun di sekolah) dalam perspektif ini adalah sebuah penindasan sistemik dari semangat belajar yang alamiah (sudah ada sejak manusia lahir). Penindasan, karena sekolah pada saat ini adalah sebuah sistem pendukung dari sistem besar yang bernama sistem produsen-konsumen[5]. Sekolah adalah pabrik tempat menghasilkan skrup-skrup yang akan menghidupkan industrialisme.

Dalam sejarah awalnya, baik perpustakaan maupun sekolah keduanya saling melengkapi (complement). Akan tetapi, sifat komplementer yang seperti ini adalah wujud saling mendukung alamiah. Yang perlu digaris bawahi adalah sifat alamiah dari proses terbentuknya kedua institusi tersebut. Artinya tidak ada yang termarjinalkan.

Lantas, apa maksud dari ”perpustakaan subtitute”? Pandangan ini bermula dari pengamatan terhadap fenomena ”perpustakaan indie” dan perlakuan yang buruk terhadap institusi pendidikan (sistem sekolah, termasuk perpustakaan sekolah). Akhir-akhir ini muncul beberapa gugatan dan gerakan subkultur yang begitu rajin mengkritisi sistem sekolah. Ada usaha memarjinalkan institusi sekolah, sebaik apapun maksudnya akan menimbulkan persepsi negatif terhadap pendidikan seluruhnya. Gerakan ini perlahan berubah ke arah gugatan terhadap formalitas. Sedangkan anti formalitas secara mutlak adalah sebuah kebodohan (yang lahir dari filsafat postmodern) yang perlu untuk dihindari.

Hasil dari pengamatan diatas, membawa penulis pada kesimpulan bahwa ketidakpercayaan kepada sekolah harus diimbangi dengan pandangan ”perpustakaan subtitute”. Dimana masyarakat akan berpihak kepada perpustakaan bukan karena pelarian dari sekolah (alias lari dari kenyataan). Kenapa perpustakaan? Jawabannya karena perpustakaan pada saat ini masih bebas dari cengkraman pemerintah dan politik pemerintahan (paling tidak untuk saat ini).

Tesis ini mungkin baru dan belum dikenal didunia pendidikan. Karenanya bukan pada tempatnya untuk membahas detail konsepnya pada artikel ini. Penulis berharap akan ada yang mengembangkan dan melanjutkan konsep ini, demi kemajuan masyarakat.


Penutup
Setelah kita membandingkan peran dan fungsi masing-masing institusi pendidikan, juga realita dan permasalahan yang ada. Dapat kita simpulkan, bahwa perpustakaan harus bisa bertransformasi dan ber-evolusi, dari konsepnya yang terbatas ke arah keluasan dan kesempurnaan fungsinya. Karena tatanan dunia sekarang menuntut adanya transformasi, dan globalisasi meniscayakan penyatuan-penyatuan di berbagai bidang kehidupan. Berbagai konsep tentang ekonomi dan politik berubah seiring tuntutan era ini. Demikian pula dengan pendidikan. Ada sekolah yang mempunyai begitu banyak masalah, bahkan mengalami kekacauan orientasi yang disebabkan oleh sempitnya pemahaman terhadap aspek filosofis. Ada perpustakaan dengan segala keterbatasannya, yang hingga saat ini masih kekurangan SDM yang berkualitas guna menerapkan semangatnya. Ditengah kondisi dunia pendidikan yang hampir nadir ini, wacana ”perpustakaan subtitute” kiranya dapat menjadi alternatif perjuangan di bidang pendidikan.

Semoga Bermanfaat!



[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Perpustakaan
[2] Disadur dari makalah Sulistyo-Basuki. Potensi Perpustakaan Dalam Menghadapi Krisis Sosial Budaya dari http://www.pnri.go.id/artikel/seminar/24102000/makalah1.htm
[3] Indonesian Corruption Wacth, Mendagangkan Sekolah (maaf, lupa keterangan terbitnya..)
[4] Lebih lengkapnya tentang mitos-mitos sekolah baca Ivan Illich, Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah (Rev Ed.; Jakarta: YOI, 2000)
[5] Baca Thomson, Ahmad. Sistem Dajjal. Bandung : Semesta Hadi Racana, 1998
Axact

Empiris

Episentrum Pengkajian Islam dan Riset Sosial mengorientasikan diri untuk menjadi katalisator terwujudnya Mulkiyah Allah di muka bumi, dan bersama-sama menggalang kekuatan kolektif dari potensi-potensi yang telah sejak lama berada dipangkuan Ummat Islam... Billahi Hayaatuna Wallahu Fii Hayatil Mustadz'afin... Hidup Kita Bersama Allah, dan Allah Berada Dalam Kehidupan Kaum Tertindas... Inna fatahna laka fathan mubina...

Post A Comment:

0 comments:

Bro, ekspresikan ruhul jihad mu !!!