Sebuah organisasi terdiri dari sekumpulan orang yang bekerjasama. Dalam interaksi kerjasamanya sekumpulan manusia pasti ada konflik. Konflik sendiri merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam dinamika sebuah kelompok. Adapun yang bisa membuatnya bertahan sebagai sebuah kelompok yang bekerjasama adalah Tujuan Bersama yang ingin dicapai.
Begitupula Organisasi yang bernama Negara. Yang jadi pertanyaannya adalah, apa Tujuan Bersama yang ingin dicapai oleh orang-orang bekerjasama di wadah yang bernama Negara Islam Indonesia?
Tujuan NII
Mukaddimah Qanun Azasi NII menjelaskan pada kita perjalanan sejarah perjuangan Ummat Islam Bangsa Indonesia. Dipermaklumkan bahwa Tujuan perjuangan Ummat Islam Bangsa Indonesia adalah mencari dan mendapatkan Mardhotillah. Dalam pada itu dijelaskan pula bahwa mendapatkan Mardhotillah itu adalah hidup di dalam suatu ikatan dunia baru, yakni Negara Islam Indonesia yang merdeka.
Negara Islam Indonesia sendiri adalah Negara yang berdasarkan hukum Islam. Hal itu berarti mendapatkan Mardhotillah adalah hidup dalam sebuah masyarakat yang berhukum pada hukum Islam. Pertanyaannya, apa manfaat dari hidup dalam sebuah masyarakat yang berhukum pada hukum Islam?
NII sebagai Estafeta Misi Kenabian
Awal dari peradaban Islam yang dibangun Nabi SAW. adalah peristiwa hijrah Nabi SAW..
Peristiwa hijrah juga menjadi titik awal dari kalendar Islam itu sendiri, dengan bulan pertamanya adalah Muharram, ini juga memberi arti betapa pentingnya peristiwa ini bagi umat Islam. Bagaimana Nabi SAW. mengawali peradaban Islam itu? Dan bagaimana kita dapat membangun suatu masyarakat di masa modern dengan merujuk pada sejarah Islam ini? Dua masalah inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini.
Secara konvensional, perkataan “madinah” memang diartikan sebagai “kota”. Tetapi secara ilmu kebahasaan, perkataan itu mengandung makna “peradaban”. Dalam bahasa Arab, “peradaban” memang dinyatakan dalam kata-kata “Madaniyah” atau “tamaddun”, selain dalam kata-kata “hadharah”. Karena itu, menurut Nurcholish Madjid tindakan Nabi mengubah nama Yatsrib menjadi Madinah, pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat, atau proklamasi, bahwa beliau bersama para pendukungnya yang terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar hendak mendirikan dan membangun masyarakat beradab.
Mirip dengan pendapat Nurcholish, Dawam Rahardjo melihat bahwa yang disebut masyarakat Madani itu sama dengan civil society. Hanya saja, menurut Dawam dalam perspektif Islam, civil society lebih mengacu kepada penciptaan peradaban. Kata al din, — yang umumnya diterjemahkan sebagai agama — berkaitan dengan makna al tamaddun, atau peradaban. Keduanya menyatu ke dalam pengertian al madinah yang arti harfiahnya adalah kota. Dengan demikian menurut Dawam masyarakat Madani mengandung tiga hal, yakni agama, peradaban, dan perkotaan. Di sini, agama merupakan sumber, peradaban adalah prosesnya, dan masyarakat kota adalah hasilnya.
Bagaimana proses pembentukan masyarakat Madani pada masa Rosulullah SAW.? Persoalan ini dapat dilihat dengan analisis sosial politik dan tidak hanya melulu persoalan normatif misi risalah. Secara analisis sosial politik, adalah menarik untuk memahami situasi sosial politik dan kondisi geografi antara kota Mekkah dan Madinah. Dua kota ini menjadi penting karena Mekkah adalah kota kelahiran Islam dan Madinah adalah awal peradaban Islam.
Kiranya menjadi penting secara sekilas memahami struktur dan karakter sosial-politik di dua kota tersebut. Pada saat itu, struktur dan karakter sosial-politik di dua kota itu sangat dipengaruhi unsur kesukuan, serta sama sekali tidak memiliki pengalaman tentang suatu negara atau organisasi pemerintahan. Meskipun demikian, Mekkah, saat kelahiran Nabi SAW., merupakan pusat perdagangan yang kuat, yang telah mempunyai semacam konstitusi perdagangan dan dewan sesepuh, yang disebut Mala’. Dewan ini bertugas menyelesaikan perselisihan dan mengawasi serta melindungi kepentingan dagang dari setiap suku. Mekkah menikmati kedamaian karena hanya dihuni dan dikontrol oleh satu suku yang kuat; Quraisy. Selain itu, Quraisy mempunyai posisi yang kuat karena mendiami tempat suci yang sangat prestisius di seluruh semenanjung: Kabah, tempat yang hanya merekalah penjaganya. Akan tetapi, kota itu belumlah memiliki otoritas kenegaraan atau sebuah kekuatan yang memaksa setiap keputusan dilaksanakan. Even by violent force.
Sedangkan situasi di Madinah sebelum Islam sama sekali berbeda dari Mekkah. Di kota ini terdapat lima suku yang saling berperang. Tiga suku merupakan Yahudi yakni Banu Nadir, Banu Qaynuqa dan Banu Qurayza. Dan dua lagi suku Arab yakni suku Aws dan Khazraj. Suku-suku Yahudi menguasai wilayah yang luas dari perkebunan kurma dan juga menguasai beberapa kerajinan tangan, sementara suku-suku Arab mengandalkan tanah pertanian mereka sebagai sumber utama. Suku Aws dan Khazraj saling berperang dalam waktu yang sangat panjang, dan suku-suku Yahudi juga bermusuhan satu sama lain, meskipun mereka saling mendukung ketika berhadapan dengan suku-suku Arab.
Dengan demikian, Madinah adalah kota yang paling tidak stabil, penuh dengan gangguan, dan tidak aman di semenanjung Arab. Tidak seperti Mekkah, ia tidak mempunyai institusi Mala’ atau dewan sesepuh sebagai lembaga arbitrase bagi peperangan antar-suku atau pertentangan antar-etnik. Kondisi yang demikian ini menjadikan penduduk Madinah ingin mencari seseorang yang mampu secara adil mengatasi suku-suku yang berperang dan menjaga kedamaian dan keharmonisan di dalam kota serta menyelamatkan masyarakat dari pertumpahan darah yang tidak berkesudahan.
Faktor sosial-politik inilah, yang membuat penduduk Madinah tertarik kepada ajaran Islam dan Nabi SAW., seorang yang mereka lihat sebagai hakim yang tidak memihak, hakim yang memang memiliki kebijaksanaan yang luar biasa untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan mereka. Mereka tahu bagaimana Nabi SAW. menyelesaikan perbaikan Kabah secara adil. Ketika Kabah diperbaiki, maka masyarakat kota Mekkah meminta Nabi SAW. untuk memutuskan secara adil tentang bagaimana meletakkan batu hitam ke Kabah. Nabi SAW. kemudian melepas sorbannya dan menaruh batu tersebut di atasnya, kemudian dimintanya perwakilan dari setiap suku untuk mengangkat batu itu dengan cara memegang sorbannya. Inilah salah satu peristiwa yang membuat Muhammad SAW. yang belum menjadi nabi terkenal kecerdasan dan keadilannya.
Kebutuhan akan pemimpin yang adil ini, membuat masyarakat Madinah ingin mengundang Nabi SAW. ke kotanya. Mereka tahu bahwa Nabi SAW. banyak mendapat ancaman di Mekkah. Selama dua tahun lamanya dilakukan perundingan secara seksama, dengan masuknya sebagian besar -tidak semua- penduduk dari dua suku Arab kepada Islam, dan mereka bersumpah untuk melindungi Nabi, Nabi SAW. akhirnya menerima undangan mereka untuk berimigrasi ke kota tersebut. Mereka (penduduk Madinah) harus melindungi Nabi SAW. dari musuh-musuhnya, suku Quraisy, dan demikian pula Nabi SAW. mesti memberi mereka kedamaian dan kesatuan melalui persatuan spiritual.
Segera setelah sumpah-setia pertama di al-Aqaba tahun 620 M, Nabi SAW. mulai mengirim pengikut-pengikut setianya dari Mekkah ke Madinah. Sebelum dia sendiri melakukan hijrah pada tahun 622 M, Nabi SAW. memastikan seluruh kaum Muslim Mekkah harus sudah berpindah dan menetap di sana. Ini merupakan strategi yang hati-hati dan sangat cerdas. Karena Nabi SAW. tidak ingin dianggap hijrah ke Madinah sebagai pelarian, melainkan sebagai pemimpin para pengikut setianya sendiri dari suku Quraisy yang berjumlah lebih dari dua ratus orang. Dengan demikian, ketika tiba di Madinah, secara antusias Nabi SAW. diterima, tidak hanya oleh tuan rumah Madinah, mulai saat ini disebut Anshar atau penolong, tetapi juga oleh pengikut setianya sendiri dari Mekkah, yang kemudian dikenal sebagai Muhajirin atau orang-orang yang berpindah.
Setelah tiga belas tahun perjuangan tanpa akhir, Nabi SAW. akhirnya berhasil menciptakan masyarakat Muslim terlatih yang secara bebas dan terbuka berkehendak melaksanakan ajaran agamanya, yaitu kaum Muhajirrin. Di Mekkah, orang-orang Islam hanyalah dianggap sekelompok pemberontak dan minoritas tertindas yang meyakini agama baru, serta secara sosial, politik, dan ekonomi di bawah dominasi dari mayoritas non-Muslim, Quraisy. Di Madinah, justru sebaliknya, mereka membangun komunitas yang sesuai dengan keinginan mereka sendiri dalam arti yang sebenarnya. Sebuah komunitas yang kelak akan memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan institusi-institusi termasuk organisasi pemerintahan. Membangun sebuah tempat yang diridloi Alloh Azza wa Jalla.
Bagaimana Nabi SAW. membangun prinsip-prinsip masyarakat Madinah itu? Jadi, komunitas Muslim yang baru terbentuk tersusun dari tiga suku yang berbeda dari Madinah dan Mekkah, dibagi dalam beberapa klan, yang harus mengembangkan diri dan beradaptasi terhadap bentuk politik dan organisasi pemerintahan baru, yang semua kelompok konstituen dapat hidup secara harmonis. Di samping itu, terdapat tiga suku Yahudi yang hidup di Madinah yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan sipil yang harus terus diakomodasi bersama kaum Muslim. Pada kenyataannya, kota Madinah didiami oleh dua komunitas agama penting dan sederajat, Muslim dan Yahudi. Kelompok ketiga, yakni kaum pagan (penyembah berhala) dapat juga ditambahkan sebagai pendukung salah satu dari dua komunitas yang telah disebutkan di atas.
Nabi SAW. selanjutnya memformulasikan sebuah perjanjian (Mitsaq), yang secara umum dikenal dengan konstitusi Madinah, yang pada satu sisi merekatkan ketiga suku Muslim serta klan-klan mereka dalam kerjasama satu sama lain, dan di sisi lain antara suku-suku Yahudi dengan suku-suku Muslim. Perjanjian itu berisi 52 pasal, yang pasal keduanya diulang 20 kali, baik secara penuh ataupun dalam bentuk yang singkat dengan perubahan nama klan atau kelompok yang dimasukkan ke dalam perjanjian tersebut pada tanggal yang berbeda.
Hal yang secara khusus mesti diperhatikan adalah perjanjian itu ditandatangani secara terpisah dan independen oleh klan-klan yang berbeda dari suku-suku tersebut dan tidak ditandatangani oleh suku-suku secara keseluruhan. Kemudian, 32 pasal sisanya dapat dibagi dalam dua bagian, satu bagian berkenaan dengan urusan-urusan umat Muslim saja, sedangkan bagian yang lain berhubungan dengan tanggung jawab bersama, baik Muslim maupun Yahudi sebagai warga negara sederajat. Perjanjian tersebut juga mencakup komunitas pagan yang hidup di dalam dan sekitar kota Madinah, atau yang telah bersekutu dengan salah satu klan Muslim atau klan Yahudi.
Konstitusi yang di sepakati oleh Nabi SAW. dengan suku-suku di Madinah bukanlah sebuah Konstitusi yang jauh dari realitas masyarakat. Konstitusi itu mencerminkan realitas geografis, sosial, budaya, dan ekonomi dari suatu wilayah masyarakat. Dengan Konstitusi ini, Nabi SAW. telah berhasil memperkenalkan perubahan yang revolusioner dalam konsep kehidupan sipil masyarakat Arab. Jauh sebelumnya, keseluruhan konsep kehidupan kesukuan didasarkan pada pertalian darah, dan sekarang penekanannya telah dialihkan kepada komunitas yang dibentuk lewat seperangkat kesepakatan yang diterima secara bebas.
Nicholson dengan rasa kagum berkomentar tentang konstitusi tersebut dengan berkata, “Tidak ada seorang pun yang mampu mempelajarinya (piagam Madinah) tanpa pernah terkesan oleh langkah politik yang jenius dari pembuatnya. Muhammad tidak menyerang secara terbuka independensi dari suku-suku, tetapi dia menghancurkannya secara perlahan, dengan mengalihkan pusat kekuasaan dari suku kepada komunitas; dan walaupun komunitas tersebut terdiri dari kaum Yahudi dan pagan, di samping tentunya kaum Muslim, dia secara penuh mengakui, apa yang gagal diperkirakan rival-rivalnya, bahwa umat Muslim adalah partner aktif, dan segera akan memegang peran utama, dalam negara baru yang didirikan.”
Isi kontitusi itu memperlihatkan bahwa: (1) munculnya bangsa yang pluralistik secara politik tanpa memandang agama, etnik, atau afiliasi suku; (2) konstitusi tersebut menjamin secara penuh terhadap kebebasan beragama dan kemudian dia liberal dalam fungsinya; (3) dia secara total memberikan kebebasan internal kepada setiap konstituen klan dan sukunya, dan oleh sebab itu dia berkarakter federalistik, dan yang terakhir; (4) komitmen dan loyalitas kepada komunitas mengatasi segala loyalitas lainnya.
Dengan karakteristik konstitusi dasar seperti tersebut di atas, negara Muslim pertama terwujud pada tahun 622 M. Nabi SAW. adalah, -secara pasti dengan tidak dipersoalkan lagi- kepala negara, dan secara bersamaan dia juga seorang Nabi. Dia telah menjadi pemimpin dari pengikutnya, para imigran Quraisy, seperti halnya para pemimpin dari klan-klan dan suku-suku Madinah.
Pembentukan masyarakat oleh Nabi SAW. mengindikasikan bahwa tidak ada antagonisme antara keagamaan dan sekuler, spiritual dan temporal, yang suci dan yang profan. Tetapi, kenyataannya, ruang dari aktivitas keduanya, meskipun saling melengkapi adalah berbeda Manusia merupakan makhluk Tuhan dan konsekuensinya sisi ilahiah dan primordial ada dalam fitrahnya sebagaimana Dia berfirman, “Dan Aku telah tiupkan kepadanya ruh-Ku” (QS. 15:29), sementara itu, negara adalah buatan manusia dan secara prinsip mesti memperhatikan hikmah-hikmah Islam serta secara temporal mesti memperhatikan subyek dari pengalaman manusia dengan perubahan dari ‘ruang-waktu’, dan dalam konteks ‘zaman’ dan ‘generasi’.
Prinsip-prinsip Konstitusi Madinah ini rujukan wajib bagi pembentukan tatanan negara modern yang pluralis (agama, ras, suku dan golongan) namun menjadikan hikmah Islam sebagai bagian penting kehidupan bernegara. Mantan Deputi PM. Malaysia Anwar Ibrahim ketika menyampaikan pidato kebudayaannya pada Festival Istiqlal 1995 di Jakarta, berjudul “Islam dan Pembentukan Masyarakat Madani” berkata, “Justru itu Islamlah yang pertama kali memperkenalkan kepada kita di rantau ini kepada cita-cita keadilan sosial dan pembentukan masyarakat Madani, yaitu civil society yang bersifat demokratis.” Menurut Anwar, “Kedatangan Islam bukan sekedar membentuk pandangan hidup baru yang mengutamakan peranan akal dan pemikiran rasional, namun juga mencakup revolusi ruhaniah dan aqliyah yang juga kemudian menggerakkan transformasi sosial, yaitu secara berangsur-angsur meletakkan asas susunan baru kemasyarakatan dan urusan kenegaraan yang mementingkan kemuliaan derajat insan.”
Masyarakat yang dibangun pada zaman Rosul tersebut identik dengan civil society dalam bahasa modern, karena secara sosio-kultural mengandung substansi keadaban (civility). Karena itu model masyarakat ini sering dijadikan model sebuah masyarakat modern, sebagaimana yang juga diakui oleh seorang sosiolog kenamaan, Robert N Bellah dalam bukunya Beyond Belief (1976). Bellah mengakui, dalam buku hasil penelitiannya ini terhadap agama-agama besar di dunia itu, bahwa masyarakat yang dipimpin Rosulullah SAW. itu merupakan masyarakat yang sangat modern untuk zaman dan tempatnya. Masyarakat ini telah melakukan lompatan jauh ke depan dalam kecanggihan tata sosial dan pembangunan sistem politiknya.
Dokumen Madinah membuktikan betapa sangat majunya masyarakat yang dibangun kala itu, di samping juga memberikan penegasan mengenai kejelasan hukum dan konstitusi sebuah masyarakat. Bahkan, menurut Hamidullah, Piagam Madinah ini adalah konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia. Konstitusi ini secara mencengangkan telah mengatur apa yang sekarang orang ributkan tentang hak-hak sipil (civil rights) atau lebih dikenal dengan hak asasi manusia (HAM), jauh sebelum Deklarasi Kemerdekaan Amerika (American Declaration of Independence, 1776), Revolusi Perancis (1789) dan Deklarasi Universal PBB tentang HAM (1948) dikumandangkan.
Secara formal Piagam Madinah mengatur hubungan sosial antar komponen masyarakat. Pertama, antar sesama muslim, bahwa sesama muslim adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku. Kedua, hubungan antara komunitas muslim dengan non muslim didasarkan pada prinsp bertetangga baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasihati dan menghormati kebebasan beragama.
Akan tetapi secara umum, sebagaimana terbaca dalam teks, piagam Madinah mengatur kehidupan sosial penduduk Madinah secara lebih luas. Ada dua nilai dasar yang tertuang dalam piagam Madinah, yang menjadi dasar bagi pendirian sebuah negara Madinah kala itu. Pertama, prinsip kesederajatan dan keadilan (al-musawwah wal-’adalah) Kedua, keterbukaan. Kedua prinsip itu lalu dijabarkan dalam dan ditanamkan dalam bentuk beberapa nilai universal, seperti konsistensi (i’tidal), keseimbangan (tawazun), moderat (tawasut) dan toleran (tasamuh).
Menurut Nurcholish dalam dokumen Madinah itu pula umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan politik, khususnya pertahanan, secara bersama-sama. Dan di Madinah itu pula, sebagai pembelaan terhadap masyarakat Madani, Nabi dan kaum beriman diizinkan mengangkat senjata, perang membela diri dan menghadapi musuh-musuh peradaban. Membangun masyarakat peradaban itulah yang dilakukan Nabi selama sepuluh tahun di Madinah. Beliau membangun masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis, dengan landasan takwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-Nya.
Oleh sebab itu, dalam negeri Madinah saat itu, walaupun penduduknya heterogen kedudukannya sama, masing-masing memiliki kebebasan untuk memeluk agama dan melaksanakan aktivitas dalam bidang sosial ekonomi. Setiap pihak mempunyai kebebasan yang sama untuk membela Madinah tempat tinggal mereka.
Masyarakat Madinah yang bernilai peradaban itu dapat dibangun hanya setelah Rosulullah melakukan reformasi dan transformasi ke dalam (inner reformation and transformation) pada individu yang berdimensi aqidah, ibadah dan akhlak. Karena iman dan moralitas menjadi landasan dasar Piagam Madinah. Semua prinsip dan nilai di atas menjadi dasar semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi dan hukum masa itu, sehingga masyarakat Madani yang diidealkan itu secara empiris pernah terwujud di muka bumi ini, bukan Baru Bisa Mimpi.
Kiranya uraian di atas lah yang menjadi Misi dari Negara Islam Indonesia, membangun tempat yang diridloi Alloh Azza wa Jalla. Itulah yang membuat ratusan ribu Mujahid Nusantara rela mengucurkan keringat dan menumpahkan darahnya. Meneruskan Estafeta Misi Kenabian.
Oleh: Sholahudin Toha
Post A Comment:
0 comments:
Bro, ekspresikan ruhul jihad mu !!!