Oleh: Khayrurijal
(Mahasiswa S1 Filsafat, FIB UI)

Manusia, sebagai makhluk yang diyakini sebagai makhluk yang berpikir, berjuang mempertahankan kehidupannya di muka bumi dengan berbagai cara. Kemampuan ini mulai dari mengumpulkan makanan, meramu, dan berburu hingga terus meningkat dan menjadi kebudayaan sebagaimana dikenal sekarang. Kebudayaan adalah sebuah sebutan yang luas untuk menyebut berbagai hal yang telah dihasilkan manusia sepanjang sejarah. Berbicara tentang kebudayaan, maka kita berbicara tentang sebuah keseluruhan yang lazimnya memiliki keterhubungan antara unsur yang satu dengan yang lain.

Oleh karena kebudayaan adalah “dunianya” manusia, maka menjadi penting untuk mengetahui apa itu kebudayaan dan bagaimana “perilakunya”. Pengetahuan ini akan menjadi salah satu bekal untuk melihat secara jernih, tentang kehidupan yang sedang kita jalani. Dalam aktivitas praktis manusia, kebudayaan menjadi sebuah hal yang begitu penting. Nilai pentingnya terletak pada fungsinya memberi pedoman untuk bertindak dan memberi individu sebuah identitas. Kebudayaan adalah dinamis, layaknya seorang manusia yang tumbuh dan berkembang sendirian. Sisi dinamis ini akan semakin terlihat ketika terdapat hubungan antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain. Sisi dinamis tersebut dapat dilihat dari bentuk-bentuk hubungan yang ada, seperti asimilasi, akulturasi, adaptasi, adopsi, difusi, dan lain sebagainya.

Kebudayaan, sebagaimana diuraikan di atas, berkaitan erat dengan keberadaan manusia. Kebudayaan dilembagakan oleh manusia. keterkaitan yang erat antara manusia dan kebudayaan, sebenarnya dapat ditarik sebuah persamaan yang cukup mendasar tentang keduanya. Kebudayaan itu, dapat dikatakan, “hidup” sebagaimana manusia hidup dan dapat “mati” sebagaimana manusia mati.

Kebudayaan “hidup” ketika manusia hidup di dalamnya. Hal ini dapat dilihat dalam terminologi yang menunjukkan aktifitas kebudayaan yaitu, akulturasi, asimilasi, difusi, dan lain-lain. Manusia tersebutlah yang bertindak akulturatif, asimilatif, atau difusif. Tindakan tersebut dilakukan oleh manusia, bukan oleh kebudayaan. Bagaimana kebudayaan dapat bertindak sendiri? Tentu hal ini tidak mungkin, karena manusialah yang harus bertindak agar kebudayaannya bertindak. Manusia ibarat seperti “jiwa” dan kebudayaan itu adalah “tubuhnya”. Maka, adalah jiwa yang menggerakkan kebudayaan, secara sadar atau bawah sadar.

“Kehidupan” kebudayaan, seperti juga manusia, ditunjang oleh konsumsi. Konsumsi ini terjadi secara internal dan eksternal. Konsumsi internal dilakukan terhadap kondisi masyarakat. Kondisi masyarakat yang berubah-ubah beriringan dengan munculnya hal-hal yang belum ada sebelumnya. Kondisi inilah yang dikonsumsi, bukan sebaliknya, kondisi yang mengkonsumsi kebudayaan. Dengan kata lain, kondisi masyarakatlah yang disesuaikan dengan kebudayaan, bukan kebudayaan yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat.

Lalu bagaimana dengan persoalan yang muncul dan belum ada sebelumnya? Kebudayaan pada dasarnya memiliki cara untuk menanggapi persoalan baru tersebut. Sebuah metode berdasarkan prinsip yang bersifat utuh, berkesatuan, dan komprehensif. Lewat cara dan prinsip inilah kemudian diberikan tanggapan yang tidak merusak kebudayaan itu sendiri.

Prinsip yang bersifat utuh, berkesatuan, dan komprehensif tersebut juga menjadi alat penyaring atau filter. Alat penyaring yang digunakan untuk konsumsi secara eksternal. Lewat alat penyaring inilah segala sesuatu yang dikonsumsi oleh kebudayaan akan diakulturasikan, dan bukan diasimilasikan. Bukan asimilasi yang terjadi, karena jika asimilasi yang terjadi maka kebudayaan tersebut menjadi tidak utuh dan berkesatuan. Karena ada salah satu unsur yang tidak cocok dengan unsur yang lainnya. Maka, jika yang terjadi adalah asimilasi, harus dilakukan asimilasi secara utuh, jangan parsial. Asimilasi secara utuh berarti juga mengubah prinsip sebuah kebudayaan. Asimilasi yang parsial hanya cenderung merusak kebudayaan, seperti sudah diuraikan. Namun, jika tidak ingin melakukan asimilasi secara utuh, maka jangan melakukan asimilasi.

Selain kebudayaan itu “hidup”, kebudayaan pun dapat “mati”. Kematian kebudayaan terjadi karena manusia yang dahulu hidup di dalam sebuah kebudayaan, meninggalkan – baik secara sadar atau tidak – kebudayaannya itu. Kebudayaan tersebut ditinggalkan karena dua hal yaitu, tidak digunakannya prinsip kebudayaan untuk menjawab persoalan dalam masyarakat maupun sebagai filter, dan ketertarikan kepada kebudayaan lain. Ketidakmampuan untuk menjawab tersebut akan membuat seorang anggota kebudayaan menjadi konservatif atau ortodoks atau kaku, atau menjadi inferior atau secara jujur mengakui kekurangan dan mencari kebudayaan lain yang secara konseptual hingga amal bersifat superior.

Kondisi inferior, selain dapat ditimbulkan oleh ketidakmampuan menjawab persoalan masyarakat, juga dapat ditimbulkan dari serangan kebudayaan lain. Serangan yang membuat kebudayaan yang bersangkutan terlihat rendah dan kebudayaan penyerang terlihat superior (biasanya karena pencitraan dan bukan penelusuran yang mendalam).
Dua kondisi tersebut dapat kita lihat contohnya dalam kehidupan sehari-hari, namun kondisi ketiga saya pikir belum terlalu mendapatkan perhatian. Kondisi tersebut adalah secara jujur mengakui kekurangan kebudayaannya dan kemudian mencari kebudayaan lain yang secara konseptual hingga amal bersifat superior. Kondisi ini ada dalam masyarakat kita. Kondisi yang bukan karena merasa rendah diri, namun karena kejujuran dalam melihat yang mana yang superior dan yang mana dan mana yang tidak superior.

Seperti sudah disebutkan bahwa manusia adalah “jiwa” kebudayaan. Maka, ketika manusia meninggalkan sebuah kebudayaan, itu berarti kebudayaan tersebut tersebut tidak lagi memiliki “jiwa”. Kehilangan “jiwa” ini adalah kematian bagi sebuah kebudayaan – sebagaimana juga terjadi pada manusia.

Kebudayaan yang telah “mati” hanya diperlakukan sebagai “mumi”. Sedangkan kebudayaan yang tidak menjadi “mumi” rasanya tidak ada (karena tetap terdapat artefak yang menjadi “mumi”). Perlakuan tersebut, dikenal erat oleh masyarakat sebagai pelestarian. Pelestarian, dapat dikatakan, merupakan sebuah bentuk dokumentasi atas perjalanan kebudayaan. Dokumentasi yang memang perlu dilakukan, agar dijadikan pelajaran oleh orang-orang yang datang kemudian. Namun, jangan hanya pelestarian yang dilakukan (yang terus digembor-gemborkan selama ini), melainkan juga melakukan pengembangan dengan prinsip kebudayaan. Pelestarian memang juga dilakukan terhadap kebudayaan yang “hidup”, namun bukan hanya pelestarian tetapi juga pengembangan.

Dari tulisan ini dapat ditarik beberapa hal, yaitu:
1. Kebudayaan “hidup”, karena manusia menghidupi kebudayaan tersebut.
2. Manusia menghidupi kebudayaan, dengan mengkonsumsi secara internal (kondisi masyarakat yang berubah dan persoalan baru) dan secara eksternal (kebudayaan lain), dengan menggunakan metode dan filter berdasarkan prinsip kebudayaan yang utuh, berkesatuan, dan komprehensif.
3. Sedangkan, kebudayaan “mati” karena ditinggalkan oleh manusia, sebagai anggota kebudayaan.
4. Manusia meninggalkan kebudayaan karena tidak digunakannya prinsip kebudayaan untuk menjawab persoalan dalam masyarakat maupun sebagai filter, dan ketertarikan kepada kebudayaan lain (secara perang ataupun secara damai).
5. Dan kebudayaan yang “mati” hanya diperlakukan sebagai “mumi” atau dilestarikan.

[][][][][]
Disampaikan pada Diskusi Rutin Komunitas Nuun, 4 Robi`ul Awwal 1428.



Axact

Empiris

Episentrum Pengkajian Islam dan Riset Sosial mengorientasikan diri untuk menjadi katalisator terwujudnya Mulkiyah Allah di muka bumi, dan bersama-sama menggalang kekuatan kolektif dari potensi-potensi yang telah sejak lama berada dipangkuan Ummat Islam... Billahi Hayaatuna Wallahu Fii Hayatil Mustadz'afin... Hidup Kita Bersama Allah, dan Allah Berada Dalam Kehidupan Kaum Tertindas... Inna fatahna laka fathan mubina...

Post A Comment:

0 comments:

Bro, ekspresikan ruhul jihad mu !!!