M. Ridho H.
(Mahasiswa UI, Program Studi Ilmu Perpustakaan)

Manusia hidup bergerak, melakukan sesuatu dan berbuat untuk keberlangsungan hidupnya. Dunia-Manusia sebagaimana telah kita ketahui, begitu dinamis, transformative dan progressif. Setiap hari ada saja hal baru yang ditemukan dan atau dikembangkan oleh manusia. Nampaknya benarlah ungkapan “masa lalu tidak akan pernah kembali”.

Pandangan sosiologis-historis di atas sudah maklum adanya bagi sebagian besar pelajar dan kaum intelektual. Seolah-olah kebenaran pandangan di atas adalah aksioma atau postulat ilmiah (yang empirik) yang tidak dapat dikritisi, apalagi disalahkan. Tapi, apakah ini berlaku untuk seluruh aspek kehidupan? Bagaimana dengan agama?

Sejak SMA kita diperkenalkan dengan Sosiologi dan Antropologi. Dari kedua ilmu inilah kita belajar memahami dunia-manusia dan kehidupannya. Setiap orang saat itu dan hingga kini, harus percaya bahwa kehidupan terus berkembang melalui tahapan-tahapannya. Auguste Comte dan Spencer telah banyak mengajari kita tentang perubahan kehidupan manusia dan aspek-aspeknya.

Perubahan dan Kemajuan
Perubahan dalam tinjauan sosiologis-antropologis sering diartikan sebagai evolusi sosial. Setiap elemen kehidupan senantiasa berubah dan berkembang. Manusia, berdasarkan pentahapan yang disusun oleh Antropolog generasi awal akan melewati fase irrasional menuju fase kehidupan yang rasional dan ilmiah. Secara beurutan fase kehidupan adalah teologis, metafisis, dan ilmiah-teknologis. Singkatnya, cepat atau lambat, manusia akan semakin tidak mempedulikan yang ”sesuatu” tidak konkret dan riil.

Penganut agama, menurut pandangan ini adalah fase pertama kehidupan primitive. Atau paling tidak, ada yang sudah mulai ‘dewasa’ dan mulai berpandangan metafisik. Namun, itu semua tetap terbelakang dan irrasional. Bagi sosiologi, pembahasan dinamika (salahsatu sub ilmu Sosiologi)[1] harus berakhir pada fase ilmiah. Atau dalam bahasa Spencer, “evolusi sosial menjadi lebih kompleks hingga tumbuhlah hukum yang sekuler”.

Kemutlakan proses sekularisasi dalam pandangan ini memaksa manusia untuk meninggalkan teologi dan beralih pada teknologi. Apa-apa yang dikenal sebagai agama hanyalah sebuah proses awal untuk memahami kehidupan. Paling tidak ia adalah anak tangga pertama dari rasio yang baru dilahirkan dari ’rahim ketuhanan’.

Demikian, kemajuan dimengerti sebagai wujudnya teknologi sebagai pengganti teologi. Meksipun sebagai orang tetap saja menganggap teknologi, seperti kata Sapardi Djoko Damono, sebagai takhayul modern. Latas apa makna kemajuan bagi diri manusia sebenarnya. Teknologi, dalam hal ini, tidak samasekali mampu membawa jiwa dan pikiran manusia maju melampaui tahap tahayul dan khurafat. Para teknokrat dan pakar ICT(Information Communication and Technologies) sibuk bergelut dengan berbagai dalil dan hujjah. Sementara kaum awam tetap saja hanya bisa menerima hasil ’ijtihad’ mereka. Mahasiswa Ilmu Budaya misalnya, ia hanya bisa ’taklid’ pada aturan-aturan yang dibuat oleh perancang teknologi ketika ingin menggunakan produk teknologi, meskipun ia menguasai banyak teori kebudayaan. Para Teknokrat dan Pakar ICT tak ubahnya seperti rahib-rahib yang ada pada masa darkages. Tak ada yang bisa mempertanyakan dosa-dosa mereka, apalagi menuntutnya jika ’ijtihadnya’ ternyata merusak. Bahkan para muqollid (orang yang taklid) ada yang sampai ’menyembah’ mereka. Masyarakat yang buta teknologi adalah masyarakat ’jahiliyah’ yang terbelakang dan perlu dibimbing kearah kehidupan yang lebih baik dan kepada kebahagiaan hidup. Satu hal yang dapat kita banggakan, konsumsi alat teknologi yang meningkat dan terus mendesak. Konsekuensinya, industri produksi harus dikembangkan dengan segala kerumitan teknik dan dinginnya bahasa mesin. Inilah fase sosiologis terakhir kehidupan manusia?

Paradigma Agama dan Dunia-Manusia
Jika ada orang yang menyatakan bahwa kehidupan memang harus berkembang dan maju mengikuti peradaban Barat, para aktifis Islam tentu akan mempertanyakannya. Mereka yang jeli dan kritis akan mulai memilah, pada aspek apa Barat harus ditiru. Akan tetapi, apakah kesimpulannya adalah pemisahan; dunia mengikuti logika Barat tetapi agama tidak? Bukankah justru inilah fikrah sikulariyah [2] yang dibenci oleh kaum muslimin?

Jika seperti ini, kita tidak bisa benar-benar memilah mana yang Western dan mana yang Islami. Apakah komputer yang saya gunakan adalah Western, sedang tulisannya tidak. Kemudian jika menggunakan komputer dan internet untuk menghujat Barat dihukumi ’munafik’. Sehingga kesimpulannya yang fisik dan yang metafisik memang mutlak terpisah. Mengertilah kita bahwa permasalah sebenarnya terletak pada paradigma dan framework berpikir.

Pinjam-meminjam unsur kebudayaan dalam sejarah adalah hal yang tidak bisa dihindari. Hal ini adalah lumrah dan tidak dapat disalahkan. Akan tetapi adanya batasan dari proses asimilasi-akulturasi-inovasi pun mutlak bagi eksistensi kebudayaan yang bersangkutan. Nama dari suatu peradaban menujukan entitas tertentu yang khas dan berbeda dari yang lain. Interaksi, baik berupa perang maupun dialog, apapun itu akan terjadi secara alami. Hal yang justru penting diperhatikan adalah identitas dan batas-batasan (berupa norma dan nilai) yang dianut oleh masing-masing pihak yang berseteru.

Paradigma tentang kebudayaan yang kiranya disepakati oleh Ahlul Qiblah (muslim) dan Ahlul Kitab (penganut agama yang berpegang pada Kitab Suci samawi) adalah bahwa kebudayaan pertama adalah apa yang disebut oleh Muhammad Qutb sebagai Adamiyah. Kehidupan Adam selaku khalifatullah di bumi, yang membawa peran dan tugas dari Alloh. Nilai dan norma manusia yang pertama secara umum dapat diketahui dari asma al-husna.

Antropolog penganut teori difusi menyatakan bahwa kebudayaan manusia kemudian berkembang terpencar tanpa harus melalui tahapan-tahapan evolusi secara mutlak. Pernyataan ini dapat kita pahami (dan diyakini), bahwa fase kehidupan berikutnya tidak mutlak lebih baik dan berkualitas dari kehidupan pertama (atau sebelumnya). Menurut agama perubahan segala sesuatu bisa bernilai baik atau buruk. Maka, pembaharuan yang bagaimana yang seharusnya diinginkan dan dilaksanakan?

Pembaharuan dalam Tajdid
Isu-isu kontemporer meramaikan dunia pemikiran kita tentang isu pembaruan. Konon, di Indonesia proses ini sudah berlangsung 30 tahun lebih. Namun yang kita lihat justru belum nampaknya kebangkitan din ini. Yang nampak justru pertentangan antara para pengusung pembaharuan dengan pengusung syari`ah. Sungguh musykil, jika pembaharuan (tajdid asy-syariah) justru bertentangan dengan tathbiqusy syari`ah (penerapan syari`ah). Bagaimana mungkin ini bisa terjadi, sementara nubuwat Nabi menyiratkan bahwa pembaharuan akan membawa kepada kebangkitan (shohwah) [3] .

Dalam Islam apa yang disebut pembaruan adalah tajdīd. Makna tajdid dalam konteks ini adalah devolusi dan bukan evolusi. Definisi tajdid adalah:
Tajdīd atau pembaharuan (agama) yang dimaksud bukanlah taghyīr (perubahan) terhadap hakekat (keutuhan dan kemurnian) agama yang telah baku dan berakar kuat, untuk kemudian disesuaikan dengan keinginan dan hawa nafsu manusia. Sebaliknya, yang dimaksud tajdīd adalah taghyīr (merubah) pemahaman agama yang salah yang telah mengendap dalam benak orang, juga berupa rasm (memberikan pemahaman) yang benar dan gamblang (tentang hakekat agama tersebut) dan ta’dil (meluruskan) keinginan dan tingkah pola masyarakat sesuai dengan tuntunan agama.[4]

Dalam hadith disebutkan: “Sesungguhnya Allah senantiasa akan membangkitkan untuk ummat ini pada akhir setiap seratus tahun (satu abad) orang yang akan memperbaharui din-nya.” (HR. Abu Dawud, al-Hakim, al-Khatib al-Baghdadiy, dan al-Bayhaqiy)

Sebagian orang menyelewengkan makna hadith ini. Setiap yang baru dalam aspek agama lantas dipandang baik dan menjadi populer. Haihata..haihata.. Nabi kita pun telah bersabda: “Setiap yang baru (dalam Din) adalah bid`ah, dan setiap bid`ah adalah dlolal (sesat)”.

Para Ulama berkata tentang hadith pembaharuan ini:

“Bahwa pada setiap seratus tahun Rabb kita akan mengutus bagi ummat ini sebagai anugerah-Nya, seorang `alim yang memperbaharui petunjuk agama, karena dia adalah seorang mujtahid...Menyerukan ilmu sebagai jalan hidupnya, dan membela sunnah melalui lisannya, dan dia adalah seorang yang memiliki banyak ilmu, dan ilmunya diakui oleh penduduk dunia.” [Imam asSuyuthiy dalam at-Tanbi`ah]

“Yang dimaksud dengan pembaharuan (agama) adalah menghidupkan (kembali) amal penerapan al-Qur`an dan as-Sunnah yang telah hilang (dari kehidupan ummat), memerintahkan ummat untuk menerapkan keduanya serta melenyapkan bid`ah dan perkara-perkara baru yang muncul.” [Abu ath-Thayyib dalam `Awn al-Ma`bud Syarh Sunan Abi Dawud]

Dengan pernyataan-pernyataan para ulama di atas, kiranya perlu kita posisikan kedudukan (mawqif) agama dan dunia-manusia dalam konsteks perubahan. Agar tajdīd yang kita harapkan tidak jatuh kepada bid`ah. Kita perlu memperlajari kembali khasanah-khasanah Islam yang kaya.

******


JEJAKAN AKHIR:
[1] Cabang Sosiologi yang diperkenalkan oleh Comte ada dua, yakni: Sosiologi Statika dan Sosilogi Dinamika.
[2] sebagai orang menerjemahkan secularism dengan ’ilmaniyah, ini kurang tepat. Al-Attas menawarkan terma sikulariyah
[3] Lihat: hadith-hadith tentang Thoifah al-najiyah al-manshuroh
[4] As-Silmi Edisi 10 – Jumadil Awwal 1427 H/ Juni 2006 M. “Mencermati Gerakan Pembaharuan”




Axact

Empiris

Episentrum Pengkajian Islam dan Riset Sosial mengorientasikan diri untuk menjadi katalisator terwujudnya Mulkiyah Allah di muka bumi, dan bersama-sama menggalang kekuatan kolektif dari potensi-potensi yang telah sejak lama berada dipangkuan Ummat Islam... Billahi Hayaatuna Wallahu Fii Hayatil Mustadz'afin... Hidup Kita Bersama Allah, dan Allah Berada Dalam Kehidupan Kaum Tertindas... Inna fatahna laka fathan mubina...

Post A Comment:

2 comments:

  1. Anonim19.05

    Teknologi, dalam hal ini, tidak samasekali mampu membawa jiwa dan pikiran manusia maju melampaui tahap tahayul dan khurafat. Para teknokrat dan pakar ICT(Information Communication and Technologies) sibuk bergelut dengan berbagai dalil dan hujjah. Sementara kaum awam tetap saja hanya bisa menerima hasil ’ijtihad’ mereka. Mahasiswa Ilmu Budaya misalnya, ia hanya bisa ’taklid’ pada aturan-aturan yang dibuat oleh perancang teknologi ketika ingin menggunakan produk teknologi, meskipun ia menguasai banyak teori kebudayaan. Para Teknokrat dan Pakar ICT tak ubahnya seperti rahib-rahib yang ada pada masa darkages. Tak ada yang bisa mempertanyakan dosa-dosa mereka, apalagi menuntutnya jika ’ijtihadnya’ ternyata merusak. Bahkan para muqollid (orang yang taklid) ada yang sampai ’menyembah’ mereka. Masyarakat yang buta teknologi adalah masyarakat ’jahiliyah’ yang terbelakang dan perlu dibimbing kearah kehidupan yang lebih baik dan kepada kebahagiaan hidup. Satu hal yang dapat kita banggakan, konsumsi alat teknologi yang meningkat dan terus mendesak.

    Sesuatu yang dianggap benar secara ilmiah kemarin, bisa jadi hanya akan kita anggap sebagai kumpulan takhayul dan mitos saja pada hari ini, atau sebaliknya, dst..

    BalasHapus
  2. susah juga kalo musti menerjemahkan jaman kedalam akidah; apakah akidah yang menerjemahkan jaman atau sebaliknya?? susah kalo ngomongin tafsir.

    BalasHapus

Bro, ekspresikan ruhul jihad mu !!!