Pendahuluan


Islam dibawa dan dihantarkan oleh Rosulullah Muhammad SAW dalam ruang lingkup yang komprehensif. Menjadi pandangan hidup baik secara individual maupun sosial, bahkan 10 tahun terakhir kerisalahannya Rosulullah berperan lebih jauh lagi dalam membentuk satu tatanan sosial yang dibangun dalam kerangka politik dan hukum di Yastrib, yang kemudian kita mengenalnya sebagai Madinah al Munawarah.

Bagi seorang Muslim, Sosok Muhammad bin Abdullah sebagai  Nabi menjadi acuan dasar dalam merealisasikan pemahaman dari tataran idea menjadi satu bentuk pola hidup yang aplikatif, dimana posisinya sebagai Rosul atau penyampai ketetapan Allah dan mengawalnya hinga menjadi ketetapan umat manusia, hingga pada akhirnya ketetapan Allah ini menjadi satu tatanan politik dan hukum dalam hal pembakuan sistem sosial yang dikehendaki  oleh Allah, dan pada posisi ini pula Nabi Muhammad menjadikan dirinya sebagai Imam sekaligus Waliyul Amri di  Madinah.


Dalam sekian masa peradaban umat manusia, sejak Adam AS hingga Muhammad SAW, Madinah merupakan titik kulminasi bagi konsep hidup manusia yang sempurna, meski terjadi didalam satu teritorial yang saat itu dianggap tidak menarik bagi 2 Peradaban Timur dan Barat yang diwakili Persia dan Romawi, akan tetapi Madinah menjadi satu-satunya di masanya membentuk satu tatanan  masyarakat modern, egaliter, dan plural. Satu Masyarakat yang dinaungi dan dilindungi oleh satu tatanan politik kenegaraan yang tidak pernah dikenal saat itu kecuali sempat menjadi satu teori  di Yunani jauh sebelumnya. Satu tatanan yang di Yunani masih berupa Utopia, akan tetapi Rosulullah Muhammad mampu merealisasikan dengan membangun satu peradaban politik yang di masa ini kita kaum muslimin mengikuti tatanan yang ditawarkan barat dengan istilah Republik ataupun Demokrasi. Rosulullah di Madinah membangun peradaban sosial politik dengan cara Revolusioner selama 13 tahun di mekah melalui pembangunan individual ideologi  secara utuh, yang kemudian personal ideologi ini terbangun dengan sendirinya dalam tatanan politik menjadi satu masyarakat Islam, terikat melalui tatanan kenegaraan di Madinah. Kemudian Rosulullah menyempurnakannya selama 10 tahun sisa kenabiannya. 


Tatanan yang dibangun merupakan penyempurnaan apa yang sudah menjadi tradisi di kalangan quraish, yaitu dilandasi musyawarah antar golongan (kabilah) melalui perwakilan para pimpinannya, Turunan Ibrahim as, dari Isma’il as yang tersentralisasi di Mekah dalam kurun waktu berabad-abad hampir tidak pernah sekalipun dibangun melalui peradaban politik otoritarian, dalam sejarah didirikannya Mekah oleh Hajar dan Isma’il hingga datangnya kenabian Muhammad SAW, tidak pernah dikenal berdirinya satu kerajaan yang khusus didirikan oleh turunannya, sedikit berbeda dengan turunan Ishaq as yang dikenal telah mendirikan kerajaan Israil. Quraish disaat dimulainya Kenabian Muhammad SAW, terbangun satu tatanan politik yang demokratis melalui Daarun Nadwah, satu pusat kebijakan politik ataupun hukum yang didalamnya terdapat utusan-utusan kabilah, dan utusan golongan atau partai. Terdapat beberapa partai yang dikenal saat itu, diantaranya Hilful La’qoh dan Hilful Fudzul, mereka membagi eksekutif berdasarkan kebutuhan masyarakat terutama karena memang Mekah menjadi sentral peribadatan bagi kalangan Arab sebagai turunan Ismail terutama di daerah Hijaz, sehingga datangnya masyarakat baik di hari biasa ataupun musim haji memerlukan pengaturan khusus, bahkan sempat diantara Quraish silang pendapat dalam hal siapa yang berhak menduduki jabatan eksekutif tertentu. Abu Jahal dikenal pula sebagai Abal Hakam, atau bapaknya hukum, satu sebutan terhormat karena memang mempunyai kemampunan memahami hukum didalam milah ibrahim, agama yang dipercaya oleh turunan ismail tersebut. Bahwa kemudian tatanan hukum pada akhirnya banyak yang direkayasa turunannya hingga banyak penyimpangan, hal inilah salah satu fungsi kerosulan Muhammad SAW ketika diturunkan nubuwwah kepadanya sebagai bagian masyarakat quraish.


Tatanan yang dibangun di Yastrib yang kemudian dirubah namanya sebagai Madinah oleh Rosulullah, dapat dikatakan sebagai penyempurna tatanan politik di Mekah saat itu. Satu tatanan yang dilandasi Musyawarah dalam pengambilan keputusan dimana di era modern dikenal sebagai Demokrasi. Dengan membangunnya melalui kekuasaan yang egaliterian, tidak melihat strata turunan atau pun materi, dibangun oleh segenap rakyat yang diwakilkan kepada para pimpinan mereka. Hal ini tercermin didalam satu konstitusi saat Rosulullah mengawali pembangunan peradaban politik di Yastrib di tahun pertama paska Hijrah. Konstitusi yang dikenal sebagai Suhuf Madinah atau Orientalis seperti H.R. Gibb dan Montgomery Watt menyatakannya sebagai Madinah Charter (piagam Madinah). Kedua Orientalis ini bahkan sepakat menyatakan Piagam Madinah ini sebagai Dokumen Politik, yang menjadi konstitusi dasar bagi terbentuknya Negara Islam pertama Madinah al Munawarah.


Rosulullah dapat dikatakan membentuk satu prototype peradaban sosial politik manusia modern yang belum pernah ada sebelumnya, bahkan hasil Revolusi Amerika belum berhasil membangun peradaban yang sebanding setelah ratusan tahun berjalannya sejak dibangunnya. Sedangkan Rosulullah hanya membutuhkan 10 tahun dan dilanjutkan 40 tahun kemudian oleh pengikutnya. Meskipun berumur relatif pendek (Mu’awiyah mengganti peradaban politik kembali mengalami kemunduran dengan diberlakukannya sistem monarki absolut) akan tetapi sudah cukup untuk dijadikan satu prototype bagi pengikutnya kemudian untuk membentuk kembali peradaban yang sama.


Masyarakat Islam Yang Sebenarnya adalah Masyarakat Islam yang dibangun dalam tatanan ini, bukan masyarakat yang dibangun setelahnya (era Mulkan/Dinasti/Monarki), satu Masyarakat Mukmin yang berhasil dipersaudarakan oleh Rosulullah, satu Masyarakat plural yang diberlakukan sama dimata hukum untuk mendapatkan satu keadilan sempurna, satu masyarakat yang diberikan hak sepenuhnya dalam melaksanakan hidup dimana setiap haknya dilindungi oleh Hukum yang ditatapkan Allah dan RosulNya, bahkan kaum non muslim diberikan hak penuh dalam melaksanakan keyakinannya untuk membentuk peradaban sendiri dan ini dilindungi oleh konstitusi (Piagam Madinah), memilih pemimpin sendiri, melaksanakan hukum sendiri, berdagang dengan pola sendiri bahkan mempunyai angkatan perang sendiri. Satu Masyarakat yang digambarkan didalam Al Qur’an:
Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al Kitab/Suhuf) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka. (Al Maidah:66)


Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu, (al Maidah:48)


Satu negeri yang merupakan ijabah dari do’a Ibrahim as :
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali". (Al Baqarah:126)

Rosulullah mencapainya dalam 10 tahun, dan menukil isi Orasi Politik Rosulullah di Haji Wada dimana beliau menyampaikan pernyataan Allah tentang perjalanan beliau mencapai puncak :
...... Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) Diin mu (Sistem Aturan Hidup yang telah berdaulat), sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu Diin mu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi Diin (Sistem Aturan Hidup) bagimu.... (al Maidah:3).
Kesempurnaan Diin itu ketika Diin sudah menjadi tata aturan di masyarakat islam, masyarakat majemuk dan plural, tertata dengan sempurna melalui tatanan hukum dengan keadilan yang sempurna pula.

Membedah Konstitusi Madinah

 

Suhuf Madinah merupakan lembaran-lembaran kesepakatan Rakyat Yastrib yang diwakili oleh para pemimpin mereka, antara Rosulullah sebagai Pemimpin kaum Mukminin, yang didalamnya terdapat perwakilan dari kaum Muhajirin dan Anshor, kemudian Kaum yang pernah mengikatkan diri dengan mereka (Anshor dalam hal ini Aus dan Khazraj) dimana mereka kemudian membentuk ikantan kesepakatan baru (Suhuf Madinah), didalamnya adalah Kaum Yahudi yang berada di Yastrib, dari beberapa Kabilah.

Didlam Suhuf ini belum terdapat beberapa kabilah Bani Israil sekitar Yastrib seperti Bani Qainuqo, Bani Nadhir, dan Bani Quraidzah, belum juga beberapa Kabilah badui. Akan tetapi pada akhirnya mereka semua menyepakati kesepakatan ini dan diatur dalam peraturan berikutnya. Suhuf ini menjadi acuan dasar atau konstitusi dalam menjalankan pemerintahan Madinah hingga Revolusi selesai bahkan sesudahnya, masih dipergunakan hingga kekhalifahan Ali bin Abu Thalib dan terhenti setelah Mu’awiyah memimpin dengan pola Monarki Absolut (Bani Umayyah).

Konstitusi ini menjadi satu kesepakatan yang mengikat, dimana para kabilah penanda tangan ini meskipun berbeda etnis dan keyakinan, Rosulullah menyebutnya sebagai Umatan Wahidah (Satu Bangsa), oleh A.J. Winsick dalam karyanya Mohammed en de joden te Madina, tahun 1928 M, suhuf ini dibuat tersusun menjadi 47 Pasal (penulis lain membaginya lebih dari 47 pasal), kemudian oleh Zainal Abidin Ahmad membaginya dalam 10 Bab.

Berikut petikan lengkap terjemahan Piagam Madinah yang terdiri dari 47 pasal:


I. PREAMBULE
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ini adalah piagam dari Muhammad, Rasulullah SAW, di kalangan mukminin dan muslimin (yang berasal) dari Quraisy dan Yatsrib (Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka.


II. PEMBENTUKAN UMAT
Pasal 1: Sesungguhnya mereka satu bangsa (Umatan Wahidah), lain dari (komunitas) manusia lain.
Pasal 2: Kaum Muhajirin (pendatang) dari Quraisy sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka dan mereka membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 3: Banu ‘Awf, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 4: Banu Sa’idah, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 5: Banu al-Hars, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 6: Banu Jusyam, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 7: Banu al-Najjar, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 8: Banu ‘Amr Ibn ‘Awf, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 9: Banu al-Nabit, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 10: Banu al-’Aws, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.


III. PERSATUAN SEAGAMA
Pasal 11: Sesungguhnya mukminin tidak boleh membiarkan orang yang berat menanggung utang di antara mereka, tetapi membantunya dengan baik dalam pembayaran tebusan atau diat.
Pasal 12: Seorang mukmin tidak dibolehkan membuat persekutuan dengan sekutu mukmin lainnya, tanpa persetujuan dari padanya.
Pasal 13: Orang-orang mukmin yang takwa harus menentang orang yang di antara mereka mencari atau menuntut sesuatu secara zalim, jahat, melakukan permusuhan atau kerusakan di kalangan mukminin. Kekuatan mereka bersatu dalam menentangnya, sekalipun ia anak dari salah seorang di antara mereka.
Pasal 14: Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran (membunuh) orang kafir. Tidak boleh pula orang mukmin membantu orang kafir untuk (membunuh) orang beriman.
Pasal 15: Jaminan Allah satu. Jaminan (perlindungan) diberikan oleh mereka yang dekat. Sesungguhnya mukminin itu saling membantu, tidak tergantung pada golongan lain.


IV. PERSATUAN SEGENAP WARGA NEGARA
Pasal 16: Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (mukminin) tidak terzalimi dan ditentang (olehnya).
Pasal 17: Perdamaian mukminin adalah satu. Seorang mukmin tidak boleh membuat perdamaian tanpa ikut serta mukmin lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Allah Allah, kecuali atas dasar kesamaan dan keadilan di antara mereka.
Pasal 18: Setiap pasukan yang berperang bersama kita harus bahu-membahu satu sama lain.
Pasal 19: Orang-orang mukmin itu membalas pembunuh mukmin lainnya dalam peperangan di jalan Allah. Orang-orang beriman dan bertakwa berada pada petunjuk yang terbaik dan lurus.
Pasal 20: Orang musyrik (Yatsrib) dilarang melindungi harta dan jiwa orang (musyrik) Quraisy, dan tidak boleh bercampur tangan melawan orang beriman.
Pasal 21: Barang siapa yang membunuh orang beriman dan cukup bukti atas perbuatannya, harus dihukum bunuh, kecuali wali si terbunuh rela (menerima diat). Segenap orang beriman harus bersatu dalam menghukumnya.
Pasal 22: Tidak dibenarkan bagi orang mukmin yang mengakui piagam ini, percaya pada Allah dan Hari Akhir, untuk membantu pembunuh dan memberi tempat kediaman kepadanya. Siapa yang memberi bantuan atau menyediakan tempat tinggal bagi pelanggar itu, akan mendapat kutukan dan kemurkaan Allah di hari kiamat, dan tidak diterima daripadanya penyesalan dan tebusan.
Pasal 23: Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah ‘azza wa jalla dan (keputusan) Muhammad SAW.


V. GOLONGAN MINORITAS
Pasal 24: Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.
Pasal 25: Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya.
Pasal 26: Kaum Yahudi Banu Najjar diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 27: Kaum Yahudi Banu Hars diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 28: Kaum Yahudi Banu Sa’idah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 29: Kaum Yahudi Banu Jusyam diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 30: Kaum Yahudi Banu al-’Aws diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 31: Kaum Yahudi Banu Sa’labah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf, kecuali orang zalim atau khianat. Hukumannya hanya menimpa diri dan keluarganya.
Pasal 32: Suku Jafnah dari Sa’labah (diperlakukan) sama seperti mereka (Banu Sa’labah).
Pasal 33: Banu Syutaybah (diperlakukan) sama seperti Yahudi Banu ‘Awf. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu lain dari kejahatan (khianat).
Pasal 34: Sekutu-sekutu Sa’labah (diperlakukan) sama seperti mereka (Banu Sa’labah).
Pasal 35: Kerabat Yahudi (di luar kota Madinah) sama seperti mereka (Yahudi).


VI. TUGAS WARGA NEGARA
Pasal 36: Tidak seorang pun dibenarkan (untuk perang), kecuali seizin Muhammad SAW. Ia tidak boleh dihalangi (menuntut pembalasan) luka (yang dibuat orang lain). Siapa berbuat jahat (membunuh), maka balasan kejahatan itu akan menimpa diri dan keluarganya, kecuali ia teraniaya. Sesungguhnya Allah sangat membenarkan (ketentuan) ini.
Pasal 37: Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya, dan bagi kaum muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan muslimin) bantu-membantu dalam menghadapi musuh Piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasihat. Memenuhi janji lawan dari khianat. Seseorang tidak menanggung hukuman akibat (kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya.
Pasal 38: Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.


VII. MELINDUNGI NEGARA
Pasal 39: Sesungguhnya Yatsrib itu tanahnya “haram” (suci) bagi warga Piagam ini.
Pasal 40: Orang yang mendapat jaminan (diperlakukan) seperti diri penjamin, sepanjang tidak bertindak merugikan dan tidak khianat.
Pasal 41: Tidak boleh jaminan diberikan, kecuali seizin ahlinya.


VIII. PIMPINAN NEGARA
Pasal 42: Bila terjadi suatu peristiwa atau perselisihan di antara pendukung Piagam ini, yang dikhawatirkan menimbulkan bahaya, diserahkan penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah ‘azza wa jalla, dan (keputusan) Muhammad SAW. Sesungguhnya Allah paling memelihara dan memandang baik isi Piagam ini.
Pasal 43: Sungguh tidak ada perlindungan bagi Quraisy (Mekkah) dan juga bagi pendukung mereka.
Pasal 44: Mereka (pendukung Piagam) bahu-membahu dalam menghadapi penyerang kota Yatsrib.


IX. POLITIK PERDAMAIAN
Pasal 45: Apabila mereka (pendukung piagam) diajak berdamai dan mereka (pihak lawan) memenuhi perdamaian serta melaksanakan perdamaian itu, maka perdamaian itu harus dipatuhi. Jika mereka diajak berdamai seperti itu, kaum mukminin wajib memenuhi ajakan dan melaksanakan perdamaian itu, kecuali terhadap orang yang menyerang agama. Setiap orang wajib melaksanakan (kewajiban) masing-masing sesuai tugasnya.
Pasal 46: Kaum yahudi al-’Aws, sekutu dan diri mereka memiliki hak dan kewajiban seperti kelompok lain pendukung Piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan penuh dari semua pendukung Piagam ini. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu berbeda dari kejahatan (pengkhianatan). Setiap orang bwertanggungjawab atas perbuatannya. Sesungguhnya Allah paling membenarkan dan memandang baik isi Piagam ini.


X. PENUTUP
Pasal 47: Sesungguhnya Piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar (bepergian) aman, dan orang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan takwa. Dan Muhammad Rasulullah SAW.


...........000000...............


Rosulullah membuka Piagam ini dengan penegasan siapa saja yang terikat oleh aturan dan hukum, dimana mereka sepakat menandatanganinya, yang kemudian di dalam klausul pertama, mereka semua dinyatakan sebagai Umatan Wahidah. Sebagai satu Bangsa. Ikatan ini menjadi lebih jauh lagi bukan saja mengikat dalam sudut politik dan hukum, akan tetapi menjadi ikatan kultural. Karena pada dasarnya, disepakatinya satu konstitusi bagi suatu bangsa akan membentuk satu kultur baru atas dasar satu tata aturan baru didalam masyarakat yang disepakati bersama sebagai sebuah norma baru.

Pada klausul di ketetapan-ketetapan awal (Pasal 1 – 10 ) disebutkan bagai mana kultur setiap golongan (Kabilah) dilindungi oleh hukum, norma setiap kabilah yang tidak bertentangan dengan norma hukum yang ditetapkan oleh Rosulullah diberikan keleluasaan untuk tetap menjadi norma di golongannya masing-masing.

 Ketika Tahun pertama hijriyah Rosulullah membuat langkah strategis dalam membentuk satu kekuatan yang solid diantara kaum mukminin, diantaranya adalah mempersaudarakan muhajirin dan anshor, yang akhirnya persaudaraan ini ditegaskan kembali didalam Konstitusi Madinah terutama didalam hal hubungannya dengan orang diluar kaum mukminin (Pasal 11-15), yang berhubungan dengan hutang piutang hingga permasalahan tebusan atau diat, masalah persekutuan atau pembentukan aliansi, mengantisipasi kejahatan atau kriminalitas dari internal ataupun eksternal, dan pembelaan maksimal sesama kaum mukminin termasuk dalam pembunuhan satu tradisi Arab dimana satu orang dari kelompok kabilah terbunuh bisa mengakibatkan pembelaan dari seluruh kabilah dan para sekutunya, pemahaman ashobiyah semacam ini dirubah secara total oleh Rosulullah dengan satu ikatan baru yang dilindungi konstitusi.

Pasal 14: Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran (membunuh) orang kafir. Tidak boleh pula orang mukmin membantu orang kafir untuk (membunuh) orang beriman.

Satu catatan penting bagi terminologi Kafir didalam konstitusi, haruslah difahami dari sudut padang politik, dimana konstitusi ini ditetapkan sebagai perjanjian politik, didalam konstitusi ini mempunyai banyak peristilahan seperti mukmin, muslim, yahudi, musyrik, dan kafir. Seperti dalam kasus di Pasal 14, yang dimaksud Kafir adalah diterapkan bagi Kabilah-kabilah yang masih menolak menandatangani Konstitusi Madinah. Bagi penandatangan Konstitusi, mereka bukan ditatapkan sebagai Kafir secara politik, mereka tunduk kepada setiap ketetapan didalam konstitusi termasuk mengembalikan segala permasalahan hukum kepada ketetapan Allah dan Rosulullah Muhammad (Pasal 23).

Independensi Mukmin dan mencoba menjadi hegemoni di Yastrib diperlihatkan didalam Pasal 15 oleh Rosulullah, dimana Rosulullah memperlihatkan kepada khalayak rakyat Yatrib tentang kekuatan persatuan diantara para pendukung utamanya itu, dan mereka pada dasarnya sanggup berdiri dan berdaulat meski kalangan non mukmin menolak kedaulatan (realtianya yang menolak hanya minoritas)

Pasal 15: Jaminan Allah satu. Jaminan (perlindungan) diberikan oleh mereka yang dekat. Sesungguhnya mukminin itu saling membantu, tidak tergantung pada golongan lain.

Pada pasal berikutnya, Rosulullah menegaskan tentang keluhuran Islam sebagai Ideologi yang melingkupi ketentuan keadilan politik dan hukum, dimana kalangan Yahudi (penentang kerosulan Muhammad), ketika berposisi sebagai bagian Ummat didalam Daulah Madinah, atau sebagai pendukung konstitusi negara mendapatkan perlindungan politik seluas-luasnya. 

Pasal 16: Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (mukminin) tidak terzalimi dan ditentang (olehnya).


Pada dasarnya pasal ini berlaku bagi seluruh warga negara, dari golongan manapun mereka, tidak melihat keyakinan atau Diin yang dianut.


Kaum Musyrikin Yastrib, dalam hal ini adalah pengikut Milah Ibrahim dari kalangan Kabilah Badui sekitar Yastrib, atau yang sudah bermukim di Yastrib sebagai penanda tangan Konstitusi, mendapatkan penegasan konsekwensi atas dukungannya terhadap kedaulatan madinah, dengan pelarangan dukungan secara mutlak kepada kedaulatan Mekah (Musyrikin Quraish), seperti yang diterangkan di awal tulisan ini, bahwa Quraish di Mekah merupakan kalangan terhormat dari keturunan Ibrahim as. Yang sebelum berdaulatnya Madinah, Daarun Nadwah adalah pusat kekuasaan di sekitar Hijaz termasuk Yastrib. Sehingga terdapas salah satu klausul didalam konstitusi ini memberi penegasan terputusnya hubungan dengan kekuasaan Mekah setelah kesepakatan meberikan loyalitas kepada konstitusi Madinah.

Pasal 20: Orang musyrik (Yatsrib) dilarang melindungi harta dan jiwa orang (musyrik) Quraisy, dan tidak boleh bercampur tangan melawan orang beriman.


Sebelumnya Konstitusi menegaskan tentang Aliansi kekuatan baru yang terikat secara politik dan hukum, satu kekuatan perang baru muncul dari rakyat yang termobilisir sempurna (dalam ikatan politik yang kokoh), dimana setiap individu warga negara mempunyai kewajiban yang sama dalam membela kedaulatan negara.


Kembali dalam pembahasan satu klausul yang menjadi dasar utama konstitusi Madinah, yang merupakan parameter dasar bagi kriteria satu konsep negara yang telah di dirikan oleh Rosulullah di Yastrib yang kemudian menyebar ke seluruh Hijaz, Persia, Syam dan  Mesir. Masih dalam koridor konstitusi Madinah hingga masa Ali Bin Abi Thalib. Yaitu Klausul tentang Hukum Tertinggi didalam Konstitusi yang mencakup wilayah kedaulatan Islam. Yaitu bahwa setiap permasalahan hukum diantara manusia yang berada didalamnya, ketika terjadi permasalahan horizontal diantara manusia itu sendiri, maka hukum tertinggi yang menjadi rujukan adalah Ketetapan Allah SWT dan Rosulullah Muhammad SAW.

Pasal 23: Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah ‘azza wa jalla dan (keputusan) Muhammad SAW.


Banyak kesalah fahaman dari kalangan intelektualis Islam ataupun para orientalis yang memperhatikan perjalanan Islam masa Muhammad SAW, ataupun sesudahnya. Yang pada dasarnya setiap ilmu atau tulisan dapat diharapkan menjadi rujukan bagi generasi di masa datang, terutama bagaimana mereka memandang sempit dan kurang memperhatikan perjalanan Rosulullah di Madinah dari sudut pandang politik dan kenegaraan, bahkan sebagian diantara mereka berfikir begitu kerdil hingga mempunyai kesimpulan Rosulullah tidak pernah berkecimpun dalam urusan politik ataupun kenegaraan. Padahal peletak dasar Politik Modern dimana seorang yang memimpin pergerakan mampu hingga merealisasikan satu gagasan dan idea hingga terealisasi sempurna dalam tatanan yang kokoh, belum pernah ada yang sanggup melakukannya kecuali Rosulullah Muhammad SAW di abad 7 M. Rosulullah mampu memobilisir seluruh rakyat dengan berbagai etnis, strata dan kelas, keyakinan, kabilah/suku dengan tanpa mereka merasa dijajah, diberikan hak penuh untuk melaksanakan keyakinan mereka masing-masing, dengan adat istiadat/tradisi/kultur tanpa intervensi apapun dari kekuasaan, bahkan memberikan hak melaksanakan Hukum dan kekuasaan sendiri seperti apa yang Rosulullah berikan kepada beberapa kabilah Bani Israil, menjadikan Madinah sebagai Negara pertama yang Merdeka secara utuh sebagai Negara, memberikan kemerdekaan yang utuh pula kepada segenap rakyatnya yang ada. Dan hingga saat ini, tidak ada yang mampu dari Negara manapun baik Barat ataupun Timur, baik Negara non Muslim atau bahkan Negara berpenduduk muslim yang mampu melaksanakan Manhaj ini. 

Banyak pemahaman yang keliru menterjemahkan Islam dalam paradigma politik, kekeliruan yang ekstrim ketika satu fihak dari kalangan sekuleris menyatakan bahwa Islam hanyalah sebagai agama individual, sudut pandang sosial hanya dalam koridor hubungan kemanusiaan sebagai etis dan norma kultural. Dan difihak lainnya memandang bahwa Islam Politik harus berkuasa dalam artian seluas luasnya, dimana seluruh rakyat yang ada haruslah tunduk kepada hegemoni Hukum Islam, yang dimaksud didalamnya adalah hukum untuk kalangan islam dalam pemahaman yang sempit dan bahkan menjadi propaganda perluasan kekuasaan Tiran. Tidak diberikannya hak yang sama bagi kalangan non muslim, bahkan menyempitkan arti Kafir Dzimmy dengan istilah kafir yang tunduk (dalam penjajahan kekuasaan Islam). Hal yang wajar kedua pemahaman keliru ini terjadi, atas satu perubahan yang terjadi lebih dari 1500 tahun ketika Kekuasaan Islam terlepas dari Manhaj (Ideologi Gerakan) yang sudah digariskan oleh Rosulullah di Madinah, dan dipraktikan oleh para Sahabat Khulafarusyiddin. Dimana selama 1500 tahun Islam menjadi satu kekuasaan Imperium penjajahan di seluruh dunia. Ketika pada saat yang sama kaum intelektualis akhirnya menjauhi kekuasaan hingga apatis terhadap kekuasaan itu sendiri dan fatalistik menjadi individualis (sufistik), dan sekulerisasi diperkuat oleh kekuatan musuh islam yang menghendaki beralihnya imperium ke tangan mereka. Sehingga lengkaplah sudah apa yang dinyatakan didalam salah satu hadits. “ Islam akan tercerabut dari aslinya, diawali dari hukum (penyimpangan syari’at), kemudian yang terakhir adalah sholat (aplikasi diin secara individual ataupun dalam sudut pandang sosio politik)” 


Didalam Konstitusi Madinah, memahami Klausul di pasal 23 tidaklah dari paradigma sekularis ataupun dari pemahaman pengikut Imperium era Dinasti Islam, akan tetapi dari sudut pandang bagaimana Rosulullah meberlakukannya di Madinah, ketika Rosulullah memberikan hak penuh kepada bani Israil dalam melaksanakan hukum mereka, bahkan ketika mereka mencoba melakukan banding dan meminta Rosulullah menangani kasus, Rosulullah mengutus sahabatnya yang masih berdarah Bani Israil (yang telah mukmin) menjadi qodhi dan memutuskan perkara mereka menggunakan Taurat.(asbabun nuzul Al maidah:42), lebih jauh lagi, bahkan Rosulullah memberlakukan kembali hukum Taurat di kalangan Yahudi dengan seluaas-luasnya dan mendapatka perlindungan politik dalam hal ini. Maka, jika dikembalikan ke dalam klausul pasal 23, apa yang menjadi kebijakan Rosul memberikan hak penuh kepada setiap golongan memberlakukan hukum tata aturannya sendiri bagi kalangan internal mereka, hal ini dipandang sebagai ketatapan Allah dan RosulNya. Ini termasuk Hukum Islam, Hukum yang diberlakukan di Negara Madinah.
Termaktub didalam pasal berikutnya (Pasal 25)

Pasal 25: Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi Diin mereka, dan bagi kaum muslimin Diin mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya.


Klausul di pasal ini adalah penegasan isi pasal 1, bagaimana rakyat Madinah apapun etnis dan keyakinannya diangga telah menjadi satu bangsa dibawah konstitusi Madinah. Penegasan untuk melaksanakan Diin (Sistem Aturan Hidup) sesuai keyakinan setiap rakyat dan dilindungi oleh hukum. (pola pengaturan dilaksanakan melalui tata aturan kenegaraan, dimana kebebasan pelaksanaan hukum Taurat di kalangan Yahudi dibatasi di teritorial yang mereka duduki)

Satu Bangsa yang terikat konstitusi, tidaklah kemudian dijadikan alasan bagi penguasa untuk memaksakan kehendak dalam hal pelaksanaan hukum atau kebijakan politik, Rosulullah menetapkan aturan (Undang-undang) didalam konstitusi ini sangat proporsional dan adil. Dan ruang lingkup ini (1 bangsa yang terdiri dari berbagai komunitas merdeka melaksanakan kebijakan politik dan hukum) dipandang masih didalam kriteria klausul Pasal 23 diatas (sesuai ketetapan Allah dan RosulNya). Dan hal ini, mencakup sangat luas ketika konstitusi ini diberlakukan bukan hanya kepada penanda tangan konstitusi (kabilah pendukung) akan tetapi mencakup kepada seluruh kabilah yang mengikuti (dibawah perlindungan) mereka, sehingga konstitusi ini menjadi pengikat yang jauh lebih luas lagi untuk komunitas di seluruh teritorial Yastrib dan sekitarnya.
                                                               
Mereka saling memberi saran dan nasihat”...ini adalah klausul yang sangat luar biasa di jamannya, tertera di pasal 37 berlaku antara muslim dan yahudi, atau dengan kalangan manapun dari perwakilan penandatangan konstitusi ini (termasuk kaum musyrikin/pengikut millah ibrahim), mereka dipandang sejajar dalam status politik, duduk bersama setiap perwakilan didalam majelis syuro (para penanda tangan konstitusi/utusan kabilah) berhak memberikan saran politik atau nasihat yang akan menentukan kebijakan negara.

Sebagian intelektualis muslim memandang rendah kaum minoritas atau non muslim dalam hal penentuan kebijakan politik, tidak proporsional dalam menempatkan dalil sesuai kondisi (Pada saat Rosulullah Berkuasa seharusnya menjadi rujukan utama) semisal beberapa ayat dibawah ini,


Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang dzalim itu sesudah teringat (akan larangan itu). (al an’am:68)


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.( al Maidah:51)


Dua ayat ini tidaklah berhubungan dengan status pemimpin mereka yang berhak duduk bermusyawarah memberi nasihat, dimana hak ini dilindungi secara politik. Kedua ayat diatas hanyalah mencakup perintah kepada kaum mukminin untuk memberikan loyalitas penuh kepada Allah dan RosulNya, kepada konstitusi negara, bukan kepada hasrat kekuasaan sebagian penguasa Bani Israil yang mana diantar mereka ada yang pada dasarnya menolak eksistensi konstitusi itu sendiri.


Pasal 39: Sesungguhnya Yatsrib itu tanahnya “haram” (suci) bagi warga Piagam ini.


Yastrib disepakati oleh seluruh kabilah pendukung konstitusi untuk dinyatakan sebagai “tanah haram”, Tanah yang diatasnya tidak lagi diperkenankan berjalannya Hukum Jahiliyah atau Tanah tempat diberlakukannya Hukum Allah yang suci. Satu wilayah dimana diberlakukannya aturan dan sistem, dan berdaulatnya hukum yang adil (Diin), yang akan memberikan cahaya rahmat bagi semesta alam yaitu berupa keadilan dan kesejahteraan bagi para penduduknya.


Selain berbicara Aliansi atau persekutuan perang, kewajiban bekerja sama dalam peperangan sebagai bakti suci pada konstitusi yang disepakati, pada pasal 45 ditetapkan pula tentang perjanjian damai, dimana ini akan mengikat bagi seluruh kekuatan yang ada di Madinah. Setiap perjanjian yang telah disepakati dengan pihak musuh melalui perwakilan atau delegasi dari Rosulullah, maka hal ini akan mengikat bagi seluruh pendukung konstitusi sebagai satu perjanjian damai pula. Pasal ini memberi gambaran kepada kita tentang Islam yang mencintai perdamaian, peperangan bukanlah satu alat politik penyebar kekuasaan dan pengaruh, Perang adalah pembelaan terhadap kedaulatan dan konstitusi negara. Dalam pasal perjanjian ini sangat jelas terlihat bagaimana Rosulullah akan mengutamakan perjanjian damai sebagai awal dari perdamaian umat manusia.


Piagam ini ditutup dengan satu klausul penegasan terhadap kedudukan konstitusi (Piagam)
Pasal 47: Sesungguhnya Piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar (bepergian) aman, dan orang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan takwa. Dan Muhammad Rasulullah SAW.


Pernyataan tegas terhadap pelanggar konstitusi (orang zalim) dan mereka yang berkhianat terhadap kesepakatan konstitusi, dimana mereka tidak akan mendapatkan pembelaan politik. Sedangkan bagi bereka yang berbuat baik dan takwa (pelaksana konstitusi/syari’at) Rosulullah menyatakannya “Allah adalah Penjamin”, mereka akan mendapatkan perlindungan hukum dan politik, mendapatkan keadilan, dan tidak akan teraniaya.


Dari paparan singkat ini, jelas bahwa dari sisi komposisi masyarakat Madinah yang diakui dalam Piagam Madinah itu memang terdiri dari beberapa kelompok komunitas (plural). Namun semua kelompok itu tunduk kepada sistem dan hukum Islam . Dalam masalah mu’amalah dan uqubat, orang-orang musyrik dan komunitas Yahudi, semuanya tunduk kepada sistem dan hukum Islam, sebagaimana juga warga negara Muslim. Seluruh warga negara, Muslim maupun Non Muslim berkedudukan sama di hadapan hukum, memiliki hak dan kewajiban yang sama dan adil tanpa ada diskriminasi. Mereka juga berkewajiban menjaga stabilitas negara secara bersama-sama, tidak bebas membentuk kelompok atau bekerjasama/berkonspirasi dengan komunitas lain, tanpa izin dari Rasul saw sebagai kepala negara. 

Inilah yang dimaksud ketetapan Allah dan RosulNya. Memberikan ruang kepada setiap hak dengan merdeka, tapi tidak juga menjadi satu tatanan Hedonis dan permisif, dimana tata aturan apapun dari keyakinan (Diin) manapun itu pada dasarnya tidak lah memberikan ruang bagi kedzaliman dan kemaksiatan.

Mengadakan Musyawarah untuk kemufakatan politik, menetapkan kebijakan serta hukum, hal ini dinyatakan didalam konstitusi untuk menjadi standar acuan bagi pemangku kebijakan negara.  Hal yang tidak menjadikan seolah posisi Allah dan Nabi Muhammad SAW tergeser karena harus menerima saran dan masukan para pimpinan kabilah bahkan mereka yang non muslim. Karena hal ini merupakan ketetapan Allah dan RosulNya pula bahwa proses politik yang demikian itu harus dilaksanakan.

Bagi kaum mukminin ada bagiannya, baik kebijakan dan aturan sesuai dengan proporsinya, begitupula bagi mereka yang taslim kepada konstitusi (secara bahasa disebut muslim) meskipun mereka masih didalam kaidah-kaidah Diin mereka (Yahudi, Naserani, Musyrikin/Millah Ibrahim), semuanya sama dimata hukum, mempunyai hak hidup yang dilindungi seluas-luasnya, tidak akan ada satu individu yang merasa tertindas atau teraniaya, apalagi terjajah oleh Diin Islam yang  diberlakukan dengan benar sesuai manhaj Nabi di Madinah ini. Hal yang membuat para Pendeta dari Najran menyampaikan surat permintaan perlindungan dan menggabungkan diri dalam kedaulatan Madinah  (sebelumnya mereka merasa terancam), mereka lebih memilih Madinah daripada Roma, meski Roma mempunyai keyakinan ideologis yang sama (naserani)

Beberapa paparan diatas tidaklah cukup untuk memberikan gambaran kebesaran suhuf ini, bagaimana suhuf ini sebagai konstitusi negara Madinah mampu membentuk satu tatanan masyarakat yang sempurna,  jauh sebelum era Revolusi-revolusi sosial terjadi di abad 17-20 di Amerika, Eropa, Asia, dan Afrika (di sebagian teritorial Revolusi ini belum tuntas juga). Rosulullah berhasil melaksanakannya dengan sempurna selama 23 tahun kenabiannya, dipertahankan hampir 40 tahun lamanya, sedangkan saat ini umat manusia belumlah mencapai titik klimak Revolusi mereka, bahkan yang terjadi adalah satu proses degradasi sosial hingga politik yang membuat manusia menjadi lebih terpuruk lagi dari strata terhormat yang ditetapkan oleh Allah, mereka hanya mampu menghinakan diri mereka dengan menjual ideologi dan harga diri. Masyarakat islam di madinah adalah prototype sempurna bagi umat manusia dimanapun di dunia. Revolusi total yang berhasil secara tuntas merubah kemulyaan manusia dari titik nadir hingg titik tertinggi, titik dimana kita pantas disebut sebagai Makhluk Allah yang paling Mulia. 


Mewujudkan Masyarakat Islam di era ke kinian dan keindonesiaan.


Tiga perubahan besar terjadi di wilayah yang disebut Nusantara ini, Perubahan Peradaban sosial yang dimulai dari berhasilnya Islam menjadi sosio kultur yang dominan paska berhasilnya seluruh kerajaan di Nusantara menjadi Kerajaan Islam, setalah itu muncul era peperangan panjang ketika Para penjajah dari barat mulai menancapkan hegemoni di Nusantara, dan inipun akhirnya membentuk satu peradaban baru dari mereka, yang terakhir di era modern abad 20, masuk nya ideologi materialisme yang menyebarkan faham kemerdekaan bangsa yang menghendaki terwujudnya penguasaan kapital dan kekuasaan oleh rakyat. Mereka muncul dalam dua paradigma ekstrim yang bertolak belakang, yaitu kapitalisme dan Marxisme (berasal dari pemaham ideolog Karl Marx), akan tetapi memunculkan sikap yang sama didalam ideologi nasionalisme kebangsaan. Dilain fihak, beberapa pemimpin politik di Indonesia dari kalangan Islam berhasil bangkit dari keterpurukan dan kejumudan dan mampu mengembalikan Islam secara utuh sebagai Ideologi sempurna, dan mewujudkan satu peradaban Islam yang utuh. Proses perubahan tadi menjadikan Rakyat Indonesia terbagi menjadi Tiga Masyarakat dalam paradigma sosio politis, yaitu Masyarakat Penjajah, Masyarakat Kebangsaan, dan Masyarakat Islam.

Masyarakat Penjajah adalah satu masyarakat yang terbangun sebagai masyarakat perpanjangan kolonial modern,  baik kolonial barat (Amerika) ataupun kolonial Timur (Cina), mereka sebagai kroni-kroni penjajah di Indonesia, memfasilitasi dan mendukung penjajahan modern, mereka adalah sama-sama Penjajah di Indonesia.

Masyarakat Kebangsaan adalah masyarakat yang menghendaki kemandirian bumi putra, menghendaki kemerdekaan bumi putra secara utuh, akan tetapi mereka menghendaki kemerdekaan nasional kebangsaan, kemerdekaan dengan ideolgi nasionalisme, ideologi materialisme dengan memisahkan nilai-nilai Diin Islam dari ranah kekuasaan. Mereka adalah masyarakat Ashobiyah dan Sekuler

Sedangkan Masyarakat Islam adalah masyarakat dimana Islam menjadi ideologi baik secara individual ataupun sosial, mereka tidak melihat siapapun yang berkuasa, Islam tetaplah menjadi pegangan hidup mereka. Mereka adalah masyarakat nusantara yang sebenarnya sebelum para penjajah datang di Nusantara.

Ketiga masyarakat ini masih berbaur bersama tidak terpisah secara fisik, yang membedakannya hanyalah ideologinya, meski ada seorang indonesia beragama islam, akan tetapi bisa saja mereka bagian dari masyarakat penjajah atau masyarakat kebangsaan. Ketiganya bergumul mencoba berebut pengaruh secara alamiah, dimana suatu saat salah satunya akan menjadi dominan dan berkuasa. 

Masyarakat Islam ketika Kedaulatan sesuai konsep Madinah belum tercapai, maka Masyarakat Islam belumlah sempurna, Masyarakat Islam akan menjadi Masyarakat Islam yang Sebenarnya ketika secara kaffah Islam telah berdaulat. Karena Masyarakat Islam yang Sebenarnya adalah Masyarakat Islam Madinah, yang tunduk terhadap konstitusi Madinah. Dan ketika konsep madinah berdaulat di Indonesia, maka tidak ada lagi perpecahan didalam masyarakat Indonesia, karena yang ada adalah satu komunitas Umatan Wahidah, satu Masyarakat yang teradilkan dan tersejahterakan, tanpa melihat apapun keyakinan mereka.

Kedaulatan Islam akan membersihkan anasir-anasir batil dan jahil, dimana mereka tidak akan mampu di singkirkan baik oleh para penjajah ataupun penguasa nasionalis liberal, Kedaulatan Islam akan mengakomodir seluruh kekuatan politik di Indonesia, yang akan mewujudkan satu Persatuan Indonesia yang utuh. Seluruh rakyat akan mendapatkan keadilan hukum islam bukan lagi hukum yang diwujudkan melalui hawa nafsu manusia, seperti halnya Daud as berhasil mewujudkannya  :

Shaad:26.
Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan haq (sesuai ketetapan Allah) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. 


Sebelum kedaulatan itu terjadi, Masyarakat Islam yang ada haruslah mampu bertahan dengan ideologinya, membentuk satu komunitas yang kuat dalam persaudaraan sejati, mereka harus mampu membuktikan kebesaran dan keagungan islam dan memimpin  serta membimbing masyarakat yang ada di sekitar mereka menuju kemapanan dan kesejahteraan. Masyarakat Islam harus menjadi cahaya dalam kejahiliyahan rakyat indonesia. Berdiri paling depan dalam mebela keadilan, membuktikan kepada rakyat bahwa mereka layak dan pantas menjadi Khalifah di muka Bumi.

Masyarakat Islam yang Sebenarnya akan terwujud secara alamiah ketika mereka dipercaya oleh rakyat, dan rakyat sudah siap menerima konsep islam (Madinah) sebagai ideologi yang berdaulat. Masyarakat Islam yang ada haruslah mampu memberikan pemahaman Islam yang sebenarnya kepada seluruh rakyat Indonesia, kepada mereka sesama muslim, rakyat diberi penerangan melalui al Qur’an dan Hadits Nabi dengan paradigma Madinah (sesuai Rosulullah mengaplikasikannya di Madinah), kepada mereka rakyat non muslim, Masyarakat Islam harus memberikan pemahaman bagaimana Islam akan memberikan kepada mereka kedilan, dan rasa aman. 

Pada tahap berikutnya bukan lagi pemahaman yang harus tersampaikan, akan tetapi lebih jauh dari itu dan lebih penting adalah, Masyarakat Islam harus membuktikannya secara aktual, bagaimana Islam akan menjadi Rahmat bagi mereka seluruh Rakyat Indonesia. Masyarakat Islam haruslah menjadi Uswatun Hasanah, menjadi soko guru, menjadi komunitas yang layak diikuti,  menjadi Komunitas Terbaik dari berbagai bidang, Politik, Sosial, Ekonomi, Budaya, hingga sebagai Pertahanan Rakyat, menghimpun kekuatan dalam menghadapi anasir-anasir negatif dari kedzaliman dan kejahiliyahan.

Tahap terakhir adalah ketika Masyarakat Islam menjadi motor penggerak dalam mewujudkan kedaulatan Islam (Madinah) di Indonesia. Satu perjuangan dimana setiap individu masyarakat islam wajib turut serta bahu membahu mewujudkan kedaulatan ini hingga Diin Islam menjadi tegak berdiri kokoh menaungi rakyat indonesia.

Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur'an) dan Diin yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala Diin, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai. (at Taubah:33)

Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam Diin suatu kesempitan. (Ikutilah) Milah (ideolgi) orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur'an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.   (al Hajj:78)

Mewujudkan Diin Islam adalah mewujudkan Masyarakat Islam yang Sebenarnya, Masyarakat Islam yang sempurna, Masyarakat yang dinaungi oleh Diin yang benar (Diinul Haq), Masyarakat yang melaksanakan syari’at dengan merdeka. Maka, sebelum Diin Islam berdaulat (Madinah), maka tidak akan pernah terwujud kemerdekaan hakiki. Kemerdekaan yang menjadi hak kaum muslimin (masyarakat islam) sejak dahulu.

Sumber:
Axact

Empiris

Episentrum Pengkajian Islam dan Riset Sosial mengorientasikan diri untuk menjadi katalisator terwujudnya Mulkiyah Allah di muka bumi, dan bersama-sama menggalang kekuatan kolektif dari potensi-potensi yang telah sejak lama berada dipangkuan Ummat Islam... Billahi Hayaatuna Wallahu Fii Hayatil Mustadz'afin... Hidup Kita Bersama Allah, dan Allah Berada Dalam Kehidupan Kaum Tertindas... Inna fatahna laka fathan mubina...

Post A Comment:

0 comments:

Bro, ekspresikan ruhul jihad mu !!!