Selama ini aku selalu melihat dari dalam
Sehingga tak pernah tahu keindahan rumah ini
Dan kini engkau pun datang, menjadi saudaraku
Tentu bisa kau ceritakan, bagaimana indahnya rumah ini
Dan mengapa pula engkau tertarik menjadi penghuninya
(Kata Sketsa, Percikan Iman)

Islam adalah teroris. Islam cinta kekerasan. Bahkan, Islam dihadirkan dan dianggap paling efektif dijadikan legitimasi untuk menindas kaum perempuan. Itulah beberapa dari sekian banyak stigma negatif yang tengah berseliweran di benak masyarakat kita, bahkan tak sedikit dari mereka menganggap hal tersebut merupakan sebuah kebenaran yang harus diamini tanpa perlu kroscek. Namun banyak orang di luar Islam sendiri yakin untuk menolak konsepsi tersebut dengan adanya asumsi bahwa hal itu tidak benar.
Dalam panggung sejarah, banyak sekali peristiwa yang dapat menjadi argumen yang kuat bagi orang-orang yang sepakat dengan konsep di atas. Mulai dari bom jihad di Palestina yang dipropagandakan para musuh Islam sebagai bom bunuh diri, pemboman di beberapa tempat di tanah air dan mancanegara yang selalu dikaitkan sebagai gerakan terorisme, poligami yang dilakukan oleh beberapa “ustadz selebritis” yang tampangnya selalu berseliweran di layar kaca infotainment, sebagai sebuah tindakan yang merendahkan hak-hak kaum perempuan. Hingga yang terpanas akhir-akhir ini debut sukses film Ayat-ayat Cinta disebut-sebut sebagai bukti nyata dari ketidakadilan Islam dalam mengatur kehidupan laki-laki dan perempuan di muka bumi ini sekaligus sebagai legitimasi religius dalam menindas kaum perempuan. Tapi, satu hal yang penulis pertanyakan, kok laku ya film-nya?

Menyoal tentang stereotif yang menggambarkan paradigma Islam di mata dunia, dengan menyimak pernyataan para ahli mengenai hal tersebut juga aplikasi nyata di dalam kehidupan sehari-hari. Membicarakan masalah Islam sebagai wacana pembuka dalam tulisan ini, kita tidak akan pernah lepas dari kedudukan Islam sebagai Ideologi.

Sebagai pembuka Louis Althusser memberikan pengantar yang cukup menarik untuk disimak. Althusser beropini bahwa Ideologi merupakan sebuah material practice atau bisa kita katakan sebagai sebuah undang-undang atau seperangkat aturan yang menjadi pedoman dalam gerak langkah seseorang berdasarkan dengan apa yang ia yakini (Althusser in Robert Con Davis, p. 356).
Contoh praktisnya, Ideologi sosialisme dengan teoretikusnya yang termasyur, Karl Marx. Dalam Ideologi ini para “penganutnya” harus mematuhi segala aturan atau undang-undang yang berlaku dalam Ideologi tersebut sehingga kemaslahatan umum dan perbaikan kondisi pekerja terjaga. Sosialisme muncul akibat kezhaliman kapitalisme terhadap masyarakat. Hak terbesar diberikan kepada negara atau sekelompok pekerja yang terorganisir. Maka dapat dipastikan bahwa orang-orang “di luar” kapasitas itu akan mendapat “tempat yang sama layaknya” di masyarakat. Atau dengan kata lain seperti jargon yang termasyur “sama rata sama rasa” (Richard Harland, p. 64).

Seperti yang telah penulis kemukakan di atas, maka Louis Arthusser pun memberikan dua bentuk penerapan dan langkah nyata dari undang-undang sebuah Ideologi. Pertama, Repressive State Aparatus, yaitu aparatur negara yang memang “mengabdi” di bawah tekanan. Kedua, Ideological State Aparatuses (ISAs), yaitu aparatur negara yang mau tidak mau, suka tidak suka, sadar tidak sadar harus “mengabdi” kepada negara atau yang disebut sebagai alat hegemoni yang akan mengukuhkan eksistensi sebuah Ideologi (Althusser in Robert Con Davis, p. 356). Keduanya menjadi kendali utama bagi jalannya perundang-undangan Ideologi pada sebuah negara.

Namun, bagi Derrida sang pengusung paham dekonstruktif ada ruang lain di samping dua ruang yang masing-masing telah terisi oleh Ideological State Aparatuses (ISAs) dan Repressive State Aparatus, yaitu ruang kosong yang mungkin saja ditempati oleh sebuah komunitas yang memang tidak berada di posisi manapun di antara keduanya.
Derrida pun memberikan penekanan khusus yang membuatnya keluar dari bayang-bayang teori strukturalisme yang menurutnya hanya terpasung di antara oposisi biner yang kaku.

Kembali kepada stigma negatif yang dikemukakan di awal tulisan ini. Ingin rasanya, penulis memberikan contoh implementasi Ideologi di dalam beberapa karya sastra dari para sastrawan yang kampiun di bidangnya. Tentunya hal ini bertujuan guna menyingkap Ideologi yang tersembunyi di baliknya dalam perspektif dekonstruktif.

Pertama, dalam salah satu karya fenomenalnya yang diberi ngaran Ketika Mas Gagah Pergi, Helvi Tiana Rosa menyuguhkan beberapa cerpen pilihan yang kiranya dapat membuat kita tersenyum, tertawa, mengharu biru dalam menyelami mutiara kata yang terangkai di setiap cerpen-cerpennya. Salah satu yang membuat penulis kagum akan Helvi Tiana Rosa ialah kefasihannya dalam merefleksikan setiap idenya melalui barisan kata-kata penuh makna. Tentunya selain Ketika Mas Gagah Pergi, ada beberapa cerpen yang merefleksikan secara eksplisit maupun implisit akan tema yang penulis angkat dalam tulisan ini. Salah satunya adalah Je Ne Te Quite Jamais, Palestine.

Je Ne Te Quite Jamais, Palestine merupakan cerpen yang mengangkat isu sentral penjajahan yang dilakukan oleh para penjajah Israel di salah satu negeri kaum Muslim, Palestina. Dalam cerpen ini dapat kita lihat adanya oposisi biner (Palestine vs Israel, Muslim vs Yahudi, Penjajah vs Terjajah, Protagonis vs Antagonis), kita hanya bisa melihat secara umum dua kubu yang berseteru. Namun, dalam konsep dekonstruktif kita melihat sudut lain dari tokoh-tokoh yang terangkai dari sudut pencitraan yang berbeda-beda pula, serta ikut menopang terjalinnya setiap kisah dalam cerita ini.

Di awal cerita, dikisahkan sang tokoh utama Zahwa, seorang putri Palestina yang telah lama menetap di kota mode dunia, Paris. Kali ini sang tokoh utama berniat mengunjungi Gaza, tanah kelahiran yang telah sekian lama ia tinggalkan sekaligus mengunjungi sang ayah tercinta Kareem Abror. Namun, tak dinyana sesampainya ia di sana, tampak sebuah pemandangan yang luar biasa menakjubkan. Ia melihat lautan manusia yang berbondong-bondong mengiringi kepergian sesosok tubuh yang berselimut kafan yang dijunjung oleh sekitar delapan lelaki. Sesosok tubuh kaku itu adalah Asy Syahid Yahya Ayyash, seorang mujahid berbudi, anggota HAMAS dan musuh nomor satu Yahudi saat itu.

Di bagian lain, sebait kisah berlanjut dengan pertemuan yang telah Zahwa nanti-nantikan selama ini yaitu pertemuannya dengan sang ayah. Singkat cerita, sang ayah kini adalah seorang tim sukses Arafat yang pada saat itu merupakan kandidat Presiden Palestina yang baru.

Di lembar lain cerpen ini, sang tokoh utama kembali dipertemukan dengan sahabat lamanya, Sarah. Sarah merupakan putri Palestina yang baru-baru ini ditinggal syahid oleh sang suami yang bernama Mahmud. Sang suami ditembak mati oleh polisi Palestina karena kedapatan mencoba mengabarkan konspirasi rahasia antara Mossad dan Musa Arafat, kepala polisi Palestina untuk membunuh Ayyash.
Selain itu, yang lebih mengejutnya adalah ketiga anak Sarah yang bernama Muhammad, Haikal dan Hisyam mengalami cacat tubuh yang diakibatkan kekerasan yang dilakukan oleh para tentara Israel dan Palestina.

Dalam cerpen ini, penulis melihat telah terjadi dekonstruktif karakter yang nyata di dalamnya. Disini bukan lagi hanya menyangkut perseteruan antara Palestina vs Israel dan Muslim vs Yahudi. Tetapi, lebih luas dari itu banyak karakter yang dihadirkan guna menopang terjalinnya setiap bait dalam cerpen ini. Sang pengarang, Helvi Tiana Rosa telah membuka ruang yang selama ini tertutup oleh asumsi negatif mengenai isu ini. Ruang-ruang tersebut diisi oleh Zahwa, Kareem Abror (sang ayah), Sarah dan ketiga anaknya, Mahmod (suami Sarah), Arafat dan istrinya (madame Suha), Asy Syahid Yahya Ayyash, bahkan yang lebih besar dari itu yaitu keterlibatan pihak “asing” dalam konspirasi global ini.

Jika dirunut, eksistensi Israel di tanah Palestina selama ini tidak terlepas dari tangan dingin sang “teman karib” yaitu Amerika. Melalui cengkeraman kuku-kuku tajamnya, Amerika menguasai media dunia seperti CNN, BBC, REUTEURS dan lain-lain sebagai alat hegemoni mereka. Alat tersebut menjadi tameng permisif bagi sang “jagal” untuk membantai seluruh umat Muslim di Palestina. Membungkam mulut dunia, mencocok hidung negara-negara di dunia dan menutup mata dan telinga negara-negara dunia (Shofwan Al-Banna, 34).

Selain itu, melalui “boneka setianya” di Palestina yaitu Arafat sang penjajah menyusun skenario perdamaian antara HAMAS dan PLO yang jelas-jelas dikuasai oleh Israel. Arafat sebagai sang aktor utama digerakkan untuk menang dalam arena pemilihan umum Presiden Palestina saat itu. Tak jauh beda dengan sang suami, sang istri yaitu madame Suha “disuap” dengan kemewahan duniawi yang menyilaukan mata dari dana rakyat. Dengan bebasnya ia melanglang buana, menginap di hotel mewah dari satu hotel ke hotel yang lainnya, di Perancis, Swiss London. Bahkan dikala rakyatnya berjuang mempertahankan negaranya ia dengan leluasanya mengoperasi hidung “bangirnya” di luar negeri.

Mengingat suksesnya sang pengarang, Helvi Tiana Rosa yang secara pas membangun karakter dari sudut pandang yang berbeda memberikan gambaran pula akan adanya keterkaitan setiap karakter dengan konsep yang ditelorkan oleh Louis Althusser. Yang menjadi Repressive State Aparatus dalam cerpen ini, yaitu para tentara Israel, tentara Palestina (yang berkhianat) dan antek-anteknya. Kedua, Ideological State Aparatuses (ISAs), yaitu Arafat dan istrinya, PLO dan para anggotanya serta Kareem Abror. Terakhir, yang mengisi ruang kosong yang lainnya ialah para pejuang HAMAS dan kaum Muslim Palestina (khususnya Zahwa, Sarah beserta anak dan suaminya, Asy Syahid Yahya Ayyash serta para pejuang lain yang secara implisit digambarkan dalam cerpen ini.
Bantuan dana dan peralatan perang yang memadai yang didukung penuh oleh Amerika merupakan salah satu langkah penerapan undang-undang Ideologi yang diusung oleh Amerika dan Israel serta sebagai alat hegemoni yang akan semakin menancapkan kekuasaan dalam mempertahankan eksistensi Ideologinya. Bergabunglah dua penjajah ini dengan komunitas Ideologi yang lebih besar lagi yaitu Zionisme Internasional yang menghancurkan rakyat dunia khususnya umat Muslim dengan gerakan genocide atau pembantaian massal.

Kedua, dalam Novel tetralogi Laskar Pelangi yang sedang merajai pasar sastra masyarakat kita saat ini kita dapat menganalis hal yang sama yang telah kita lakukan pada kumpulan cerpennya Helvi Tiana Rosa. Novel yang mengadaptasi kisah nyata sang penulis, Andrea Hirata bercerita tentang persahabatan masa kecilnya yang dia beri nama Laskar Pelangi. Diawali dengan kisah sang tokoh utama para anggota Laskar Pelangi (Ikal, Syahdan, A Kiong, Mahar, Sahara, Trapani, Kucai, Lintang, Samson dan Harun) yang hendak memasuki gerbang pendidikan pertama mereka di bangku sekolah dasar. Sekolah terpencil dan “terkumuh” di Belitong yang bernama SD Muhammadyah. Sekolah yang lebih layak disebut sebagai gudang kopra yang tak terurus.

Seluruh siswa yang tergabung dalam kelas ada sepuluh orang plus di akhir cerita ditambah anggota baru yaitu Flo. Mereka berangkat dari keluarga miskin dan terisolasi di Belitong. Berbeda dengan kesepuluh rekannya, Flo merupakan anak dari seorang petinggi PN Timah, yaitu perusahaan terbesar yang mengelola pertambangan timah.

Isu sentral dalam novel ini adalah kesenjangan sosial di antara komunitas asli Belitong yang hidup kekurangan, miskin dan terisolasi dari kemewahan dunia dengan komunitas elite para staf PN Timah yang hidup berkecukupan dan bergelimangan harta. Di samping isu sentral tersebut sang penulis memberikan perspektif berbeda dalam setiap karakter yang ia hadirkan guna membangun keterikatan cerita dalam setiap lembarnya, serta isu pendidikan yang sudah tak asing lagi di negeri kita ini.

Dalam novel ini, juga kita dapat melihat bahwa ternyata telah terjadi dekonstruktif karakter yang nyata di dalamnya. Disini juga bukan hanya sekedar kesenjangan sosial yang terbangun selama berpuluh-puluh tahun dengan tembok raksasa laksana tembok besar di China yang selalu bertuliskan jargon memuakkan DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK!

Ruang-ruang tersebut diisi oleh sama halnya dengan cerpen tentang Palestina karya Helvi Tiana Rosa tadi, novel ini pun memberikan gambaran berbeda dengan menghadirkan karakter-karakter unik nan memesona. Selain para anggota Laskar Pelangi, ada sang Ibunda Guru yang bersahaja dan penuh dedikasi dalam dunia pendidikan yaitu ibu Muslimah atau ibu Mus, sang kepala sekolah yang tak kalah bersahajanya, sang manusia setengah peri alias dukun tersohor di Belitong yaitu Tuk Bayan Tula, Ibunda Ikal yang terkenal dengan teori gila no 7. Bahkan yang lebih besar dari itu, keterlibatan yang kasat mata namun pengaruhnya sangat nyata yaitu keterlibatan pihak “asing” dalam konspirasi global ini.

Kembali ke masalah konspirasi global yang telah kita bahas sebelumnya, kembali kita bisa lihat konspirasi yang dibangun oleh sebuah Ideologi yang berada di balik ini semua. Ideologi yang aturan perundang-undangannya memberikan efek yang tidak sedikit pada masyarakat di dalamnya.

Indonesia sebuah negara yang dihuni oleh para Laskar Pelangi dan para tokoh lain di dalamnya memiliki Ideologi Pancasila yang berkiblat pada asas Demokrasi. Demokrasi yang tidak lain dan tidak bukan merupakan anak kesayangan sang “ayah” yaitu Kapitalisme memberikan sebuah aturan yang harus ditaati oleh Indonesia dan rakyatnya. Guru besar sang Ideologi adalah Kapitalisme Liberal yang diusung oleh siempunya modal (kapital) tertinggi di dunia yaitu Amerika.

Dengan kemampuan finansial yang demikian besar, melalui salah satu “tangan kanannya” yaitu World Bank, Amerika “berbaik hati” men-supply kebutuhan Indonesia termasuk meminjamkan “bantuan dana” yang sebenarnya adalah hutang luar negeri yang tidak akan pernah bisa terbayar hingga tujuh turunan. Selain itu, investasi besar-besaran Amerika tanamkan di bumi pertiwi ini. Salah satunya dengan “membantu” mengelola aset negara yang merupakan salah satu yang terbesar yaitu Timah di Belitong.

Tibalah kita pada kisah Laskar Pelangi dan para penghuni gedong PN Timah di Belitong. Dengan aset yang ada dan dengan aturan perundang-undangan yang disepakati oleh sang pemilik modal dan negara yang diberi modal maka aturan pun harus dijalankan. Terjadilah ketimpangan sistem di Indonesia khususnya di Belitong, sang pemilik modal tertinggi hidup mewah bergelimangan harta di gedong PN Timah, sedangkan yang lainnya sudah dipastikan menjadi bagian yang tersingkirkan dari arena kemewahan itu.

Di sudut cerita lain, kita akan melihat adanya kapitalisme pendidikan di sana. Dunia pendidikan di Indonesia dalam hal ini di Belitong telah menjelma menjadi mesin kapitalisme (capitalist machine), yaitu mesin untuk mencari keuntungan dan mesin citra kapitalisme yaitu mesin yang menciptakan citra-citra (lembaga, individu, pengetahuan) yang sesuai dengan citra kapitalisme (Yasraf Amir Piliang, 355).

Dunia pendidikan yang seharusnya sebagai nilai pencarian pengetahuan, kini dimuati oleh nilai-nilai komersial, sebagai refleksi dari keberpihakan pada kekuasaan kapital. Ketika pendidikan menjadi bagian inheren dari sistem kapitalisme, maka berbagai paradigma, metode dan teknik-teknik yang dikembangkan di dalamnya menjadi sebuah cara untuk mengukuhkan hegemoni kapitalisme tersebut. Metode pemberian keterampilan, pembentukkan watak, penciptaan karakter, pembangunan mental, diarahkan sedemikian rupa, sehingga semuanya mendukung hegemoni kapitalisme. Selain itu, paradigma-paradigma keilmuan serta logika-logika yang dikembangkan di dalamnya mempunyai hubungan yang saling menghidupkan dengan logika-logika kapitalisme.

Kemudian, secara lebih jauh kapitalisme telah membuka peluang bagi berkembangnya berbagai logika-logika baru kehidupan sosial dan budaya, yang di dalamnya institusi pendidikan berperan besar dalam mengkonstruksi dan mensosialisasikan logika-logika tersebut. Institusi pendidikan kapitalistik mempunyai hubungan mutual dengan logika-logika kapitalisme tersebut. Artinya, institusi tersebut mengembangkan dan mensosialisasikan logika-logika tersebut di dalam berbagai bentuk materi pendidikan, akan tetapi institusi tersebut itu sendiri dibentuk berdasarkan logika kapitalisme itu sendiri (Yasraf Amir Piliang, 366)
Akhirnya, dapat penulis simpulkan bahwa bila adanya kecenderungan citra dunia pendidikan, dengan citra Kapitalisme yang tidak sesuai terus berlanjut; Jika “pandangan dunia” (world view) akan salah satu Ideologi yang diciptakan oleh kapitalisme tidak dirubah, maka distorsi di dunia akan berkembang semakin besar, yaitu menciptakan dunia yang semakin terperangkap di dalam dimensi komersial, dan semakin menjauhkannya dari dimensi-dimensi moral, sosial dan spiritual yang lebih luas dan lebih kaya.

Selain itu, dominasi sebuah sistem kekuasaan (seperti kapitalisme dan yang lainnya) terhadap sistem-sistem lain yang dikuasainya (seperti sistem pendidikan) bukanlah sebuah kondisi yang selesai (final), ia terbuka untuk didekonstruksi dan dibongkar. Seperti yang telah ditulis Yasraf Amir Piliang, bahwa keterbukaan seperti inilah maka konsep hegemoni tidak dapat dipisahkan dari konsep lainnya, seperti hegemoni tandingan (counter hegemony) atau hegemoni alternatif (alternative hegemony).

Maka, jika kita telah bosan terkungkung di dalam naungan Ideologi yang menyesakkan dada dan memberikan kesulitan bagi kita. Satu hal yang dapat kita lakukan ialah memeranginya dengan lawan yang seimbang. Dalam artian Ideologi melawan Ideologi. Dengan catatan Ideologi yang memberikan solusi tuntas dan menyeluruh bagi seluruh penganutnya serta setiap aturan perundang-undangan yang diusungnya dapat mengatur para penganutnya dari hal yang terkecil hingga yang terbesar.

Satu keniscayaan bahwa bila sebuah Ideologi semakin ditekan, maka akan semakin membuat orang penasaran dan ingin mengetahui akan Ideologi tersebut. Maka, menjadi satu keyakinan akan coreng morengnya citra Ideologi Islam di mata dunia, cepat atau lambat akan menemukan jalan terang berderang yang akan menunjukkan senyum termanisnya dan berkata pada dunia bahwa Islam bukan teroris, Islam cinta damai dan Islam adalah rahmatan lil alamin. Sehingga yang selama ini dunia hanya melihat Ideologi Islam dari dalam, sehingga tak pernah tahu keindahan Ideologi Islam. Kini, tentu kita semua dapat ceritakan bagaimana indahnya Ideologi Islam dan alasan mengapa kita semua tertarik menjadi penganutnya.


Tami Karisma
Bandung 30 Agustus 2009


DAFTAR PUSTAKA
Al-Banna, Shofwan. 2004. Palestine Emang Gue Pikirin?. Yogyakarta: Pro-U Media.
Harland, Richard. Superstrukturalisme, Pengantar Komprehensif kepada Semiotika, Strukturalisme dan Postrukturalisme. 2006. Jakarta & Bandung: Jalasutra.
Hirata, Andrea. 2007. Laskar Pelangi. Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka.
Percikan Iman, Edisi 09 Tahun VI September 2005 M/Rajab 1426 H
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Jakarta & Bandung: Jalasutra.
Rosa, Helvi Tiana. 2004. Ketika Mas Gagah Pergi, Kumpulan Cerpen Terpilih. Bandung: Asy-Syamil.
Axact

Empiris

Episentrum Pengkajian Islam dan Riset Sosial mengorientasikan diri untuk menjadi katalisator terwujudnya Mulkiyah Allah di muka bumi, dan bersama-sama menggalang kekuatan kolektif dari potensi-potensi yang telah sejak lama berada dipangkuan Ummat Islam... Billahi Hayaatuna Wallahu Fii Hayatil Mustadz'afin... Hidup Kita Bersama Allah, dan Allah Berada Dalam Kehidupan Kaum Tertindas... Inna fatahna laka fathan mubina...

Post A Comment:

0 comments:

Bro, ekspresikan ruhul jihad mu !!!